Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Para siswi yang sedang berjalan dari simpang menuju sekolah, mendadak berhenti dan terbengong-ketika motor Halim melewati mereka.
“Astaga! Omaygat! Pak Halim keren bingits!”
“Pak Halim! Bonceng akoh, Pak!”
“Pak Halim! My beibeh!”
“Kayaknya beruntung banget ya cewek yang bisa dibonceng Pak Halim naik motor keren begitu?”
“Pastinya, dong! Yuk, kita berdoa! Semoga suatu hari nanti kita beruntung bisa dibonceng Pak Halim.”
“Amiiin.”
“Tapi gue maunya ‘sih, jangan dibonceng aja.”
“Lah, jadi elu maunya apa, ege?”
“Gue pengen jadi Istrinya aja kalau bisa. Hihi.”
“Uuuuuuhhh..”
........***.......
Halim memarkirkan motornya di parkiran para guru. Dia lantas membuka helm, lalu menyisir rambutnya dengan jari. Setelah merasa rambutnya sudah rapi, Halim baru turun dari motornya.
Baru saja ingin melangkah, tapi langkahnya langsung terhenti-saat para siswi sedang bengong memandanginya dengan jarak beberapa langkah saja.
“Kalian ngapain?”
Mereka nyengir berjamaah karena ketahuan-sedari masuk gerbang sudah membuntuti Halim hingga ke parkiran.
Jujurly. Melihat Halim membuka helm dan menyisir rambutnya dengan jari itu benar-benar sangat berdamage di mata mereka. Omaygat! Adegan itu seakan-akan berbentuk slow motion yang terekam cantik di otak mereka.
“Pak Halim ganteng banget!”
Bla, bla, bla. Ungkapan kekaguman mulai digaungkan lagi oleh para siswi. Hal itu tak berlangsung lama, karena Pak Dika yang sedang piket langsung mengusir mereka untuk pergi dari sana.
“Eh, eh! Masuk sana! Syuh! Syuh! Kalian ini! Gak pernah lihat orang ganteng, ya? Nih! Nih! Bapak lebih ganteng dari Pak Halim. Besok lihatin Bapak aja! Ambil foto sekalian!”
“Ah elah, Pak!”
“Uuhhh.”
Gerombolan siswi itu pergi dari sana dengan bibir mencebik.
Halim geleng-geleng kepala dan beristighfar melihat tingkah mereka.
“Duh, maaf Pak Dika. Saya jadi gak enak.”
Pak Dika nyengir. Dia menelisik penampilan Halim dari atas hingga bawah. Memang tampan, astaga. Dia yang seorang pria saja mengakui ketampanan Halim. Pantas saja para siswi betina tergila-gila sama Halim.
“Biasa aja, Pak. Lain kali, kalau mereka sudah kelewatan begitu, marahin aja.”
Halim tersenyum tipis. “Baik, Pak. Saya kadang sudah masang wajah marah. Tapi mereka malah bilang saya cute. Gak ngerti saya dengan anak sekarang.”
Pak Dika tergelak. “Ya sudah, sabar-sabar menghadapi mereka, Pak Halim. Saya permisi dulu, ya?”
“Ah, Iya, Pak.”
Pak Dika pergi dari sana menuju gerbang. Halim menggaruk kepalanya yang tak gatal. Merasa segan sebenarnya dia. Karena kalau anak-anak itu sudah ‘kumat’ bisa menimbulkan keributan.
Halim menarik nafas lalu menghembusnya perlahan. Dia hendak pergi dari sana, tapi matanya melirik sesuatu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Seketika senyumnya langsung terbit begitu saja.
Medina yang baru saja memarkirkan sepedanya, mengejar Nona yang sudah berjalan duluan. Gadis itu langsung menggamit lengan Nona sambil tertawa.
Pemandangan itu benar-benar manis sekali di mata Halim. Percaya atau tidak, melihat Medina di sekolah-membuat dia bersemangat untuk mengajar satu harian ini.
Medina dan Nona berjalan mendekat pada Halim, karena ‘kan jalan menuju kelas mereka-melewati Halim yang masih setia seperti manekin di sana.
Nona yang melihat Halim seperti itu pada Medina jadi membenarkan praduganya selama ini.
‘Ya ampun gila! Pak Halim gitu banget ngelihatin Medi. Kayaknya gue curiga Pak Halim memang suka sama Medi.’
Karena mau melewati Halim, Medina mengangguk dan tersenyum. Melihat Medina begitu, Nona juga ikut melakukan hal yang sama.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Nona.
Halim hanya mengangguk sekilas. Tapi matanya tetap tertuju pada Medina yang sudah berlalu dari hadapannya.
Setelah sadar, Halim tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Selamat pagi, Pak Halim.”
Halim yang baru saja mau melangkah, mendadak berhenti dan menoleh pada seseorang yang menyapanya. Orang itu langsung memasang senyum ceria bak mentari pagi tanpa embel-embel awan mendung.
Orang yang tak lain adalah Rania itu berjalan mendekat dan mensejajarkan langkahnya dengan langkah Halim.
Halim benar-benar agak merasa risih. Rania ini kelihatan sekali sedang melakukan pendekatan padanya.
“Pagi, Bu,” jawab Halim singkat. Dia agak mempercepat langkah kakinya.
Tapi yang namanya Rania, dia tidak pantang menyerah. Dia menyusul Halim dan berjalan di sampingnya.
Para siswi yang melihat itu, langsung pada bergosip. Tak terkecuali teman-teman Medina. Saat ini mereka sedang berkumpul di joglo dekat dengan lab komputer.
“Eseh. Lihat tuh Pak Halim sama Bu Rania. Cocok bener, dah!”
“Iya! Gue lihat Bu Rania gencar banget deketin Pak Halim.’
“Tapi emang mereka cocok ‘kan, ya?”
Nona mencebikkan bibir mendengar ocehan temannya. “Biasa aja kali. Lagi pula, Bu Rania jatuhnya kayak gatel tahu, gak?” protesnya kesal.
Dia lantas melirik pada Medina yang tahunya sudah memandang ke mana Halim berada.
Nona memegang lengan Medina dan tersenyum. Medina yang tersentak, jadi tersenyum canggung.
“Me, lu baik-baik aja, kan?”
“Eh, memang gue kenapa?”
Nona nyengir kuda. “Hehe. Gapapa.”
Medina menghela nafas. Melihat Rania berjalan berdampingan dengan Halim, membuat hati Medina agak berdenyut nyeri. Nyerinya sedikit saja ya, bukan nyeri banget.
Bukan tidak mungkin, kalau dia tidak punya rasa suka pada seorang Halim yang sudah memesan tempenya sebanyak 5 papan itu.
Lagi pula, siapa yang tidak suka dengan Halim? Guru tampan rupawan, senyumnya sangat menawan, dan membuat hati jadi tertawan. Haduh!
Apalagi ditambah Halim terlihat cute banget saat memanggil dia dengan sebutan ‘Adek’. Padahal bukan dia saja laki-laki satu-satunya yang memanggil dia dengan sebutan itu.
Kakak seniornya juga sering manggil dia ‘Adek’, tapi kenapa rasanya biasa banget. Kenapa tidak terasa feel-nya sama sekali?
Kenapa ketika Halim yang manggil, kenapa terasa seperti ada bunga-bunganya? Apakah ini yang dinamakan CINTA? Apa itu cinta? Kadang Medina tidak mengerti dengan 1 kata yang mengandung beberapa makna itu.
Rasanya, baru kali pertama Medina merasakan apa yang namanya kesemsem sama seorang laki-laki. Tapi sepertinya dia harus sadar diri. Emang dia siapa?
Medina membuang pandangan ke samping. Menahan rasa sesak yang mulai hinggap di dada. ‘Aneh! Apa-apaan pula gue kayak gini? Emang gue siapanya Pak Halim? Gak usah geer deh elu, Me.’
Nona jadi khawatir melihat Medina jadi tampak murung begitu. Lagi-lagi gadis itu menyentuh lengan Medina.
“Me,” panggilnya pelan.
Medina menoleh dan menampilkan senyum yang agak dipaksakan. “Ya? Apa, Na?”
Lagi-lagi Nona kembali nyengir kuda. Membuat Medina jadi ilfeel setengah ampun.
“Na, sekali lagi lu bilang gapapa, gue gaplok kepala lu, ya?”
“Hahaha. Kok tahu gue mau bilang itu, Me?”
Medina mencebikkan bibir dan menoleh ke samping dengan kesal.
“Woi, ayo masuk!”
Ketua kelas menginterupsi untuk masuk ke lab komputer. Hari ini, mereka mulai kembali belajar seperti biasa. Karena pembangunan tambahan kelas sudah selesai 2 hari lalu.
“Ayo masuk, Na. Nanti istirahat, gue boleh cerita kan sama elu?”
Nona yang masih betah duduk, menoleh ke arah sahabatnya yang mulai menghela nafas putus asa itu.
Nona langsung merangkul pundak Medina. “Iya, Medi ku sayang.”
Medina dan Nona berdiri. Sekarang gantian Nona yang menggamit lengan Medina untuk masuk ke dalam lab.
......***......
Di sinilah Halim sekarang. Berdiri dekat aula guru dengan mata berkeliling menatap sekitar. Mana tahu dia akan bertemu Medina sebelum bel masuk.
Halim merasa tidak enak pada Medina. Padahal dia belum tahu Medina tadi melihat dia berjalan dengan Rania atau tidak. Tapi seandainya sudah lihat pun, kenapa dia merasa sudah membuat suatu kesalahan?
‘Ke mana Medina? Kenapa gak kelihatan?’
Halim mengambil hp dari kantung celananya. Dia kemudian langsung menanyakan keberadaan Medina melalui wa.
[Assalamualaikum. Adek di mana? Apa udah masuk kelas?]
Centang 2. Tapi tampaknya Medina sedang tidak online.
Haaaaah. Halim menghela nafas. Aduh! Halim jadi uring-uringan.
Ck! Halim berdecak kesal karena mengingat tingkah Rania seperti tadi. Padahal Halim sudah berjalan agak terburu-buru. Tapi sial sekali, karena Rania senantiasa mengikuti.
Halim takut, kalau Medina lihat, Medina akan berpikir kalau dia sedang dekat dengan Rania. Halim tidak mau itu terjadi.
Karena yang Halim inginkan itu, Medina tahu kalau dia tengah melakukan pendekatan dengan gadis itu.
Berhubung sebentar lagi Halim akan masuk kelas, dia kembali ke ruang guru untuk mengambil tas dan bukunya. Dia berjalan menuju kelas yang akan dia masuki dengan hati tidak menentu.
‘Please, balas, Dek.’
........*****........
Sedih Me di kuret
tp merasa legah Halim dan papa nya bisa berbaikan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan