Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak
Sejak pulang dari rumah sakit, Rafael hidup dalam ketidakpastian. Dia selalu merasa waswas, selalu menengok ke setiap sudut rumah, seolah mencari sesuatu—topeng itu. Namun, topeng itu tak pernah terlihat lagi. Ke mana perginya? Mengapa dia merasa masih ada bayang-bayang mengintai, meski tidak nyata?
Pagi ini, Rafael keluar dari kamar dengan seragam sekolahnya yang sudah rapi. Di wajahnya terlihat datar, namun matanya tetap waspada. Adrian yang menyadari kehadiran anaknya dan berdiri untuk menyapanya.
“Kamu mau sekolah? Emang udah kuat?” tanya Adrian, berusaha terdengar perhatian. Tangannya terulur, seolah ingin menyentuh bahu Rafael, tapi dia menariknya kembali, tidak ingin terlihat memaksa.
Rafael hanya mengangguk pelan. “Iya.”
Adrian merasa canggung, tapi dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dia mencoba lebih banyak bicara, mencari celah untuk bisa masuk ke dalam pikiran Rafael. “Kamu masih pusing? Kalau ada yang gak enak, bilang aja. Kamu udah sarapan belum?”
“Belum.”
“Yaudah kalo gitu kita sarapan dulu.”
“Iya.”
Jawaban Rafael begitu singkat, seakan semua pertanyaan itu tidak penting baginya. Adrian merasa percakapan ini seperti tembok yang tak bisa dia tembus. Rafael menjawab, tapi tak benar-benar berbicara dengannya. Hatinya terasa sakit, terutama saat dia melihat betapa datarnya ekspresi Rafael. Adrian bingung harus mengawali dari mana lagi.
Kenapa kita jadi begini? batin Adrian, penuh kebingungan. Padahal dulu, Rafael tak pernah segini jauhnya. Semuanya terasa berubah sejak... entah kapan.
Adrian ingin mencoba lagi, namun sebelum sempat melanjutkan, suara Bik Minah terdengar dari dapur, memanggil mereka berdua untuk sarapan. Rafael langsung melangkah ke ruang makan, di mana Bik Minah sudah menyiapkan beberapa piring makanan.
“Bibik, telur ini keasinan,” ujar Rafael dengan nada bercanda, memecah keheningan yang sejak tadi mendominasi.
“Ah, masa? Gak mungkin! Kamu aja yang lagi aneh lidahnya,” jawab Minah dengan senyum, seakan sudah terbiasa dengan keluhan main-main Rafael.
“Nggak percaya? Coba aja sendiri.” Rafael mendorong piring ke arah Minah, menyuapi satu sendok kecil telur ke mulutnya.
Minah tertawa kecil sambil mengunyah. “Eh, ya bener juga, sedikit keasinan. Coba besok Bibik benerin, ya.”
Adegan sederhana itu terjadi begitu alami, begitu cair. Rafael dan Minah tertawa kecil, seolah dunia di sekeliling mereka tidak ada masalah. Dan itu, bagi Adrian, terasa seperti pukulan di dadanya.
Dia diam memperhatikan dari sudut meja makan, melihat betapa dekatnya Rafael dengan Bik Minah. Betapa mudahnya Rafael bercanda, tertawa, dan berbicara saat bersama Minah. Adrian hanya bisa duduk di sana, merasa terasing di tengah keluarganya sendiri.
Aku sudah gagal... pikir Adrian, menahan rasa sakit yang mulai merayap di hatinya. Dia ingin lebih dekat dengan anaknya, tapi jarak itu terasa semakin jauh dengan setiap usaha yang dia lakukan.
***
Rafael sudah berjalan ke depan, siap menaiki motornya dan berangkat ke sekolah. Namun, sebelum dia sempat menghidupkan mesin, suara langkah cepat terdengar dari arah rumah.
“Nak! Tunggu sebentar!” panggil Bik Minah sambil berlari kecil menghampiri Rafael.
