Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25 - Satu Langkah Lagi
Sambil menunggu Tora menyiapkan makanan, Tuan Minos tiba-tiba saja melamun. Kedua tangannya ditaruh ke atas meja, menjadikannya sebagai penopang dagu. Sementara pikirannya kembali terbang ke masa lalu, rasanya sudah lama sekali dirinya menutup cerita menyedihkan itu.
Di tengah-tengah pikirannya yang melambung jauh, tatapannya yang semula kosong mendadak langsung bernyawa kembali seiring dengan keningnya yang mengerut. Serta hidung tak memiliki tulang itu tampak mengendus-ngendus, mencium aroma sesuatu.
Pikirannya jadi teralihkan oleh aroma yang semerbak menusuk hidung. Semilirnya membangkitkan rasa penasaran dan kecurigaan.
“Aroma ini...” Tuan Minos bergumam, kembali mengingat-ngingat tentang aroma yang terasa familiar tersebut.
Aroma khas yang hanya bisa dimiliki oleh satu orang. Aroma tajam yang mirip seperti sulfur itu bertabrakan dengan aroma dari bunga mandragora yang pahit dan memberi kesan mistis.
Kombinasi aromanya terasa panas dan menusuk.
“Aku tahu dan tak mungkin lupa dengan aroma ini. Apa mungkin...” Mulutnya berhenti bergumam, telunjuknya tetap menggosok-gosok dagu saat mencoba memastikan.
“Tuan?” Tora terbang mengepak-ngepak di depan pria yang masih terjaga dalam lamunan.
“Tuan, makananmu sudah siap,” ujar Tora kembali.
Sang empu yang dipanggil pun lantas mengedip-ngedip. “Oh, ah—apa?” Gelagatnya seperti orang yang linglung.
Tora mendarat di atas meja. Sebelah sayapnya menunjuk pada sepotong daging yang sudah dirinya siapkan.
Lalat hijau beterbangan di udara, sebagian hinggap dan mengerumuni daging busuk yang terhidang di atas meja. Banyak belatung menggeliat-geliat, berlomba-lomba keluar dari dalam daging tersebut, bahkan warna daging itu sudah berubah jadi kehitaman.
“Di dapur hanya ada itu saja, Tuan,” ungkap Tora jujur.
Tuan Minos tidak merespon, tangannya langsung terulur ke depan. Menyambar daging tersebut untuk dilahap, membiarkan belatung berpindah pada wajahnya yang hancur dialiri nanah.
Tapi baru satu suapan daging itu masuk ke mulut, perasaan mual mencuat naik dari dalam lambung, secara spontan Tuan Minos pun langsung melempar daging busuk itu secara asal.
Buru-buru tubuhnya beranjak, berlari menuju toilet untuk memuntahkan daging yang belum sempat dikunyah. Rasa geli dari pergerakan belatung yang memenuhi mulutnya, membuat Tuan Minos semakin kelabakan.
“Ada apa, Tuan?” Tora membuntuti Tuannya, merasa bingung karena sebelumnya tak pernah seperti ini.
Tora menyaksikan sendiri Tuan Minos yang muntah berulang kali, tampaknya seluruh isi perutnya itu sudah dikeluarkan semua. Tubuh Tuannya itu pun nampak lemas, sudah kehilangan banyak energi.
Melihat Tuan Minos yang langsung menjatuhkan diri ke lantai, duduk lesu dengan kepala menunduk, Tora pun menghampiri. Bertengger pada bahu pria itu.
Tora bertanya cemas, “Tuan, kau baik-baik saja?”
Tuan Minos mengusap mulutnya yang basah, mual kembali dirasakannya. Sebisa mungkin dirinya menahan untuk tidak muntah lagi.
“Aku tidak bisa memakan makanan seperti itu lagi,” ungkapnya yang membuat Tora langsung mengernyit.
“Kenapa, Tuan? Bukankah—”
“Aku tidak tahu,” serobot Tuan Minos, tudung jubahnya ia lepas dari kepalanya, lalu menggosok-gosok kulit kasar itu seperti orang yang depresi.
“Perutku menolak makanan itu. Aku merasa perlahan jati diriku yang lama mulai kembali. Wujud buruk rupa ini seolah hanya sebatas cangkang saja. Aku tiba-tiba merasa membenci wujud ini, rasanya seperti kembali pada masa lalu, pada awal-awal diriku mulai beradaptasi dengan kutukan ini,” tambah Tuan Minos menjelaskan.
