Bertransmigrasi kedalam tubuh Tuan Muda di dalam novel.
Sebuah Novel Fantasy terbaik yang pernah ada di dalam sejarah.
Namun kasus terbaik disini hanyalah jika menjadi pembaca, akan menjadi sebaliknya jika harus terjebak di dalam novel tersebut.
Ini adalah kisah tentang seseorang yang terjebak di dalam novel terbaik, tetapi terburuk bagi dirinya karena harus terjebak di dalam novel tersebut.
Yang mau liat ilustrasi bisa ke IG : n1.merena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darian Voss Nightshade.
Tidak perlu berjalan terlalu jauh ke dalam hutan yang gelap dan sunyi sebelum aku menangkap bayangan seseorang yang bergerak. Tepat di tengah-tengah area yang dipenuhi batang pohon tumbang, seorang laki-laki sedang menghajar lawannya dengan kejam, tinju-tinjunya mendarat dengan brutal tanpa henti. Empat laki-laki lainnya sudah terkapar di tanah, tak bergerak, tubuh mereka dipenuhi memar dan darah.
“Oh? Apakah mangsa baru sudah datang?” katanya dengan nada gembira, melepas lawannya yang hampir tak sadarkan diri, sebelum mengalihkan perhatian sepenuhnya kepadaku. Senyum gilanya mengembang lebih lebar, hampir tak manusiawi.
Kurasa sekarang aku mengerti mengapa Lirae lebih memilih menghindari orang ini. Gila. Orang ini sepenuhnya gila, tak hanya dari caranya bertarung, tapi juga dari matanya yang tajam dan penuh kegilaan.
"Apakah kau di sini untuk dihajar juga?" Dia melangkah mendekat, langkahnya ringan namun penuh ancaman, matanya menyala dengan semangat yang gila.
"Tidak, aku tidak tertarik menjadi mainanmu." Aku menunjuk ke arah Lirae dengan sedikit senyum sinis. "Wanita ini menginginkan pembuktian dariku, jadi akulah yang akan menghajarmu."
Lirae berdiri tenang di belakang, masih dengan senyum angkuhnya. Matanya mengawasi, tapi dia terlihat menikmati apa yang akan terjadi.
"Darian Voss Nightshade," katanya, memperkenalkan diri dengan nada rendah yang dingin, matanya yang berwarna ungu semakin mencolok di bawah sinar bulan. Rambut hitamnya berkibar ringan seiring angin malam yang menggigit. "Aku tak peduli dengan perjanjian yang kalian buat."
"Aku Ronan," jawabku, singkat dan jelas, tak ingin membuang waktu dengan basa-basi.
"Tentu saja aku tahu." Senyumnya berubah lebih lebar, lebih liar. "Sebagai putra langsung Tuan Besar Damian, kau adalah calon yang paling diunggulkan untuk menjadi pewaris."
"Tapi aku tidak peduli soal itu," lanjut Darian sambil mendekat, langkahnya semakin penuh ancaman. "Yang kuinginkan hanyalah menemukan seorang raja yang ideal."
"Raja ideal seperti apa yang ada dalam pikiranmu?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu. Aku bisa melihat di balik kegilaannya, orang ini bukan sembarang orang.
"Lebih kuat dariku, tentu saja." Dia menjawab dengan nada yang serius, seolah sedang menyatakan kebenaran mutlak. "Itulah moto keluarga Nightshade." Dia melirik ke arah orang-orang yang tergeletak di sekitarnya. "Mereka ini adalah contohnya—orang-orang lemah."
"Dan yang kedua, kecerdasan," lanjutnya, mengangkat dua jari untuk menekankan kata-katanya. Matanya berbinar seolah-olah sedang menjelaskan konsep sederhana.
"Menarik," aku mengangguk, semakin tertarik. "Lalu, kenapa kau tidak membunuh mereka?"
"Tuan Besar tidak memberikan perintah yang jelas, jadi aku tidak merasa perlu membunuh mereka." Darian mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Lagipula, mereka menyerah sebelum terlalu jauh. Itu keputusan paling masuk akal yang bisa kuambil."
Aku menyeringai lebih lebar. Orang ini tidak benar-benar gila, dia hanya berpikir dengan cara yang sangat berbeda—bahkan cerdas, meski dalam kekacauan pikirannya.
"Kalau begitu, aku akan menghajarmu dengan sungguh-sungguh." Tanpa peringatan, aku melesat maju, tinjuku meluncur deras ke arah perutnya.
Darian tidak tertangkap lengah. Dengan kecepatan yang mengejutkan, dia mencabut pisau kecil dari pinggangnya dan mengarahkannya langsung ke pergelangan tanganku. Refleksku cepat—aku segera menarik tangan untuk menghindari luka, lalu melayangkan tendangan. Darian menangkisnya dengan mudah, tangannya kuat seperti baja.
Aku melompat mundur, mengambil jarak untuk menilai situasi. Senyum Darian masih melekat di wajahnya, penuh keyakinan.
"Pisau, ya? Bagaimanapun juga, tak ada aturan yang melarang penggunaan senjata." Aku menatap pisau di tangannya yang masih bersih, dan itu membuatku sadar. Pisau itu tak bernoda. Semua orang yang terkapar di tanah tumbang hanya dengan kekuatan fisiknya saja. Itu artinya Darian benar-benar seorang petarung yang berbahaya.
Aku berbalik ke arah Lirae. "Apakah kau punya pisau?" tanyaku dengan senyum di bibir.
Lirae, tanpa mengatakan sepatah kata pun, mengeluarkan pisau kecil dari balik belahan dadanya. "Ada satu di sini," katanya santai, menyerahkan pisau itu kepadaku. Gerakannya halus, tapi anggun—seperti seseorang yang sepenuhnya mengendalikan keadaan.
Aku menerimanya dengan senyum yang semakin lebar. "Akan sangat sayang jika pisau secantik ini terkena darah," gumamku sambil mengeluarkan bilah dari sarungnya.
Tanpa banyak bicara, aku kembali melesat, kali ini lebih cepat, menikam langsung ke arah leher Darian. Namun Darian sudah siap—dengan gerakan yang hampir sama cepatnya, dia juga mencoba menikam leherku dengan pisau yang dia pegang.
Kami saling menahan, tangan kami yang bebas saling terkunci, pisau kami hanya beberapa inci dari kulit satu sama lain. Detik-detik berlalu dengan lambat saat kami saling tatap, senyum gila dan dingin masih terukir di wajah kami.
Udara di sekitar kami terasa semakin berat, seolah seluruh hutan menahan napas. Aku bisa merasakan kekuatan yang dipancarkan dari Darian, dan dia pasti bisa merasakan hal yang sama dariku.
Ini bukan sekadar adu kekuatan. Ini adalah ujian kecerdasan, ketangkasan, dan kekuatan mental. Pertarungan ini baru saja dimulai, dan aku sangat menantikannya.
the darkest mana
shadow mana
masih ada lagi tapi 2 itu aja cukup