Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Pilihan Dion
Dion berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri dengan perasaan yang bercampur aduk. Pagi ini terasa berbeda, meskipun dia tidak tahu pasti kenapa. Mungkin karena pertengkaran kecil antara Lara dan Clara di kantin kemarin, atau mungkin karena Clara mulai semakin dekat dengannya. Tapi di balik semua itu, Dion merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggunya di depan.
Dia menghela napas panjang dan mengambil tasnya. Di rumah, suasana sudah seperti biasa: ramai dan penuh kehangatan. Ibunya sedang menyiapkan sarapan, sementara adiknya sibuk dengan permainan video di ruang tamu.
“Kamu nggak sarapan dulu?” tanya ibunya dengan nada hangat.
“Nggak, Bu. Aku harus cepat,” jawab Dion sambil tersenyum tipis, lalu segera keluar rumah.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, pikirannya terus berputar. Lara, Clara, basket, dan pertemanannya dengan Reza, Fariz, dan Aldi—semuanya terasa begitu tumpang tindih. Dia selalu berpikir bahwa kehidupan sekolah akan sederhana: belajar, bermain basket, lalu pulang. Tapi sekarang, semuanya jadi lebih rumit, terutama sejak kehadiran Clara dan Lara di dalam hidupnya.
Ketika sampai di sekolah, Dion tidak langsung menuju lapangan basket seperti biasanya. Dia malah memilih berjalan ke belakang sekolah, mencari tempat yang tenang untuk merenung. Dia butuh waktu sendirian untuk berpikir.
Ketika dia tiba di taman belakang yang sepi, Dion duduk di bangku kayu yang sudah mulai tua. Dia menatap pepohonan yang berdiri kokoh di depannya. Dalam keheningan itu, pikiran-pikiran yang berusaha dia hindari mulai bermunculan.
Clara. Dion tidak bisa mengabaikan kehadiran Clara dalam hidupnya. Meski awalnya dia hanya melihat Clara sebagai teman, semakin lama dia merasakan sesuatu yang lebih. Setiap kali mereka bersama, Dion merasa lebih bebas—seperti tidak ada yang perlu dia sembunyikan. Clara adalah satu-satunya orang yang membuatnya nyaman menjadi dirinya sendiri.
Namun, di sisi lain, ada Lara. Gadis baru yang terus mendekatinya dengan cara yang agresif. Dion tahu bahwa Lara tertarik padanya, dan meskipun dia tidak pernah secara langsung menolak atau menerima Lara, dia bisa merasakan ketegangan yang semakin hari semakin besar. Terutama setelah Lara dengan berani mendeklarasikan perang terhadap Clara. Bagi Dion, itu sudah melampaui batas.
Dion merasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza masuk.
"Di lapangan sekarang. Basket, bro?
Dion menatap pesan itu sejenak, lalu memutuskan untuk tidak langsung membalas. Dia masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Namun, tak lama setelah itu, dia mendengar suara langkah kaki mendekat.
“Dion.”
Suara itu terdengar familiar. Clara.
Dion menoleh dan melihat Clara berdiri tidak jauh dari bangku tempat dia duduk. Gadis itu tampak ragu untuk mendekat, tetapi akhirnya berjalan ke arah Dion dan duduk di sebelahnya, meskipun dengan jarak yang masih cukup.
“Aku nyari kamu di lapangan tadi,” kata Clara sambil tersenyum tipis.
Dion mengangguk pelan. “Aku cuma butuh waktu sendiri.”
Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa detik, tetapi Dion bisa merasakan Clara ingin mengatakan sesuatu. Dan dia tahu apa itu. Pertengkaran kemarin pasti membuat Clara tidak nyaman.
“Kemarin…” Clara memulai dengan suara pelan, “Aku nggak tahu kenapa Lara tiba-tiba bersikap seperti itu. Aku nggak peduli sama omongannya, tapi aku juga nggak suka dia melibatkan kamu.”
Dion menoleh, menatap wajah Clara yang penuh kecemasan. “Aku tahu. Kamu nggak perlu khawatir soal Lara.”
Clara menatapnya, matanya mencari jawaban yang lebih dalam. “Tapi aku merasa kita nggak bisa menghindari ini terus, Dion. Lara sudah jelas-jelas ingin bersaing, dan aku nggak mau ini jadi semakin rumit.”
Dion merasakan ada beban di dadanya. Memang benar, situasi ini sudah mulai tak terkendali. Lara tidak akan berhenti, dan Clara tidak bisa terus menerus menjadi korban dari ambisi Lara. Sebagai seseorang yang dekat dengan kedua gadis ini, Dion merasa perlu untuk membuat keputusan.