Tora tidak paham dengan situasi yang terjadi. Perubahannya begitu mendadak. Yang terlintas dalam benaknya hanya satu, apa mungkin ini ada hubungannya dengan kejadian semalam?
“Maaf, Tuan. Apa kau melakukan suatu hal dengan Naina sehingga membuatmu seperti ini? Aku menyadari kau sedikit berubah ketika kau keluar dari ruangan,” tanya Tora, nada bicaranya terdengar sungkan.
Mendengar pertanyaan tersebut membuat Tuan Minos mendelik. “Memangnya menurutmu selain dari melakukan hubungan suami istri, kami melakukan apa lagi?”
Tora menyerengeh kikuk, kepalanya ia garuk-garuk menggunakan sebelah sayap. “Aku hanya memastikan, Tuan.”
“Ini tidak ada hubungannya dengan, Naina. Aku merasa justru ini karena bunga mawar biru,” papar Tuan Minos, ekspresinya berubah serius.
“Bunga mawar biru?” Tora jadi semakin bingung. “Apa yang kau khawatirkan, Tuan? Bukankah bunga itu yang membantumu kembali pada wujud aslimu meksipun hanya sementara?”
“Justru karena itu,” timpalnya cepat, merasa kalau dugaannya tak mungkin meleset. “Semakin banyak aku berendam dan kembali pada wujud asli, sedikit demi sedikit jati diriku juga bisa kutemukan kembali.”
“Sederhananya, aku seperti kembali menjadi manusia normal. Tentunya sebagai manusia normal, aku tak mungkin bisa memakan bangkai menjijikkan seperti itu,” tandas Tuan Minos, intonasinya terdengar penuh kebingungan.
Seolah dirinya sedang berada dalam situasi simalakama. Menjadi manusia normal seutuhnya sulit, tapi di sisi lain dirinya mulai merasa menjadi manusia kembali tapi sialnya tetap terjebak dalam wujud mengerikan ini.
Tentu situasi yang kedua lebih sulit dan berat untuk dijalani. Seolah masa-masa terpaksa yang akhirnya menjadi kebiasaan menghilang begitu saja bak diterpa angin.
“Kalau begitu, izinkan aku kembali ke hutan untuk mencari bahan masakan dan menyiapkan makanan untukmu, Tuan.”
Barisan kata itu berbaur ke dalam obrolan secara tiba-tiba. Sosok yang bicara pun sudah menampakkan diri, berdiri di ambang pintu, menjadi sorotan utama dari sepasang mata milik Tuan Minos.
Entah sejak kapan Naina ada di sana untuk menguping pembicaraan. Tapi yang jelas kehadirannya di sini ada hubungannya dengan rencana yang sudah disiapkan.
“Maaf kalau aku lancang, Tuan.” Naina membungkuk sebagai tanda hormat, lalu duduk bersimpuh dihadapan pria itu.
Mata mereka bertembung, Naina tidak lagi mengakhiri kontak mata secara tiba-tiba karena dibalut perasaan kalut. Kali ini dirinya menghadap dengan perasaan berani, melihat ada celah yang bisa dirinya gunakan sebagai kesempatan.
“Anggaplah ini demi kebaikan bersama. Kau butuh makanan enak, aku pun begitu, Tuan. Jadi mulai sekarang biarkan aku kembali ke hutan, aku akan—”
“Tidak!” potong Tuan Minos dengan nada tegas, tatapan matanya berubah menjadi dingin.
“Sebisa mungkin aku tidak akan mengizinkanmu untuk kembali ke sana lagi. Lebih baik aku—”
“Tuan,” panggil Naina. Rasa berani mendorongnya untuk memotong pembicaraan pria pemilik mata nyalang tersebut.
“Jika kau masih meragukanku karena hari itu aku pulang terlambat dan membuatmu khawatir, aku minta maaf, Tuan. Tapi sungguh aku hanya bermain dengan para binatang itu. Aku kesepian karena tak punya teman untuk berbagi cerita—”
“Berbagi cerita?” Sebelah alis Tuan Minos berjengit, tatapannya seperti sedang mengintimidasi.
Kepala Tuan Minos dimiringkan, lantas bertanya, “Apa kau berbagi cerita tentang kehidupanmu di sini pada mereka?”
