Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Hubungan Dingin

Rafael menutup buku pelajarannya setelah lebih dari dua jam mengerjakan PR dan belajar. Tubuhnya terasa letih. Dia segera melangkah menuju tempat tidur single bed-nya dan merebahkan diri. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar, tenggelam dalam lamunan. Samar-samar terdengar suara mesin mobil yang berderu, menandakan kepulangan papanya. Rafael segera bangkit dari tempat tidur, wajahnya terlihat antusias. “Papa?” gumamnya sambil bergegas keluar dari kamar, kemudian berlari menuruni tangga untuk menyambut kepulangan papanya yang sudah beberapa hari tidak pulang karena urusan pekerjaan.

Rafael tiba di lantai bawah bersamaan dengan Adrian—papanya—yang baru saja membuka pintu depan. Rafael langsung menghampiri. “Akhirnya papa pulang,” sapanya. Namun, Adrian hanya mengangguk tanpa menatap Rafael, membuatnya kecewa. Respons papa terasa dingin, seolah kehadirannya tak terlalu dihiraukan. Adrian berjalan dengan wajah letih, meletakkan tas kerjanya di kursi. Rafael mendekat, masih berharap papanya lebih memperhatikannya.

“Papa masih inget besok hari apa?” tanya Rafael, penuh harap.

“Ulang tahun kamu, kan?” jawab Adrian.

Rafael tersenyum dan mengangguk, berharap ada kejutan dari papanya. “Nanti papa transfer, kamu beli aja apa yang kamu suka,” kata Adrian sambil berjalan menuju tangga.

Rafael merasa campur aduk. Senang karena papanya pulang, tetapi kecewa karena tidak mendapat perhatian seperti yang diharapkan. Meski begitu, dia tetap berusaha menutupi perasaannya. “Makasih, Pa,” ucapnya dengan senyum tipis, menahan kekecewaan.

“Pa, tunggu,” panggil Rafael.

Adrian menoleh. “Kenapa?”

“Aku belum makan malam. Papa lapar gak? Gimana kalau kita makan di luar?” Rafael mencoba lagi.

“Papa capek, mau langsung istirahat. Kamu makan di luar sendiri aja,” jawab Adrian, membuat Rafael semakin kecewa.

Adrian meraih dompet, mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu, lalu memberikannya pada Rafael.

“Gak usah, Pa. Uang bulan lalu dari papa aja masih ada,” sahut Rafael lesu. “Aku gak minta uang, aku cuma pengen waktu papa. Kenapa sekarang papa sibuk banget?” tanyanya, mulai terdengar frustrasi.

“Papa memang sibuk,” jawab Adrian datar.

Rafael menghela napas dalam-dalam, menekan perasaan kecewanya. “Di hari ulang tahun aku besok, aku pengen ajak papa ziarah ke makam mama,” ucap Rafael pelan. “Kita udah lama gak ziarah bareng. Emang papa gak kangen sama mama?”

Adrian terdiam sejenak, kesedihan tersirat di matanya. Rafael yakin papanya masih merindukan mamanya.

“Besok jadwal papa padat di rumah sakit, jadi mungkin gak sempat,” sahut Adrian, setelah beberapa lama terdiam.

Rafael merasa semakin terpukul. “Papa kenapa sih?” protesnya. “Aku ngerasa papa berubah setelah mama gak ada. Papa jadi dingin banget sama aku.”

“Kamu ngomong apa sih? Kamu kan udah SMA, jangan kayak anak kecil,” kata Adrian dengan suara sedikit meninggi.

“16 tahun memang bukan anak kecil, tapi bukan berarti aku bisa terus-terusan ditinggal sendiri,” balas Rafael penuh kekecewaan. “Papa bahkan gak pernah ambil raporku ke sekolah.”

Adrian tercekat, lalu terdiam beberapa saat. Dia menyadari kesalahannya, sering kali tenggelam dalam pekerjaan.

“Maafin papa, next time papa pasti akan datang,” katanya.

“Next time? Emang ada next time?” Rafael tersenyum getir, merasa janji itu sudah terlalu sering diucapkan tanpa bukti.

Dengan kesal, Rafael meraih kunci motornya di atas meja. “Mau kemana?” tanya Adrian, cemas.

“Cari makan. Tadi papa suruh aku makan di luar sendiri, kan?” jawab Rafael tanpa menoleh.

Adrian menatap kepergian Rafael dengan perasaan campur aduk. Dia mengurungkan niat untuk naik ke kamar, lalu duduk di sofa ruang tamu, meremas rambutnya, merasa frustrasi menyadari hubungan mereka semakin renggang.

***

Rafael melajukan motornya tanpa arah. Selama beberapa waktu, dia hanya memacu kendaraan tanpa tujuan. Rasa lapar yang semula ada menguap bersama emosinya setelah berdebat dengan papa.

Perasaannya campur aduk: kesal, marah, sedih, dan kecewa dengan sikap papa yang seolah tak mengharapkannya. Padahal, selama ini Rafael selalu berusaha menjadi anak yang baik. Nilainya cukup bagus meskipun tidak pernah menjadi juara kelas. Dia juga tidak pernah membuat masalah di sekolah. Namun, entah mengapa, papa selalu bersikap dingin padanya.

Di tengah hiruk-pikuk jalanan kota Batu, Rafael merasa seolah ada beban berat di pundaknya. Dia berharap bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya, terutama tentang hubungan dirinya dengan papa.

