Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua puluh satu
Setibanya mereka di rumah sakit yang ada di kota cendrawasih, mobil berhenti dan semua orang bersiap-siap untuk turun. Rai, dengan hati yang tak sabar dan penuh kecemasan ingin membuka pintu namun tiba-tiba tangan dina menahannya. Rai menoleh, wajahnya dipenuhi pertanyaan, sementara Dina menatapnya serius.
"Rai, kamu harus menyamar. Jangan sampai ada yang mengenalimu di sini," kata dina tegas namun lembut, mengingatkan rai pada ketenarannya sebagai seorang penyanyi yang bisa saja menarik perhatian banyak orang.
Rai menghela napas panjang, mengangguk setuju. Meski hatinya hanya ingin segera menemui rayan, ia tahu ada risiko yang harus dihindari. Dengan cekatan, Rai mengenakan hoodie besar yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, menarik tudungnya ke atas hingga menutupi sebagian wajah, dan memasang kacamata hitam serta masker. Setelah yakin bahwa penyamarannya cukup, ia turun dari mobil, perlahan menggendong zeline yang tampak lelap dalam pelukannya. Bersama dina dan yang lainnya, Rai melangkah menuju ruang operasi dengan hati yang berdebar, berharap bisa segera melihat suaminya.
Dari kejauhan, Rai melihat seorang gadis yang tampak gelisah berdiri di depan ruang operasi, berjalan mondar-mandir seolah menunggu dengan penuh kecemasan. Hati Rai bertanya-tanya, siapakah gadis itu dan mengapa ia begitu cemas di depan pintu tempat suaminya dioperasi? Pikirannya sejenak dihantui rasa takut, ketakutan yang dalam, mengingat kemungkinan adanya orang lain yang penting di hati Rayan selain dirinya dan zeline.
Dan sania yang tak sengaja melihat perubahan di wajah Rai langsung mengerti. Ia segera menenangkan, “Itu rani Kak. Aku dan rani karyawannya bang rayan.”
Rahma menambahkan, "Rani yang membawa rayan ke rumah sakit. Rayan menganggap rani dan dania seperti adiknya sendiri."
Mendengar penjelasan mereka, Rai menarik napas panjang, merasakan beban di hatinya mulai berkurang. Kekhawatiran yang sempat menghantuinya mulai sirna, digantikan oleh rasa lega. Rayan masihlah miliknya, dan dalam hatinya, tidak ada ruang untuk yang lain selain dirinya dan putri mereka. Rai kembali fokus pada harapannya yang utama, melihat rayan segera pulih dan berkumpul bersama keluarga kecil mereka.
-
-
Merasa ada yang mendekat, Rani menoleh dan segera melihat mereka. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menghampiri rahma, matanya penuh kecemasan yang tak mampu ia sembunyikan. Suaranya terdengar lirih namun penuh ketakutan saat ia berkata, "Kak rahma, aku takut sekali. Bang rayan tadi pusing kepalanya, badannya panas, dan wajahnya pucat sekali. Sewaktu mau diantar ke sini, dia sempat menyebut nama kak rai sama zeline... aku gemetar kak. Kenapa kalian lama sekali sampainya?" Suaranya mulai bergetar, dan air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Tadi air mata bang rayan juga jatuh waktu sebut nama mereka."
Rai yang mendengar cerita rani hanya bisa terpaku. Satu demi satu kata-kata itu menyusup ke dalam hatinya, mengalir bagai arus yang tak mampu ia bendung. Mata rai mulai berkaca-kaca, dan sebelum tubuhnya lemas, Dina cepat-cepat mengambil zeline dari gendongannya, memberi ruang bagi rai untuk menghadapi rasa yang tiba-tiba begitu mendalam dan penuh haru.
