Kumpulan Cerita Pendek
Di sebuah desa terpencil di kaki gunung, ada sebuah aturan yang tak tertulis namun diyakini kuat oleh semua warganya: jangan pernah keluar rumah saat magrib. Desa itu, bernama Karangjati, menyimpan misteri yang selalu membuat orang penasaran, namun juga ketakutan. Anak-anak kecil dilarang bermain di luar ketika senja tiba, dan para orang tua selalu menutup jendela rapat-rapat begitu azan magrib berkumandang.
Rara, seorang gadis berusia delapan belas tahun, selalu penasaran tentang larangan ini. Sejak kecil, ibunya selalu mengingatkan hal yang sama, namun tanpa penjelasan yang memadai. Hanya ada satu jawaban yang selalu diberikan ketika Rara bertanya, “Karena berbahaya.”
Namun, rasa penasaran Rara memuncak setelah kepergian ayahnya yang tiba-tiba dua tahun yang lalu. Ayahnya, seorang petani yang dikenal pendiam dan pekerja keras, hilang begitu saja pada suatu malam magrib. Waktu itu, ayahnya bilang akan pergi ke ladang untuk memeriksa tanaman yang rusak karena banjir kecil. Tak ada yang menduga malam itu akan menjadi pertemuan terakhir Rara dengan ayahnya.
Rara duduk di tepi jendela kamarnya. Pemandangan senja di Karangjati memang memukau, tetapi ada nuansa kelam yang tak bisa diabaikan. Awan di langit sering kali menggantung rendah, dan angin yang bertiup pelan selalu terasa lebih dingin saat azan berkumandang. Dia merapatkan tangannya di jendela, memandang ke luar dengan penuh rasa ingin tahu.
“Kenapa sih, Ma, kita gak boleh keluar magrib?” tanya Rara, suatu sore.
Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan wajah penuh kelelahan, meletakkan piring yang sedang ia lap ke meja dan menghela napas panjang. “Itu sudah tradisi di sini, Nak. Bahaya mengintai saat magrib. Kau sudah tahu kan cerita-cerita yang beredar?”
“Tapi kan itu cuma cerita rakyat, Ma. Tidak ada bukti nyata, hanya kisah yang selalu dituturkan turun-temurun. Aku ingin tahu yang sebenarnya.” Rara menatap ibunya, penuh harap.
“Sudah, jangan bertanya-tanya lagi soal itu. Magrib akan datang sebentar lagi. Cepat, tutup jendela dan bantu Mama menyiapkan makan malam.” Nada suara ibunya tegas, seperti ada sesuatu yang tak bisa ditentang.
Tapi malam itu, Rara merasa ada yang berbeda. Desakan dalam dirinya untuk mencari tahu semakin kuat. Mungkin karena rasa rindunya pada ayah yang tak pernah pulang. Atau mungkin karena setiap malam magrib, ia selalu merasa ada mata-mata yang mengawasi dari kegelapan di luar sana.
Ketika malam benar-benar tiba, Rara berdiri diam di samping jendela. Lampu-lampu rumah yang berpendar lemah di tengah gelap hanya membuat suasana makin mencekam. Suara serangga malam terdengar samar-samar di balik kaca, tetapi ada sesuatu yang aneh. Suara angin yang seharusnya mengalun lembut kini berputar-putar, seperti bisikan dari kejauhan.
Rara memutuskan untuk melawan larangan yang sudah lama menghantuinya.
Dia menunggu sampai ibunya tertidur di kamar, lalu mengenakan jaket tebal dan menyelinap keluar dari rumah. Udara di luar dingin dan menusuk tulang. Desa yang biasanya ramai oleh suara ayam berkokok, kini terasa sunyi. Hanya ada suara napasnya sendiri yang terdengar jelas di telinga.
Rara berjalan perlahan-lahan menuju ladang di pinggir desa, tempat terakhir kali ayahnya terlihat. Langkah-langkahnya semakin cepat, diiringi degup jantung yang semakin kencang. Meski perasaan takut menghantui, rasa penasaran lebih kuat dari segala ketakutannya. Dia harus tahu apa yang terjadi pada ayahnya.
Sesampainya di ladang, Rara melihat-lihat sekeliling. Tanaman jagung menjulang tinggi di bawah cahaya redup bulan sabit. Namun, tak ada yang aneh. Ladang itu terlihat seperti biasa, tenang dan sunyi. Tapi tiba-tiba, sebuah bayangan hitam melintas di depan matanya. Rara tersentak, hatinya berdegup kencang. Ia mendengar suara desahan pelan, seperti suara seseorang yang terengah-engah.