Dia menarik gas motornya, melaju makin cepat, menjauh dari rumah. Udara dingin kota Batu menusuk kulit, tapi Rafael tidak peduli.

Tiba-tiba, mesin motornya mati. Rafael menoleh ke speedometer dan baru sadar kalau bensinnya habis.

“Yah, habis lagi...” gumamnya, bingung, terlebih saat menyadari dia berada di tempat sepi, jauh dari keramaian.

Rafael mengedarkan pandangan, tidak ada warung atau pemukiman terdekat. “Gawat, kalau beneran habis di tempat kayak gini...” pikirnya, sedikit bergidik saat angin malam berhembus.

Dia meraih ponsel, berpikir untuk menelepon papa. Namun, keraguan muncul. Apa papa bakal peduli?

Setelah menepis keraguan itu, Rafael menekan tombol panggilan. Panggilan terangkat. “Halo,” terdengar suara Adrian.

Rafael merasa lega. “Pa, bisa minta tolong—” tut... tut... Sambungan terputus.

Rafael terdiam, kaget. Panggilan itu tiba-tiba terputus. Untuk beberapa saat, dia hanya menatap layar ponselnya dengan kecewa. Seharusnya tadi dia tidak meminta bantuan papa. Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi benaknya. “Apa papa sengaja memutuskan panggilan?” batinnya, dilanda perasaan tak karuan. Rafael mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin sinyal yang bermasalah. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia merasa papanya memang malas menanggapi.

Selama ini, setiap kali Rafael membutuhkan sesuatu, selalu ada alasan bagi papa untuk menjauh atau bersikap acuh. Panggilan yang terputus itu seperti simbol dinginnya hubungan mereka. Seharusnya, saat anaknya butuh pertolongan, papa langsung bereaksi cepat, tapi kali ini sama saja—hanya satu lagi bentuk kekecewaan yang harus diterima Rafael. Dia mengepalkan tangan, merasakan rasa sakit yang semakin dalam. Di saat genting seperti ini, dia berharap papanya akan menaruh perhatian, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Rafael merasakan kesedihan yang makin menumpuk. “Kenapa papa selalu seperti ini?” tanyanya dalam hati, merasakan jarak yang tak kunjung terjembatani antara dirinya dan papanya.

Saat masih diliputi rasa kesal, Rafael mendengar suara aneh—langkah yang diseret, samar-samar terdengar dari arah semak-semak. Degup jantungnya semakin cepat, udara malam terasa makin mencekam. Dia menoleh, melihat sesuatu bergerak di antara kegelapan dedaunan. Hawa dingin menyeruak di sekitarnya, menambah kecemasan yang sudah sejak tadi menghantuinya. “Apa itu?” pikirnya, ketakutan mulai merayap. Apakah itu binatang buas? Atau... sesuatu yang lebih menakutkan?

Tangan Rafael bergetar hebat saat meraih ponsel. Dengan jari yang hampir tidak bisa dikendalikan, dia menyalakan senter. Cahaya dari layar ponselnya terasa begitu rapuh, seakan tak mampu menembus pekatnya malam yang membungkus tempat itu. Sinar terang menyapu semak-semak yang bergoyang perlahan, seakan menyembunyikan sesuatu. Nafas Rafael tercekat. Dari balik kegelapan, sosok itu muncul—seorang lelaki berambut keriting panjang, namun ada yang aneh. Sangat aneh.

Penampilannya begitu kacau, wajahnya hampir seperti bukan manusia lagi. Mata cekungnya tampak menyeramkan dengan lingkar hitam pekat, kulitnya pucat seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Rafael merasa bulu kuduknya berdiri. Jantungnya berdebar semakin kencang, dan perasaan mencekam menyelimuti pikirannya. “Itu bukan manusia!” pikirnya, rasa takut yang tak terlukiskan menelan seluruh keberaniannya.

Sosok itu bergerak mendekat, langkah kakinya berat, menyeret di atas tanah, seakan berasal dari dunia yang bukan miliknya. Rafael terpaku. Tubuhnya tak lagi bisa digerakkan, seperti akar ketakutan telah mencengkeramnya kuat-kuat. Suara napas sosok itu terdengar seperti erangan pelan, lebih menyerupai desah kematian. Rafael tidak berani berkedip, bahkan tidak bisa bernapas normal. Dia tahu, dalam benaknya, makhluk ini bukan lagi manusia.

Dalam kepanikan, Rafael mencoba mundur, tapi tubuhnya mulai goyah. Kakinya tersandung batu besar yang tidak terlihat di bawah cahaya redup. Dalam satu gerakan cepat, dia terjungkal ke belakang. Pandangannya berputar, dan sebelum sempat memahami apa yang terjadi, kepalanya membentur tanah dengan keras.

Rasa sakit tajam langsung menjalar di belakang kepalanya. Rafael masih bisa melihat sosok menyeramkan itu mendekat, namun tubuhnya sudah tak bisa merespons lagi. Pandangannya semakin kabur, dan akhirnya segalanya menghilang dalam kegelapan total.

Terpopuler

Comments

KrakenTidur

KrakenTidur

ikut dag-dig-dug aku ;-;

2024-10-08

0

KrakenTidur

KrakenTidur

tadi g isi bensin dulu, sihh

2024-10-08

0

KrakenTidur

KrakenTidur

sedih 😔

2024-10-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!