Perhatian rani langsung teralihkan, Rani memperhatikan sosok yang berpenampilan misterius di hadapannya ber hoodie, berkacamata hitam, dan masker. Namun, saat sosok itu membuka kacamatanya, Rani langsung mengenali siapa sosok di hadapannya. Dengan spontan, air matanya pecah, berhamburan tanpa tertahan.
"Kak... suamimu nyariin kamu dari tadi," ujarnya, tangisnya pecah.
Rai tak mampu lagi menahan sedih yang bergulung di dadanya. Ia menangis bersama rani, merasakan betapa besar cinta dan penantian rayan yang tersampaikan meski lewat ucapan orang lain. Terhanyut dalam luapan kesedihannya, Rai sadar bahwa keluarganya selalu menanti, dan hari ini, mereka akan berkumpul kembali, meski melewati badai ujian yang menantang keteguhan hatinya.
Dengan isak tangis yang masih terdengar jelas, Rani kembali melanjutkan, "Bang Rayan bilang... dia ingin dipeluk kak. Padahal waktu ku antar ke sini tadi, dia masih tegar, masih berusaha kuat. Tapi begitu menyebut namamu, Bang rayan jadi lemah," ucapnya, suaranya penuh sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Rani berusaha menahan isaknya, namun tangis itu pecah juga, tak mampu dibendung.
Rai mengangguk pelan, pandangannya menerawang, penuh tekad dan harapan yang bercampur baur. "Aku sudah ada di sini," bisiknya, suaranya bergetar namun penuh keteguhan.
" Aku akan peluk dia nanti "
Suasana terasa semakin berat, membungkus mereka dalam kesedihan yang mendalam namun penuh harapan. Masing-masing dari mereka menatap pintu ruang operasi dengan doa dan keinginan tulus agar rayan bisa melewati saat sulit ini. Keheningan menyelimuti mereka, namun hati hati yang ada di sana berbicara melalui doa, memohon agar operasi rayan berjalan lancar dan ia bisa kembali pulih, disambut hangat oleh keluarga yang kini selalu ada di sisinya.
Satu jam telah berlalu, dan suasana yang tadinya penuh kecemasan akhirnya sedikit mereda ketika lampu di atas pintu ruang operasi berganti warna, menandakan operasi telah selesai. Dengan napas yang tertahan, Rai berdiri, matanya tak pernah lepas dari pintu ruang operasi, menunggu kepastian tentang kondisi suaminya.
Saat dokter keluar, Rai segera melangkah maju, tak kuasa menahan harapannya. "Dokter, bagaimana suami saya?" tanyanya dengan suara yang gemetar, matanya berkaca-kaca. Dokter itu tampak terkejut sejenak mengenali wajah rai, namun sebelum ia sempat bertanya, Rai menyatukan kedua tangannya di depan dada, memohon dengan suara pelan namun penuh tekanan, "Tolong dokter. Jaga rahasia ini. Pasien yang anda tangani adalah suami saya. Saya mohon jangan katakan pada siapa pun."
Dokter itu terdiam, memperhatikan ekspresi rai yang sarat dengan kecemasan dan ketulusan, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Operasi pasien berjalan dengan lancar," katanya, menyampaikan kabar yang seketika membuat rai merasa lega. Air mata yang sempat tertahan kini mengalir di pipinya, dan ia mengucap syukur dalam hati.
"Terima kasih dokter," ucap rai, menghela napas panjang. Senyum tipis mengembang di wajahnya yang penuh rasa syukur.
Dokter mengangguk sopan. "Sama-sama. Kami akan membawa pasien ke rawat inap agar kondisinya bisa terus kami pantau hingga pulih," jelasnya.
Rai mengangguk, lalu meminta dengan suara mantap, "VIP ya dok. Tolong berikan perawatan yang terbaik untuk suami saya."