Naina geleng-geleng kepala. “Tidak, Tuan! Aku hanya bilang kalau aku tinggal di kastil ini dengan pria yang sudah menjadi suamiku,” tepisnya berusaha sebisa mungkin agar kebohongannya tidak terendus.
Tora yang sedari tadi diam dan hanya menyimak obrolan, berpikir untuk ikut berbicara dan menengahi situasi ini sebelum semakin memanas.
“Tuan, sebelumnya aku minta maaf. Tapi kenapa kau tidak mau melihat sisi perhatian dan kepedulian dari Naina?”
“Dia berusaha membantumu dalam kondisi ini, Tuan. Dia secara suka rela mau berpergian ke hutan, mencari bahan masakan yang tentunya tak mudah, setelah itu dia juga yang harus memasak. Jadi—”
“Baiklah. Lakukan semaumu,” balas Tuan Minos yang langsung menyerah dari perdebatan karena tak mau ambil pusing.
“Tapi tetap harus didampingi Tora dan kembalilah sebelum matahari terbenam,” pesannya kemudian sesaat sebelum memutuskan untuk beranjak pergi.
Pria bertubuh jangkung itu berjalan lunglai, punggungnya terlihat semakin menjauh. Terlihat bahwa kondisi Tuan Minos memang tak seperti biasanya, padahal selama menjalani kutukan sekalipun Tuan Minos tak pernah jatuh sakit.
“Yeay, akhirnya kau bisa kembali memasak lagi!Aku tidak sabar ingin memakan masakanmu setelah beberapa hari ini hanya makan bangkai saja,” ujar Tora dengan wajah sumringahnya.
Naina tersenyum, kepalanya mengangguk antusias. “Ini berkatmu juga. Terima kasih, ya. Sore nanti kita bisa pergi bersama.”
Tora mengangguk. “Eum!”
“Hei, Tora! Cepat singkirkan bangkai busuk ini dari atas meja. Jangan biarkan bau busuk memenuhi kastil ini lagi!”
Terdengar seruan Tuan Minos yang menggelegar dari ruang tengah. Tora yang masih bersama Naina, langsung menghela napas panjang.
“Kau dengar itu, Naina. Sekarang dia melimpahkan semua kekacauan itu padaku. Huft! Beruntunglah karena Tuan Minos mulai berbaik hati padamu,” bisik Tora yang mendapat senyuman tipis dari Naina.
“Aku bisa mendengarmu, Tora,” celetuk Tuan Minos dalam jarak yang semakin menjauh, tapi indera pendengarannya sungguh luar biasa ternyata.
“Ba-baik, Tuan! Aku akan segera membereskannya,” balas Tora sambil terbang meninggalkan Naina.
“Apa dirimu juga termasuk, Tuan?” Kemudian Tora mengajukan pertanyaan dengan nada gurauan, dalam hati ia cekikikan, meski sedikit takut akan responnya seperti apa.
“Apa maksudnya itu?” Balasannya terdengar menusuk.
Dengan wajah yang ragu, Tora tetap melanjutkan gurauannya, “Katamu jangan biarkan bau busuk memenuhi kastil ini. Jadi—”
“Kau mau mengusirku dari kastil ini?”
“Ti-tidak, Tuan! Sungguh, aku hanya bercanda.”
Dalam senyap, Naina hanya menyimak obrolan. Tanpa sadar dirinya tersenyum, menyadari tingkah mereka yang lucu. Suara mereka pun perlahan menjauh dan terdengar samar-samar saja.
Berdiri dari posisi duduknya, lantas Naina bergegas menuju kamar. Mencoba tetap fokus pada apa yang sudah dirinya rencanakan. Tinggal tersisa satu langkah lagi, jadi Naina tidak boleh lengah.
Helaian rambut milik Tuan Minos sudah aman berada di dalam tas selempang yang biasa dirinya bawa saat berpergian ke luar kastil. Dan di kesempatan nanti saat sudah berhasil melangkah dari tempat ini, Naina akan mencari celah untuk kabur dan kembali menemui Tetua di portal luar hutan.
Naina bermonolog tanpa suara, “Hanya tinggal beberapa jam lagi...” Pandangannya tertuju pada luar jendela, menanti gradasi senja yang menghiasi langit.
Hanya tinggal beberapa jam lagi Naina bisa keluar dari jeruji penderitaan di sini dan menyambut kehidupan barunya yang sudah lama dinanti.
***