Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Tatapan di Cermin
Adara berdiri di depan cermin besar yang terletak di sudut kamar apartemennya, menatap bayangan dirinya yang tampak tak asing namun terasa berbeda. Pagi itu, kilauan mata Adara tampak meredup, bukan karena kurang tidur atau kelelahan fisik, melainkan kelelahan emosional. Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, dan perasaannya terhadap Arga semakin mengacaukan pikirannya.
Arga, CEO yang dingin, kini tak lagi hanya menjadi sosok atasan yang ia hormati. Kehadirannya dalam hidup Adara seolah menimbulkan riak besar dalam danau perasaannya yang selama ini ia coba jaga. Namun, semakin lama ia dekat dengannya, semakin besar pula godaan untuk melepaskan batas profesional yang sudah ia bangun sejak hari pertama bekerja.
Adara menyentuh permukaan cermin dengan pelan, seolah ingin menggapai bayangan dirinya yang tampak tak mengenali dirinya sendiri. Kilasan pertemuan-pertemuan intim dengan Arga selama ini terus berputar di benaknya. Mereka memang belum melakukan hal yang terlalu jauh, tapi keintiman di antara mereka sudah lebih dari sekadar hubungan profesional biasa. Dan inilah yang membuat Adara merasa takut. Bukan takut pada Arga, melainkan takut pada dirinya sendiri yang sudah terlibat terlalu dalam.
“Apa yang sedang kau lakukan, Adara?” bisiknya pada diri sendiri. Suaranya terdengar lemah, seakan ia tengah berbicara dengan orang asing. Ia merasakan hatinya berdebar hanya dengan memikirkan tatapan tajam Arga, bagaimana pria itu mampu membuatnya merasa dilihat, bahkan sampai ke sudut-sudut terdalam dari dirinya yang mungkin tak pernah ia sadari.
Adara menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikiran yang bergejolak. Pekerjaan sebagai sekretaris pribadi seorang CEO jelas tak mudah. Tapi beban pekerjaannya selama ini bukanlah masalah. Masalahnya justru muncul ketika hatinya mulai terlibat. Hari-hari bersama Arga di kantor semakin membuatnya terperangkap dalam kebingungan. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali ia menangkap tatapan mata Arga yang penuh teka-teki itu, hatinya seolah tertarik dalam pusaran yang tak bisa ia hindari.
Ia ingat bagaimana Arga bisa tiba-tiba muncul di ruang kerjanya, memberikan tugas yang terlihat sepele tapi memerlukan kehadiran pribadi mereka. Ia ingat pertemuan-pertemuan itu, di mana jarak di antara mereka terasa begitu tipis, membuatnya merasa seakan hanya satu langkah lagi semua batasan akan terlampaui. Bahkan ada saat-saat di mana Arga menatapnya dengan cara yang membuat tubuhnya terasa panas, dan Adara tak bisa mengalihkan pandangannya.
Bayangan dirinya di cermin seolah tersenyum pahit. “Apa kau benar-benar bisa menghadapi ini?” tanyanya lagi pada pantulan diri.
Pikiran Adara kembali melayang pada percakapan mereka kemarin sore. Arga mengundangnya untuk menghadiri sebuah acara gala amal perusahaan. Arga menjelaskan bahwa ia memerlukan seseorang di sampingnya sebagai pendamping dan Adara yang dianggap paling pantas untuk posisi itu. Bagi orang luar, mungkin hal ini tak berarti apa-apa, tapi Adara tahu bahwa dirinya harus berhati-hati. Bukan karena ia meragukan profesionalismenya, tapi lebih pada ketakutannya terhadap perasaannya sendiri.
Menghadiri acara gala bersama Arga di depan banyak orang berarti menunjukkan bahwa mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Dalam pikirannya, Adara tak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika rumor itu menyebar. Tetapi di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang merasa senang. Bagian dirinya yang ingin melupakan segala ketakutan dan kekhawatiran.
Ia merasakan getaran halus pada ponselnya. Pesan dari Arga. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka pesan tersebut.
“Selamat pagi, Adara. Semoga kau sudah siap untuk malam ini. Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan sebelum kita menghadiri acara gala nanti. Temui aku di kantor setelah makan siang. Jangan terlambat.”
Pesan singkat itu, meski tanpa kata-kata yang berlebihan, cukup untuk membuat jantung Adara berdetak lebih cepat. Ia merasakan sesuatu yang aneh, seolah pesan itu bukan hanya perintah dari seorang atasan, tetapi juga bentuk perhatian yang tersembunyi. Namun, ia tahu betapa sulitnya menafsirkan setiap sikap Arga, pria itu selalu menjaga jarak. Bahkan ketika Arga menunjukkan ketertarikan padanya, ia tetap tak mudah ditebak.
“Apa yang sedang kau lakukan padaku, Arga?” gumamnya lirih.
Tatapan Adara di cermin terlihat bimbang. Hatinya terombang-ambing antara keinginan untuk tetap menjaga jarak dan keinginan untuk mendekat. Bagi orang lain, mungkin mudah menilai bahwa perasaannya hanyalah ketertarikan sesaat, atau bahkan sekadar fantasi yang muncul karena bekerja terlalu dekat dengan seseorang seperti Arga. Namun, Adara tahu bahwa perasaannya tidak sesederhana itu. Setiap kali ia menatap Arga, ada sesuatu yang ia lihat, sesuatu yang lebih dalam dan lebih rumit dari sekadar wajah dingin dan penuh karisma.
Dengan langkah mantap, Adara berjalan ke lemari pakaian, memilih gaun yang akan ia kenakan malam ini. Sebuah gaun hitam sederhana namun elegan. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang. Gaun itu bukan sekadar pilihan pakaian, melainkan simbol keputusan besar yang harus ia hadapi. Ia tak tahu apa yang akan terjadi malam ini, tetapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat.
Saat menatap bayangan dirinya sekali lagi di cermin, Adara akhirnya menemukan jawabannya. Ia menyadari bahwa ia harus mengendalikan perasaannya. Sekeras apa pun perasaannya pada Arga, ia tidak boleh menjadi wanita yang melupakan batasan. Ia tahu betul bahwa tidak ada yang lebih berbahaya daripada membiarkan hatinya jatuh pada seseorang yang mungkin tak bisa memberikan hal yang sama.
“Adara, kau harus kuat,” bisiknya, seolah berbicara pada bayangannya yang kembali memandangnya dengan keyakinan yang mulai tumbuh.
Ia menarik napas panjang, mengembalikan ketenangan dalam dirinya. Malam ini, ia akan berdiri di samping Arga, tetapi ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan menyerah pada perasaan yang bisa merusak segalanya. Gaun hitam itu, kilauan kecil di matanya, dan tatapan penuh tekad di cermin menjadi bukti bahwa ia akan menghadapi semua ini dengan kepala tegak.
Perlahan, ia memalingkan wajahnya dari cermin, meninggalkan bayangan dirinya yang terlihat lebih kuat daripada sebelumnya.