Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Dylan sedang duduk di ruang kerjanya, memandang jendela dengan tatapan kosong, ketika ponselnya berdering. Nama "Ibu" muncul di layar. Ia segera mengangkatnya.
"Halo, Ibu," sapanya, berusaha terdengar ceria meskipun pikirannya masih dipenuhi kegelisahan tentang pertemuannya dengan Rose.
"Dylan, bagaimana kabarmu, Nak?" suara Nyonya Eleanor terdengar lembut di seberang telepon, seperti biasa.
"Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dylan, meskipun ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.
"Kau yakin?" tanya Nyonya Eleanor, suaranya sedikit mengencang, seolah bisa membaca pikiran anaknya. "Ibu merasa ada sesuatu yang mengganggumu. Ini tentang Rose, bukan?"
Dylan terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Ya, Bu. Aku bertemu Rose hari ini. Aku mencoba menjelaskan semuanya padanya—tentang Alia, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi... aku tidak tahu apakah dia bisa memaafkanku."
"Apa yang Rose katakan?" tanya ibunya dengan nada penuh perhatian.
"Dia bilang dia butuh waktu untuk berpikir. Aku mengerti, Bu. Aku tahu aku menyakitinya, dan aku hanya bisa berharap dia mau memberi kesempatan untukku memperbaiki semuanya."
Nyonya Eleanor terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Dylan, Ibu tahu kau selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk semua orang, terutama keluarga kita. Tapi kadang, dalam upaya itu, kau melupakan satu hal penting."
"Apa itu, Bu?" tanya Dylan, penasaran.
"Kebahagiaanmu sendiri," jawab Nyonya Eleanor dengan lembut. "Ibu tahu kau merasa bertanggung jawab atas Alia, dan itu adalah sikap yang mulia. Tapi tanggung jawab itu tidak boleh sampai menghancurkan hubunganmu dengan orang yang kau cintai. Kau harus menemukan keseimbangan, Nak."
Dylan mendengarkan dengan seksama, menyadari kebenaran dalam kata-kata ibunya.
"Rose adalah wanita yang luar biasa," lanjut Nyonya Eleanor. "Dan jika kau benar-benar mencintainya, tunjukkan padanya bahwa kau siap untuk berjuang demi hubungan kalian. Jangan hanya berkata-kata, Dylan. Tindakanmu yang akan menunjukkan bahwa kau tulus."
Dylan mengangguk, meskipun ibunya tidak bisa melihatnya. "Aku mengerti, Bu. Tapi bagaimana jika dia tetap memutuskan untuk pergi?"
Nyonya Eleanor tersenyum kecil, membayangkan wajah anaknya yang penuh kebimbangan. "Jika itu terjadi, maka kau harus menerimanya, Dylan. Cinta sejati tidak memaksa. Tapi sebelum itu, pastikan kau sudah melakukan segalanya untuk membuatnya tahu betapa berharganya dia bagimu."
Kata-kata ibunya menenangkan hati Dylan. Ia merasa mendapatkan arah yang lebih jelas tentang apa yang harus ia lakukan. "Terima kasih, Bu. Saran Ibu selalu membuatku merasa lebih baik."
"Itu tugas Ibu, Nak," jawab Nyonya Eleanor dengan lembut. "Sekarang, pergilah dan lakukan apa yang hatimu anggap benar. Ibu percaya padamu."
***
Setelah menutup telepon dengan Dylan, Nyonya Eleanor termenung sejenak. Ia tidak ingin melihat anaknya terjebak dalam kebimbangan lebih lama. Dylan adalah anak yang bertanggung jawab, tapi ia tahu, jika dibiarkan terus seperti ini, kebahagiaan anaknya bisa menjadi korban.
Setelah berpikir matang, Nyonya Eleanor memutuskan untuk bertindak. Ia mengenal Rose cukup baik, dan baginya, Rose adalah wanita yang pantas untuk Dylan. Tak ingin menunggu lebih lama, ia mengambil ponselnya dan mencari nomor Rose.
Rose sedang duduk di teras rumahnya, menikmati secangkir teh, saat ponselnya berdering. Nama "Ny. Eleanor" muncul di layar, membuatnya terkejut. Ia ragu sejenak, lalu mengangkatnya.
"Halo, Bu Eleanor," sapanya sopan.
"Halo, Rose. Maaf mengganggumu malam-malam begini," suara Nyonya Eleanor terdengar lembut namun tegas. "Ibu ingin bicara denganmu. Bisa kita bertemu?"
Rose terdiam sejenak, mencoba membaca maksud dari permintaan itu. "Tentu, Bu. Di mana kita bisa bertemu?"
"Bagaimana kalau di kafe dekat rumahmu? Ibu bisa ke sana sekarang."
Rose setuju, dan dalam waktu singkat, keduanya bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang. Nyonya Eleanor tampak anggun seperti biasa, dengan senyum lembut yang menenangkan.
"Terima kasih sudah mau bertemu, Rose," ucap Nyonya Eleanor sambil memegang tangan Rose. "Ibu tahu ini pasti terasa mendadak, tapi ada sesuatu yang ingin Ibu sampaikan."
"Tentu, Bu. Saya mendengarkan," jawab Rose, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar.
Nyonya Eleanor menarik napas dalam. "Rose, Ibu tahu Dylan membuat kesalahan. Tapi, dari lubuk hati Ibu yang terdalam, Ibu ingin kau tahu bahwa dia mencintaimu dengan tulus. Dia hanya sering merasa terbebani dengan tanggung jawab yang ia pikul, terutama soal Alia."
