Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak yang Mulai Terkuak
Alia berusaha menjaga napasnya tetap tenang ketika suara langkah kaki itu semakin mendekat. Dia dan Aldo saling menatap dengan cemas. Dalam sekejap, segala kemungkinan buruk melintas di benaknya. Apakah Rio telah mengirim seseorang untuk mengawasi mereka? Atau mungkin ini hanya kebetulan? Namun, instingnya mengatakan bahwa hal ini tidak boleh dianggap enteng.
Aldo bergerak lebih dulu, dengan perlahan ia berdiri dan melangkah mundur, mengamati setiap gerakan yang terdengar. Suasana taman yang biasanya tenang kini berubah menjadi tempat yang mencekam. Pohon-pohon besar di sekitar mereka tampak seperti bayangan raksasa yang menyembunyikan sesuatu, menambah kesan misteri malam itu.
“Lo tetap di sini,” bisik Aldo cepat sebelum ia berjalan pelan ke arah asal suara. Alia hanya bisa mengangguk, menahan rasa cemas yang terus meningkat.
Ketika Aldo mendekati sumber suara, bayangan seseorang muncul dari balik pepohonan. Alia menahan napas, berusaha mengenali siapa sosok itu. Dalam sekejap, sosok tersebut melangkah keluar, menampakkan dirinya.
"Nisa?" Aldo berseru dengan nada tak percaya. Di bawah cahaya lampu taman yang remang, Nisa berdiri dengan wajah tegang.
Alia langsung berdiri dan menghampiri mereka. “Kenapa lo di sini?” tanyanya, nada suaranya masih dipenuhi ketidakpercayaan.
Nisa menghela napas panjang. “Gue tahu lo bakal ketemu Aldo di sini. Gue nggak bisa diam, Alia. Apa yang gue temuin tadi jauh lebih besar daripada yang lo kira. Gue harus kasih tahu langsung.”
Alia menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi sahabatnya itu. Ada ketakutan dan keseriusan yang jelas tergambar di wajah Nisa, sesuatu yang membuat Alia merasakan getaran aneh di dalam dirinya.
“Gue nemuin sesuatu di laptop Rio,” Nisa melanjutkan dengan suara pelan, seolah khawatir ada orang lain yang mendengar. “Gue coba masuk ke dalam jaringan mereka, dan ternyata... mereka udah tahu lo menyelidiki mereka, Alia. Lo dalam bahaya.”
Kata-kata Nisa bagaikan palu yang menghantam keras kepala Alia. Bahaya yang selama ini hanya dia duga ternyata kini menjadi nyata. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia berusaha tetap berdiri tegak. Aldo menatap Nisa dengan serius, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Gue berhasil ngehack email salah satu anak buah Rio,” lanjut Nisa, dengan nada terburu-buru. “Di situ ada pesan yang secara jelas nunjukin bahwa mereka udah aware soal lo, Alia. Bukan cuma itu, tapi mereka juga ngomongin soal ‘rencana’ yang melibatkan lo.”
Alia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Rencana? Maksud lo apa, Nis?”
“Gue nggak tahu detailnya,” Nisa menggeleng, wajahnya penuh kekhawatiran. “Tapi dari percakapan mereka, jelas banget kalau mereka udah curiga sama lo. Mereka tahu lo bukan cuma pacarnya Rio, tapi lo juga nyoba buat ngorek informasi.”
Aldo mengerutkan kening, tampak semakin khawatir. “Kalau mereka udah tahu, itu berarti waktu kita nggak banyak. Kita harus segera bergerak, atau bisa-bisa Alia kena masalah besar.”
Alia menatap keduanya, pikirannya berputar cepat. “Tapi gue nggak bisa berhenti sekarang, Do. Kita udah terlalu jauh, gue nggak bisa mundur. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya Rio rencanakan.”
Aldo menghela napas panjang. “Lo ngerti kan, Al? Kalau lo tetap maju, ini bisa berakhir buruk buat lo. Mereka nggak main-main.”
Namun, Alia tetap teguh. Ketakutan yang dia rasakan hanya membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Jika dia berhenti sekarang, bukan hanya dirinya yang akan terancam, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa Rio terlibat dalam jaringan kriminal ini.
“Kita harus terus jalan,” ujar Alia dengan tegas. “Kalau mereka tahu gue menyelidiki mereka, kita harus lebih cepat dari mereka. Gue nggak bisa cuma diam.”
Aldo menatapnya dengan ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baik, kalau itu keputusan lo. Tapi lo harus janji, kalau situasi makin berbahaya, lo akan keluar dari sini. Gue nggak mau lo terluka, Al.”
Nisa mengangguk setuju. “Bener, Alia. Lo harus hati-hati.”
Beberapa hari berikutnya, Alia terus menyelidiki dengan lebih hati-hati. Dia dan Aldo mencari celah dalam operasi Rio, berusaha menemukan bukti yang lebih jelas tentang keterlibatannya dalam jaringan kriminal tersebut. Nisa membantu dari belakang layar, menyusup ke dalam sistem-sistem yang tidak seharusnya dia masuki. Setiap langkah yang mereka ambil dipenuhi dengan ketegangan, karena mereka tahu bahwa waktu mereka semakin menipis.