"Siapa di sana?" teriak Rara, suaranya sedikit bergetar.
Tak ada jawaban. Hanya ada suara gemerisik dedaunan yang seolah-olah dibelai angin, atau sesuatu yang lain.
Dengan langkah gemetar, Rara mendekati arah suara itu. Di tengah ladang, di antara tanaman jagung yang terinjak-injak, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di tanah, ada bekas-bekas kaki besar yang tak mungkin dibuat oleh manusia biasa. Bekas itu menyerupai telapak kaki manusia, tetapi jauh lebih besar, dan di ujungnya ada cakar panjang yang menggores tanah.
Rara mulai mundur dengan perasaan cemas. Ketika hendak berbalik untuk lari, sebuah suara berat dan serak terdengar dari balik gelap.
“Kenapa kau keluar saat magrib?”
Rara membeku. Suara itu bukan milik manusia. Ia menoleh pelan ke arah sumber suara dan melihat sesosok bayangan hitam yang tinggi menjulang, dengan mata merah menyala menatapnya tajam. Tubuh sosok itu besar, dengan tangan dan cakar panjang yang menyerupai makhluk dalam cerita rakyat yang sering didengarnya.
"Ka-kau siapa?" Rara berusaha menahan suaranya agar tak bergetar, tapi usahanya sia-sia.
"Aku sudah lama mengawasi. Aku ada di sini, setiap magrib, seperti ayahmu," suara itu semakin mendekat, membuat jantung Rara hampir berhenti berdetak.
Rara mundur, terjatuh ke tanah. Kepanikan merayap ke seluruh tubuhnya. "Apa yang kau lakukan pada ayahku?" Suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti desahan ketakutan.
Sosok itu tersenyum dingin. "Ayahmu terlalu berani, seperti dirimu. Dia juga melanggar aturan. Sekarang, dia milik kami."
Rara merasakan napasnya semakin berat. "Tidak mungkin... Ayahku tidak akan... dia..."
Sosok itu mendekat lagi, kali ini hanya beberapa meter darinya. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin. “Jangan khawatir. Sebentar lagi kau akan bergabung dengannya.”
Rara berusaha bangkit dan lari, tapi tubuhnya terasa lemas. Ketakutan menahannya untuk bergerak. Namun, suara ibunya tiba-tiba terngiang di kepalanya. Larangan untuk tidak keluar saat magrib bukanlah sekadar dongeng atau cerita rakyat. Itu adalah peringatan nyata.
Dalam keputusasaan, Rara menutup matanya dan berdoa, berharap apapun yang ada di hadapannya lenyap. Beberapa detik berlalu, dan keheningan menyelimuti. Namun, saat dia membuka matanya kembali, sosok itu masih berdiri di sana, dengan senyum mengerikan di wajahnya.
Tiba-tiba, terdengar suara azan dari kejauhan. Azan isya. Suara itu melantun lembut namun tegas, seolah memecah kegelapan yang menyelimuti desa. Rara melihat bagaimana sosok hitam itu mulai mundur perlahan, matanya yang merah menyala memudar. Suara beratnya menghilang seiring bayangannya yang lenyap di antara pepohonan.
Rara terjatuh ke tanah, tubuhnya gemetar. Dia menangis terisak-isak, antara lega dan ketakutan yang masih menyelimuti. Kakinya terasa berat, namun ia berhasil memaksa dirinya untuk bangkit dan berlari kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, dia mendapati ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kecemasan.
"Rara! Di mana saja kamu?!" seru ibunya sambil memeluk Rara erat-erat.
Rara menangis di pelukan ibunya, merasa aman untuk pertama kalinya setelah apa yang baru saja dialaminya. “Ma, aku... aku melihatnya... Ayah... dia...”
Ibunya menggeleng pelan, menahan air mata. "Aku tahu, Nak. Itulah sebabnya aku selalu memperingatkanmu. Jangan pernah keluar saat magrib."
Sejak malam itu, Rara tak pernah lagi meragukan larangan ibunya. Misteri tentang hilangnya ayahnya memang masih menyisakan luka, namun kini dia tahu satu hal: ada sesuatu yang mengintai di balik senja Karangjati, sesuatu yang tidak pernah boleh diabaikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments