realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ada yg aneh?
Dalam perjalanan menuju klinik, Aluna kembali terbungkam. Wajahnya menatap ke luar jendela mobil, seolah dunia di luar sana bisa memberi jawaban untuk rasa kosong yang melanda dirinya. Elvanzo, yang duduk di sampingnya, merasa semakin tertekan. Ia tahu, ini bukan soal pekerjaan atau pasien yang harus ditangani di klinik—ini tentang sesuatu yang jauh lebih pribadi dan mendalam.
"Aluna..." Elvanzo memulai kalimatnya dengan hati-hati, "apa yang terjadi? Mengapa kita tiba-tiba seperti ini lagi? Bukankah kemarin... kita hampir melewati semuanya?"
Aluna hanya diam, bibirnya terkatup rapat seolah ingin menjaga dirinya sendiri dari setiap pertanyaan yang mungkin ada. Elvanzo tidak bisa mendesak lebih jauh, namun hatinya terasa tergerogoti oleh rasa ingin tahu yang semakin membuncah. Apa yang terjadi dengan gadis yang selalu tertutup itu? Mengapa ada ketakutan yang terpendam begitu mendalam di balik sikap dinginnya?
Pintu klinik akhirnya terbuka begitu mereka sampai, tetapi rasa hampa antara mereka masih terpelihara dalam hening. Seolah semakin banyak waktu berlalu, semakin sulit untuk menjelaskan jarak yang terbentuk di antara keduanya. Dan di balik kepedulian Elvanzo, Aluna masih merasa tak ingin membuka dirinya terlalu jauh.
...~||~...
Hari itu berlalu dengan kecepatan yang tak biasa. Aluna tampak sibuk dengan pasien-pasien yang datang berkunjung ke klinik. Setiap kali dia berinteraksi, senyum profesional menghiasi wajahnya, tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan kosong dan langkah cepatnya. Kejadian kemarin, dengan Jeksen, masih membekas dalam hatinya, meskipun ia berusaha menekan perasaan itu dengan segala kesibukan yang ada. Aluna berusaha menutupi kekhawatirannya, namun segalanya masih terasa berat.
Elvanzo, yang sejak tadi memperhatikan sikap Aluna, mulai merasakan ada jarak yang tidak wajar. Ia tahu seharusnya Aluna bisa lebih terbuka lagi, seperti sebelum-sebelumnya, tapi sekarang, kehangatan yang sempat mereka bangun rasanya hilang begitu saja. Setiap kali mereka bertatap muka, ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka—lebih besar daripada sebelumnya.
Namun, Elvanzo tak bisa hanya diam begitu saja. Dia tahu Aluna sedang berjuang dengan perasaan yang mungkin sulit untuk diungkapkan. Setelah melayani pasien yang terakhir kali datang, ia memutuskan untuk mendekati Aluna dengan cara yang berbeda, meski ragu.
Dia berdiri di samping meja kerja Aluna, memerhatikan gadis itu yang masih fokus pada berkas-berkasnya. "Aluna," ucapnya dengan nada ringan, mencoba membuka percakapan tanpa menekan. "Tadi, ada pasien yang bawa cerita lucu. Apa kau tertarik mendengarnya? Ini bisa sedikit menghilangkan ketegangan di sini."
Aluna menoleh ke arah Elvanzo sekilas. Tangannya masih sibuk mengolah catatan dan berkas-berkas pasien, tetapi tatapan matanya sedikit lebih lembut. Ada ketegangan, tetapi untuk beberapa detik, suasana menjadi sedikit lebih ringan. "Apa ceritanya?" tanya Aluna dengan nada datar, meskipun suaranya tampak sedikit lebih lembut daripada sebelumnya.
Elvanzo tersenyum, senang karena Aluna memberinya sedikit perhatian. "Nah, ternyata ada pasien yang datang membawa ikan hias dari rumahnya—tapi dia mengeluh ikan itu terlalu banyak makan dan meminta kami untuk memberi 'diet' untuk ikan itu!" Elvanzo tertawa pelan, mencoba membangkitkan atmosfer ceria meski terasa kaku.
Aluna tidak langsung tertawa, tapi setidaknya dia tidak mengabaikan ceritanya. "Itu benar-benar lucu," jawab Aluna sambil mengangguk kecil, bibirnya sedikit terangkat. Tanpa disadari, senyum kecil muncul di wajahnya, meskipun tidak sepenuhnya. Itu adalah senyuman kecil, penuh pengertian, seolah ia mulai sedikit longgar.
Elvanzo melihat perubahan kecil itu dan merasa lega. Ia tahu Aluna masih terjebak dalam pikirannya sendiri, tetapi setidaknya ada sedikit celah di hati gadis itu yang dia bisa rasakan. "Aku tahu hari-hari kita agak kacau belakangan ini," lanjut Elvanzo dengan hati-hati, "tapi aku selalu ada jika kamu butuh seseorang untuk bicara, Aluna. Tidak ada yang perlu dipendam sendiri."