Sementara itu, Rio mulai semakin sulit ditemui. Alia hanya mendapatkan pesan singkat darinya, yang semakin menegaskan bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan. Rio selalu mengatakan bahwa dia sibuk, dan setiap kali Alia mencoba mengajaknya bertemu, selalu ada alasan untuk menunda. Ini hanya memperkuat kecurigaan Alia bahwa Rio sedang mempersiapkan sesuatu.
Hingga suatu malam, Alia menerima pesan dari Rio. Pesan yang singkat, namun membuat darahnya berdesir.
“Kita harus ketemu. Ada yang penting gue mau omongin. Besok malam, di tempat biasa.”
Jantung Alia berdebar. Dia tahu, pertemuan ini mungkin akan menentukan segalanya. Rio tampaknya telah siap untuk mengungkapkan sesuatu, dan Alia harus bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Namun, perasaan gelisah terus menghantuinya sepanjang malam. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah Rio akhirnya akan mengakui semuanya? Atau ini adalah jebakan yang selama ini dia hindari?
Ketika akhirnya Alia tertidur, bayangan-bayangan tentang Rio dan jaringan kriminal itu terus menghantui mimpinya.
Keesokan harinya, dengan hati yang berat, Alia berangkat menuju tempat pertemuan mereka. Di sepanjang perjalanan, Aldo dan Nisa terus mengirimkan pesan, memastikan bahwa dia baik-baik saja. Alia berusaha tetap tenang, tapi rasa cemas itu tak pernah benar-benar hilang.
Saat tiba di tempat yang dijanjikan—sebuah gudang tua yang sepi di pinggiran kota—Alia merasakan ada yang aneh. Tempat itu terlalu sepi, bahkan untuk ukuran malam yang sudah larut. Ia berhenti sejenak di pintu masuk, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah masuk.
Di dalam, cahaya lampu remang-remang menyinari ruangan yang kosong. Tidak ada tanda-tanda Rio di sana. Alia berdiri dengan cemas, menunggu sambil mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan.
Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar dari sudut ruangan.
“Lo beneran nekat datang ke sini, Alia.”
Alia terkejut dan langsung menoleh. Dari balik bayangan, sosok tinggi besar melangkah maju. Bukan Rio. Seseorang yang tidak dia kenal, tapi tampak sangat mengancam.
“Siapa lo?” tanya Alia dengan suara gemetar, mundur selangkah.
Pria itu tertawa kecil. “Rio kirim gue buat ngurus lo. Dia nggak bisa datang sendiri, jadi dia minta gue buat nyelesain masalah lo.”
Alia merasa darahnya membeku. Ini jebakan. Dan dia sudah terlanjur masuk ke dalamnya.
Pria itu melangkah semakin dekat, senyum sinis di wajahnya. “Sekarang, lo harus pilih, Alia. Lo mau hidup atau mati?”
Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari luar, berharap menemukan bantuan—tapi siapa yang datang?
Alia menoleh cepat ke arah pintu, harapannya melonjak di tengah rasa takut yang semakin mencekam. Namun, langkah kaki yang mendekat tak memberikan ketenangan, malah membuat dadanya berdebar lebih kencang. Siapa yang datang? Apakah ini pertolongan yang tak diduga, atau justru ancaman lain yang semakin memperburuk situasi?
Pria bertubuh besar di depannya tersenyum miring, melihat kekhawatiran Alia dengan pandangan penuh kemenangan. “Kayaknya teman gue udah datang,” katanya dengan nada tenang tapi mengintimidasi. Langkah-langkah itu semakin mendekat, hingga akhirnya sosok lain muncul dari balik bayangan pintu.
Mata Alia membelalak. Di depan pintu itu, berdiri seseorang yang sama sekali tak dia sangka akan muncul di sini. Sosok yang selama ini justru menjadi orang terdekatnya—Rio.
"Lo..." Alia berusaha berkata, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya, tercekik oleh rasa kecewa dan pengkhianatan yang tak terkatakan.
Rio berdiri diam, wajahnya datar tanpa ekspresi. Tatapannya dingin, seakan dia sudah memutuskan sesuatu yang tak bisa diubah. "Gue bilang kan, kita harus ketemu," ucapnya tanpa rasa bersalah. "Tapi lo nggak pernah benar-benar ngerti apa yang gue rencanakan, Al."
Alia menatapnya dengan campuran rasa sakit dan kebingungan. "Kenapa, Rio? Apa yang sebenarnya lo inginkan?"
Rio melangkah maju, mendekati Alia dengan sikap dingin. "Lo nggak perlu tahu semuanya. Lo cuma perlu tahu satu hal: ini sudah terlalu jauh buat lo mundur sekarang."
Sebelum Alia sempat merespons, pria besar di sampingnya meraih lengan Alia dengan kasar, menariknya mendekat. Di saat yang sama, terdengar bunyi pelan dari luar—bunyi yang mengisyaratkan bahwa lebih banyak bahaya sedang menunggu.
Siapa lagi yang datang?