Di tangannya, Minah membawa tumbler, kotak makan, dan satu paket obat yang dibungkus rapi. Rafael menatapnya dengan sedikit senyum di wajahnya, meskipun di dalam hatinya masih ada perasaan waswas yang menggantung.
“Ini buat kamu,” kata Minah sambil memasukkan barang-barang itu ke dalam tas Rafael dengan cepat. “Jangan lupa diminum obatnya pas siang. Terus, kalau nanti pusing atau capek, langsung ke UKS ya, jangan paksain diri.”
Rafael hanya mendengus kecil. “Iya, iya, Bik. Bawel banget.”
Mendengar jawabannya, Minah langsung mencubit pipi Rafael pelan. “Dibilangin malah ngatain Bibik bawel. Awas ya, kamu!”
Rafael terkekeh kecil, merasakan kasih sayang yang selalu terasa hangat setiap kali Bik Minah berbicara dengannya. Tanpa ragu, Rafael meraih tangan Minah dan menciumnya, sebuah tanda hormat yang sudah lama mereka lakukan setiap kali Rafael hendak pergi.
Minah menatap Rafael dengan tatapan penuh perhatian, lalu dengan nada sedikit mengancam sambil tersenyum, dia berkata, “Awas kamu ya, jangan bikin Bibik khawatir lagi.”
Rafael tertawa kecil, sambil mengangkat tangannya membentuk love sign dengan jarinya. “Iya, Bik. Love you,” katanya bercanda.
Minah tergelak, tertawa kecil sambil menepuk pundak Rafael. “Lop yutu, Nak. Hati-hati di jalan, ya!” ujarnya sambil masih tersenyum lebar.
Rafael menyalakan motornya dan melaju perlahan meninggalkan halaman rumah.
Sementara itu, dari dalam rumah, Adrian berdiri di dekat jendela, memperhatikan semua itu. Dia melihat bagaimana Minah dan Rafael begitu dekat, begitu alami dalam hubungan mereka. Ada tawa dan canda yang ringan di antara mereka, sesuatu yang terasa sulit bagi Adrian untuk lakukan bersama anaknya.
Hati Adrian terasa semakin berat. Perasaan sedih yang selama ini dia simpan mulai muncul lagi, seolah menunjukkan betapa jauhnya jarak emosional antara dirinya dan Rafael. Adrian termenung, tatapannya kosong, seolah menatap cermin yang memantulkan kegagalannya sebagai seorang ayah.
Mungkin aku memang gak pernah benar-benar ada buat dia... batin Adrian penuh rasa penyesalan.
***
Tiba di sekolah, Rafael masih berusaha menjalani rutinitasnya meski kepalanya penuh dengan kebingungan. Namun, saat melewati taman depan sekolah, langkahnya mendadak terhenti. Dia melihat sosok yang sepertinya tak asing—sosok yang justru mengingatkannya pada hari-hari yang mengerikan belakangan ini.
Harun.
Pria yang sebelumnya terlihat kusut kini tampak sedikit lebih rapi. Rambut keritingnya dikuncir ke belakang, wajahnya tetap keras, dan meskipun dia mengenakan seragam tukang kebun sekolah, aura seramnya tidak bisa disembunyikan. Harun kini terlihat seperti bagian dari sekolah, tetapi Rafael merasa seolah sedang bertemu kembali dengan sumber ketakutannya.
“Kenapa dia ada di sini?” Rafael merasa jantungnya berdetak semakin cepat. Namun, sebelum sempat melangkah mundur, Harun sudah menatapnya, dan dalam sekejap mata, pria itu mulai mendekat.
Rafael berusaha menghindar, tetapi Harun melangkah cepat. “Nak,” panggil Harun dengan suara rendah. “Kamu baik-baik aja?”
Rafael pura-pura tidak mendengar, matanya berusaha mencari jalan keluar. Tetapi Harun terus mendekat, hingga akhirnya dia bicara lebih tegas.