Aluna terdiam, matanya menatap kosong ke meja untuk beberapa detik. Elvanzo bisa merasakan bahwa dia sedang mencari kata-kata untuk menjawab, tetapi hatinya tampak ragu. Dia hanya mengangguk pelan dan melanjutkan pekerjaannya dengan cepat, seolah menghindari percakapan lebih dalam. Namun, untuk sejenak, Elvanzo merasa ada sedikit kemajuan—meski lambat, Aluna mulai sedikit lebih menerima kehadirannya.
Dengan napas yang sedikit lebih tenang, Elvanzo kembali ke meja kerjanya. Meskipun percakapan mereka belum membawa solusi besar, namun itulah yang dibutuhkan—waktu. Mereka masih berada di perjalanan yang sama, dan meskipun jarak di antara mereka terasa ada, Elvanzo merasa bisa sedikit demi sedikit menjebol tembok yang selalu dibangun Aluna di sekeliling dirinya.
Hari itu tidak terlalu berubah, tapi Elvanzo tahu bahwa sedikit perubahan, meskipun sekecil apapun, adalah langkah besar.Yuri yang memperhatikan interaksi antara Aluna dan Elvanzo dari jauh merasa ada sesuatu yang tidak beres. Sejak mereka datang tadi, ia bisa merasakan perubahan pada sikap adiknya. Meskipun Aluna berusaha menyembunyikan perasaannya di balik profesionalisme, Yuri yang mengenalnya dengan baik, tahu bahwa ada yang sedang dipendam.
Ketika jam istirahat tiba, Yuri memutuskan untuk mendekati adiknya. Dia berjalan mendekat ke meja Aluna dengan senyum ramah. "Hei, Aluna. Ada apa? Kamu kelihatan berbeda akhir-akhir ini," tanya Yuri, suara lembut namun penuh perhatian.
Aluna, yang sedang sibuk dengan berkas dan catatan pasien, menatapnya sekilas dan seolah merasa agak terperangkap. Perubahan dalam dirinya yang tidak bisa disembunyikan akhirnya terungkap meski hanya sedikit. Namun, Aluna buru-buru mengalihkan pandangannya ke dokumennya lagi, mencoba untuk tidak melanjutkan percakapan yang bisa membuatnya merasa tidak nyaman. "Tidak apa-apa, kak," jawabnya singkat, "Hanya sedikit lelah dengan semua pekerjaan ini."
Yuri tidak langsung mengalah. Ia tahu adiknya bisa jadi keras kepala jika dipaksa berbicara tentang perasaan, jadi ia mencoba lebih hati-hati. "Aluna, kamu tahu kan, aku selalu ada jika kamu butuh bicara," ucap Yuri dengan lembut, masih dengan nada yang sama penuh perhatian. "Tapi aku mengerti, kamu pasti punya alasan sendiri."
Aluna hanya mengangguk pelan. Terlihat jelas dia tidak ingin melanjutkan topik itu. Wajahnya kembali datar seperti biasa, dan ia mulai menyusun berkas di meja dengan cermat. Meskipun tidak ada kata-kata, Yuri tahu betul adiknya sedang menutup diri, namun dia merasa bahwa meskipun Aluna mencoba menahan diri, di dalam hatinya ada perasaan yang sulit untuk dilepaskan.
"Baiklah," kata Yuri akhirnya, sambil tersenyum bijaksana. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan bersama setelah jam istirahat nanti? Aku dan Elvanzo sudah membuat rencana untuk makan, dan... aku pikir sedikit waktu santai pasti baik untukmu."
Aluna mengangkat wajahnya dan menatap kakaknya. Ada secercah kelembutan dalam pandangannya yang mungkin hanya sekilas tampak, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa Yuri berhasil meraih perhatian gadis itu. "Hm... Kalau begitu, aku akan ikut," jawabnya pelan, mencoba untuk bersikap santai.
Yuri tersenyum lega. Dia tahu betul betapa keras kepala Aluna, jadi mendapatkan respon semacam itu adalah langkah kecil menuju pemulihan bagi adiknya. Dengan nada yang lebih ringan, Yuri berdiri dan berkata, "Kalau begitu, aku akan kabari Elvanzo."
Aluna hanya mengangguk ringan, tanpa banyak berkata-kata, tetapi untuk beberapa detik, dia merasa seolah ada ketenangan yang masuk ke dalam dirinya. Setidaknya ada sedikit hal yang bisa diandalkan dalam kekalutan hatinya.
Yuri kemudian keluar dari ruangannya, mengambil ponselnya, dan mulai mengirim pesan kepada Elvanzo untuk mengabarkan rencana makan siang mereka.
Sementara itu, Aluna kembali ke pekerjaannya dengan wajah datar yang khas, tetapi entah mengapa, jauh di dalam hatinya, ada rasa lega yang perlahan muncul. Mungkin ia memang tidak bisa lari dari semuanya, tapi sekecil apapun momen kebersamaan yang bisa ia dapat, ia tahu itu sangat berarti baginya.