Dokter mengangguk sekali lagi sebelum kembali masuk ke dalam ruangan, mempersiapkan pemindahan rayan ke rawat inap VIP. Rai, kini merasa beban besar di pundaknya perlahan mereda. Di tengah rasa syukur, harapan besar menguat di hatinya bahwa keluarga kecilnya kini kembali bersatu, dan ia siap menghadapi apapun demi mereka.
Begitu ranjang rumah sakit keluar dari ruang operasi, Rai menatap dengan napas tertahan, hatinya mencelos melihat rayan yang terbaring lemah. Matanya masih terpejam, tubuhnya tampak ringkih setelah menjalani operasi panjang. Rai mengikuti para suster yang mendorong ranjang rayan menuju ruang rawat inap, langkahnya perlahan namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, perasaannya campur aduk antara lega dan bahagia, akhirnya ia bisa melihat suaminya dalam keadaan hidup dan berada di dekatnya.
Sesampainya di ruang rawat inap, Rai mendekati rayan, tangannya perlahan meraih tangan suaminya yang terasa hangat. Begitu ia menyentuhnya, seolah ada dorongan lembut yang membangunkan rayan. Perlahan, Rayan membuka mata, tampak sedikit bingung, dan ketika ia melihat rai berdiri di sampingnya, matanya menatapnya lama, mencoba memastikan apa yang dilihatnya adalah nyata.
“Rai?” lirih suara rayan, suaranya nyaris berbisik penuh rasa tak percaya.
Rai mengangguk, menahan air mata yang sudah lama ditahannya. “Iya sayang, ini aku, Rai mu,” jawabnya dengan suara bergetar.
Air mata rayan mengalir, pandangannya tak lepas dari wajah rai. Dalam diam, tanpa perlu banyak kata, kehadiran satu sama lain menjadi obat dari semua luka dan kerinduan yang selama ini membebani hati mereka.
Rayan menatap rai dengan penuh kerinduan, jemarinya terangkat pelan, seolah meminta rai mendekat. Dengan lembut dan penuh haru, Rai membungkuk, menyelimuti tubuh suaminya dalam pelukan hangat yang selama ini terpisah oleh jarak dan waktu. Rai merasakan napas lembut rayan di bahunya, dadanya terasa hangat, dan air mata mengalir tanpa bisa ditahan.
Ia mengecup kening suaminya, sentuhan yang penuh kasih, begitu lembut seolah semua kekhawatiran yang selama ini menghantuinya kini sirna. “Lekas sembuh sayang,” bisiknya lirih, suaranya penuh harap dan doa agar suaminya tetap kuat. Rai merasa bahwa tak ada yang lebih berharga dari saat-saat ini dari kehadiran suaminya yang masih bersamanya. Dalam hati, Rai berjanji akan selalu mendampingi rayan, menjadi kekuatannya, dan menjaga keluarga mereka dengan segenap cinta.
Dalam pelukan itu, Rai merasakan rayan meracau pelan, suaranya terdengar penuh luka dan kerinduan yang mendalam, “Jangan pergi, jangan tinggalkan aku. Aku tak bisa tanpamu rai. Semua ini sangat berat, aku lemah, aku tak berdaya.” Kata-kata itu membuat hati Rai terasa perih, seolah menembus hingga ke lubuk jiwanya. Sambil menahan isak yang mulai menyeruak, Rai mengangguk pelan, memejamkan mata dan mempererat pelukannya. Ia mengecup lembut kening suaminya, menyampaikan ketenangan dan kekuatan yang hanya bisa diberikan oleh seorang istri yang setia.
“Sayang, aku gak akan kemana-mana. Kamu fokus sembuh ya. Aku di sini, di sampingmu,” bisiknya lembut. Rai tahu betapa rapuhnya rayan saat ini, dan ia ingin memastikan bahwa kehadirannya memberikan kekuatan baru untuk suaminya.
Rayan mengangguk kecil, matanya kembali terpejam dengan tenang dalam pelukan rai. Bagi Rai, ini adalah momen yang sangat berharga, sebuah janji dalam keheningan bahwa ia akan tetap berada di sini, mendampingi dan menguatkan rayan hingga mereka bisa kembali merajut hari-hari bersama sebagai keluarga yang utuh dan bahagia.
Sementara dina dan yang lainnya berdiri tak jauh, menatap haru pada momen hangat di depan mereka. Dua hati yang pernah terpisah oleh waktu dan cobaan kini telah bersatu kembali. Dina, yang sudah lama mendampingi rai melewati kesedihannya, mendongak, mata berkaca-kaca, senyum tersungging di bibirnya. Doa-doa yang rai panjatkan tanpa lelah akhirnya dikabulkan oleh Tuhan, segala kesabarannya berbuah kebahagiaan yang kini terpancar dari wajahnya.
Rahma juga tersenyum, merasa lega melihat rayan kembali dalam pelukan rai. Ini adalah akhir dari sebuah penantian panjang, cinta yang rayan jaga untuk rai ternyata tak pernah sia-sia, dan sekarang mereka bersama lagi. Harapan dan doa mereka semua kini menjadi nyata, mempertemukan dua hati yang sempat tercerai.
Di tengah keharuan itu, terdengar suara kecil yang memecah keheningan. Zeline terbangun, matanya mengerjap mencari ibunya. Rai menyadari putrinya terbangun, dan tanpa ragu dina segera menyerahkan zeline ke dalam pelukannya. Rai duduk di kursi, memangku zeline dengan penuh cinta, lalu membelai lembut rambut putrinya.
“Adek,” bisik rai lembut, menatap mata kecil yang kini memandangnya penasaran, “Ayah lagi sakit. Biasanya adek kasih apa biar ayah cepat sembuh?” tanya Rai lembut.
Zeline, tanpa ragu, menjawab dengan polos, “Adek cium ayah.” Rai tersenyum, kehangatan terpancar di matanya saat dia mengelus rambut zeline.
“Cium ayah sayang. Biar ayah cepat sembuh dan bisa pulang,” ucap rai pelan, memberikan dorongan penuh kasih pada putrinya. Zeline mengangguk, lalu mendekat ke rayan yang terbaring lemah dan menempelkan ciuman lembut di pipinya.
“Ayah cepat sembuh ya, adek sayang ayah ” katanya, suaranya polos namun penuh ketulusan.
Tiba-tiba, Sania berusaha menguatkan dirinya, mengibas-ngibas matanya sambil mendongak, berjuang menahan air mata yang nyaris menetes lagi. “Aaa, gak mau nangis lagi,” katanya, setengah bergurau namun suaranya terdengar bergetar. Sania tak ingin terlihat rapuh, tapi kebahagiaan yang ia rasakan untuk keluarga rayan terlalu dalam untuk diabaikan. Di sampingnya, Rani tersenyum lembut dan berbisik, “Gak apa-apa, nangis aja.”
Sania menoleh, menatap sahabatnya sambil tersenyum tipis. “Gak ah, gak mau. Mataku udah sembab, masa mau tambah sembab lagi,” katanya, mencoba melucu. Rani tertawa kecil, melihat sahabatnya begitu penuh perasaan namun tetap berusaha kuat. Dina dan Rahma, yang menyaksikan percakapan dua gadis itu, hanya tersenyum penuh kehangatan. Mereka tahu bahwa kebahagiaan keluarga rai dan rayan telah menyentuh semua yang ada di sana.
Sementara itu, keluarga kecil itu masih larut dalam momen bahagia. Rai, Rayan, dan zeline saling menatap dengan penuh cinta dan rasa syukur. Setelah sekian lama terpisah oleh keadaan dan cobaan, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali, dalam kebahagiaan yang sederhana namun begitu berarti. Di tengah pelukan dan tawa kecil zeline, momen bahagia itu pun terasa abadi, seperti kenangan yang takkan pernah luntur dari hati mereka.