“Topeng itu ada sama kamu, kan?” tanya Harun dengan tenang, tapi nada suaranya menekan.
Rafael langsung membeku, merasa ketakutan. “Topeng?” Rafael menatap Harun dengan heran, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Kenapa bapak bisa tahu soal topeng itu? Gimana bisa? Apa topeng itu punya bapak?” Rafael bertanya, suaranya mulai dipenuhi rasa panik.
Harun menggeleng pelan, wajahnya tetap tenang, meski ada ketegangan di sana. “Bukan, Nak. Topeng itu bukan punya saya.”
Rafael semakin panik, napasnya mulai pendek-pendek. “Terus kenapa bapak bisa tahu? Pasti ada hubungannya sama bapak, kan? Atau jangan-jangan... bapak yang bikin topeng itu ngikutin saya?” Rafael memandang Harun dengan penuh tuduhan, meski hatinya masih bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Kenapa bapak lakuin itu?”
Harun mendekat sedikit, nada suaranya menjadi lebih lembut, berusaha menenangkan Rafael. “Nak, dengerin dulu. Saya gak ada hubungannya sama topeng itu. Saya cuma bisa merasakannya, itu aja.”
Namun, Rafael tidak merasa tenang. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari logika di balik peristiwa yang dia alami. Harun yang tiba-tiba muncul di sekolah, tahu tentang topeng, dan perasaan tak terjelaskan ini—semuanya terasa begitu salah.
“Saya bisa merasakannya. Topeng itu ada di tas kamu.”
Rafael menatap Harun dengan tatapan tidak percaya. “Enggak mungkin... topeng itu, sudah hilang…” gumamnya. Meski begitu, tangannya perlahan membuka ransel, dan saat dia merogoh isinya, jantungnya nyaris berhenti.
Di sana, tergeletak di dalam tasnya, topeng itu kembali. Topeng yang seharusnya sudah hilang entah kemana. Rafael langsung menarik tangannya dari dalam tas seolah dia baru saja menyentuh sesuatu yang berbahaya. Matanya melebar penuh ketakutan. “Gak mungkin... saya udah buang ini—” suaranya terhenti, napasnya semakin berat.
Harun yang menyadari kebingungan Rafael, mendekat dengan tenang. “Topeng itu memang seperti itu, Nak. Sekali dia ngikutin kamu, sulit untuk dilepas.”
Rafael dengan tangan gemetar, mengeluarkan topeng dari dalam tasnya. “Ambil. Aku yakin itu punya bapak! Aku gak mau ini lagi!” katanya panik, mengulurkan topeng itu kepada Harun.
Namun, Harun langsung mundur beberapa langkah, matanya melebar dengan ketakutan. “Jangan!” serunya. “Saya gak bisa megang itu. Kalau saya nyentuh, saya bisa kesurupan. Saya gak bisa mengendalikan topeng itu.”
Rafael terdiam, bingung dan semakin takut. “Jadi... jadi apa yang harus saya lakukan? Saya gak mau benda ini terus ngejar saya!”
Harun mendekat perlahan, lalu meletakkan tangan di bahu Rafael. “Topeng itu memang seperti itu, Nak. Sulit untuk dilepas. Tapi bagus kamu gak kehilangan akal waktu bawa topeng itu. Itu tandanya kamu cukup kuat.”
Rafael menggeleng, putus asa. “Aku gak peduli. Aku cuma mau topeng ini pergi. Aku gak tahan lagi.”
Harun menatapnya dengan serius. “Saya bisa bantu. Tapi ini gak mudah. Kamu harus sabar. Kita harus cari cara untuk menyingkirkannya... dan itu butuh waktu.”
Rafael menunduk, bingung dan lelah. “Cuma mau... semuanya berhenti,” gumamnya pelan.
Harun hanya mengangguk. “Kita akan atasi ini. Tapi, untuk sekarang, kamu harus tetap waspada.”