“Clara,” Dion akhirnya berkata, suaranya tegas namun tetap tenang. “Aku nggak pernah menganggap Lara lebih dari sekadar teman. Kalau dia berpikir aku tertarik padanya, itu salah. Dan kalaupun dia ingin bersaing, itu bukan sesuatu yang aku inginkan.”
Clara terdiam sejenak, sepertinya mencoba mencerna kata-kata Dion. “Jadi… apa yang kamu mau?” tanyanya dengan lembut.
Dion menatap ke arah pepohonan di depannya, mencoba merangkai jawabannya. “Aku juga nggak tahu. Aku nggak pernah berpikir aku akan berada di posisi seperti ini. Tapi satu hal yang aku tahu, aku nggak mau hubungan kita berubah cuma karena Lara.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Clara tampak lega mendengar jawaban Dion, tetapi masih ada sedikit keraguan di wajahnya. “Aku juga nggak mau hubungan kita berubah,” Clara akhirnya mengakui. “Tapi aku juga nggak mau jadi orang yang harus bersaing untuk sesuatu yang bukan kompetisi.”
Dion tersenyum kecil. “Aku tahu. Makanya, kita nggak perlu ikut dalam permainan Lara.”
Clara mengangguk, meskipun Dion bisa melihat bahwa masih ada banyak hal yang tersimpan di hatinya. Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, suara tawa dan obrolan terdengar dari arah lapangan basket. Reza, Fariz, dan Aldi muncul, membawa bola basket dan bersemangat untuk bermain.
“Hei, kenapa kalian ngumpet di sini?” seru Reza sambil melambai. “Ayo, kita main!”
Clara dan Dion saling bertukar pandang sejenak, sebelum keduanya berdiri dan berjalan mengikuti teman-teman mereka. Clara terlihat lebih tenang sekarang, meskipun Dion tahu masalah ini belum selesai sepenuhnya.
Saat mereka sampai di lapangan, Dion segera terjun ke dalam permainan, mencoba mengalihkan pikirannya dari segala kekacauan yang melingkupi. Tapi di sela-sela permainan, dia masih bisa merasakan tatapan Lara dari jauh, seperti sedang mengawasi setiap gerakannya.
Setelah permainan berakhir, semua orang berpeluh, tetapi Dion merasa sedikit lebih ringan. Dia tahu masalahnya dengan Lara dan Clara tidak akan hilang begitu saja, tetapi setidaknya dia sudah membuat posisi dirinya jelas pada Clara. Sekarang, yang tersisa adalah bagaimana dia harus menghadapi Lara.
Ketika semua orang mulai bubar, Dion memutuskan untuk tidak menunda lagi. Dia harus berbicara dengan Lara. Sebelum Lara sempat keluar dari lapangan, Dion memanggilnya.
“Lara, tunggu.”
Lara berbalik, wajahnya sedikit terkejut, tetapi dia dengan cepat menyembunyikan itu di balik senyumannya yang biasa. “Ada apa, Dion?”
Dion menatapnya dengan serius. “Kita perlu bicara.”
Lara menyilangkan tangannya di depan dada, seakan menunggu apa yang akan Dion katakan. “Tentu saja. Tentang apa?”
Dion menarik napas dalam-dalam. “Tentang apa yang kamu katakan kemarin pada Clara.”
Senyuman Lara perlahan memudar, digantikan oleh tatapan penuh harap. “Oh, jadi dia bilang sesuatu padamu?”
Dion menggeleng pelan. “Ini bukan tentang Clara yang bilang sesuatu padaku. Ini tentang bagaimana kamu mencoba menciptakan persaingan antara dia dan aku. Aku nggak mau ada perang di antara kalian berdua, Lara.”
Lara menatap Dion dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kamu berpikir aku salah karena menyukaimu?”
Dion menghela napas. “Bukan itu. Kamu berhak menyukai siapa pun. Tapi jangan pakai itu untuk menyakiti orang lain, apalagi Clara.”
Wajah Lara berubah dingin. “Jadi, ini tentang Clara?”
“Ini tentang kita semua,” jawab Dion dengan tegas. “Aku nggak mau kamu terus memaksakan sesuatu yang aku nggak bisa balas. Kamu harus tahu, aku nggak pernah melihatmu lebih dari sekadar teman.”
Perkataan itu membuat Lara terdiam. Tatapannya berubah tajam, dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia membalikkan badan dan berjalan pergi, meninggalkan Dion yang terdiam di tempat.
Dion menghela napas panjang. Dia tahu bahwa pembicaraan ini mungkin hanya awal dari masalah yang lebih besar, tetapi setidaknya dia sudah membuat posisinya jelas. Tidak ada lagi kebingungan di dalam dirinya.
Saat Dion melangkah meninggalkan lapangan, satu hal yang dia yakini adalah bahwa pilihannya sudah bulat. Apapun yang terjadi setelah ini, dia akan tetap berdiri di pihak yang dia percayai—dan itu adalah Clara.
To be continued...