Rose menunduk, mengingat betapa sulitnya situasi yang ia hadapi dengan Dylan.
"Ibu ingin menawarkan sesuatu, Rose," lanjut Nyonya Eleanor. "Mulai sekarang, Ibu yang akan mengurus Alia. Kau tidak perlu khawatir. Ibu ingin Dylan fokus pada kebahagiaannya—dan itu termasuk hubungan kalian. Rose, Ibu tahu kau adalah masa depan yang Dylan butuhkan."
Rose terkejut mendengar ucapan itu. "Tapi, Bu... bukankah itu akan menjadi beban untuk Ibu?"
Nyonya Eleanor tersenyum lembut. "Rose, Ibu sudah tua. Ibu tahu bagaimana mengurus Alia, dan Ibu punya waktu. Sementara kalian berdua, kalian masih muda, masih punya banyak mimpi yang harus diwujudkan. Biarkan Ibu yang mengatasi urusan ini."
Rose merasa terharu mendengar kata-kata itu. Ia tahu Nyonya Eleanor tulus, dan itu membuatnya merasa dihargai.
"Bu Eleanor, saya... saya tidak tahu harus berkata apa," ujar Rose dengan suara bergetar. "Tapi saya benar-benar menghargai apa yang Ibu lakukan."
Nyonya Eleanor menggenggam tangan Rose lebih erat. "Ibu hanya ingin yang terbaik untuk Dylan, dan Ibu tahu kau adalah yang terbaik untuknya. Jadi, jika kau masih mencintainya, tolong, beri dia kesempatan."
Air mata menetes di pipi Rose. Ia tahu cinta Dylan untuknya nyata, dan mungkin, ini adalah jalan yang ia butuhkan untuk kembali mempercayainya.
"Saya akan mencoba, Bu," kata Rose akhirnya, dengan suara yang penuh tekad.
Nyonya Eleanor tersenyum lega. "Terima kasih, Rose. Ibu percaya kalian bisa melewati ini bersama. Dan ingat, kau selalu bisa datang pada Ibu jika ada apa-apa."
***
Rose kembali ke kantornya pagi itu dengan langkah berat. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang pada percakapannya dengan Nyonya Eleanor semalam. Sesampainya di ruangannya, ia mendapati asistennya, Jane, sudah menunggunya dengan dokumen-dokumen yang perlu ditinjau.
“Pagi, Mbak Rose,” sapa Jane sambil tersenyum. Namun, ekspresi wajah Rose membuatnya segera sadar ada sesuatu yang tidak beres. “Mbak, kelihatannya nggak seperti biasanya. Ada masalah?”
Rose menghela napas panjang, meletakkan tasnya, lalu duduk. “Iya, Jane. Aku butuh curhat. Pikiranku benar-benar kacau sekarang.”
Jane meletakkan dokumen-dokumennya ke samping dan menatap Rose dengan perhatian. “Tentu, Mbak. Aku siap mendengarkan. Apa yang terjadi?”
Rose menatap Jane, mencoba menahan emosinya. “Ini tentang Dylan. Dia bilang aku prioritasnya, tapi... kenapa aku nggak pernah merasa begitu? Selalu ada Alia. Selalu ada alasan. Aku mencoba mengerti, tapi lama-lama rasanya seperti aku yang tersisih.”
Jane mengernyitkan dahi, bingung. “Tersisih? Maksudnya gimana, Mbak?”
Rose menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap langit-langit. “Setiap kali ada sesuatu yang berkaitan dengan Alia, aku harus mundur. Kalau dia sibuk dengan pekerjaannya, aku menunggu. Kalau ada masalah keluarganya, aku harus paham. Tapi ketika aku butuh dia, aku selalu merasa aku cuma tambahan. Aku nggak tahu berapa lama aku bisa terus begini.”
Jane terdiam sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, “Mbak, kalau aku boleh ngomong, menurutku wajar kalau Mbak merasa begitu. Mbak juga butuh rasa aman dalam hubungan, bukan cuma pengertian terus-menerus dari satu sisi.”
Rose mengangguk pelan. “Aku tahu Dylan orang baik. Dia selalu bilang aku penting buat dia, tapi aku nggak bisa terus-menerus percaya kata-katanya tanpa bukti nyata. Kalau aku nggak bicara, aku takut ini akan terus berlanjut sampai akhirnya aku benar-benar kehilangan dia.”
Jane tersenyum mendukung. “Menurutku, Mbak Rose harus bicara jujur sama Mas Dylan. Sampaikan perasaan Mbak apa adanya. Kalau dia benar-benar memprioritaskan Mbak, dia akan mendengarkan dan mencoba berubah.”
Rose menatap Jane, sedikit ragu. “Aku takut, Jane, Kalau aku jujur, dia mungkin akan berpikir aku egois atau nggak mendukung dia.”
“Kalau Pak Dylan benar-benar mencintai Mbak, dia pasti paham,” kata Jane dengan mantap. “Hubungan itu harus saling mendukung, Mbak, bukan cuma satu pihak yang terus mengalah.”
Rose merenung sejenak, lalu mengangguk dengan tegas. “Kamu benar, Jane. Aku harus bicara dengannya. Kalau dia memang serius dengan hubungan ini, dia harus tahu apa yang aku rasakan.”
Jane tersenyum lega. “Aku yakin semuanya akan baik-baik saja, Mbak. Kadang, komunikasi yang jujur adalah kunci untuk menyelesaikan masalah.”
Rose merasa sedikit lebih tenang. Meski masih ada keraguan, ia tahu ini saatnya mengambil langkah tegas demi kebaikan hubungan mereka. Ia tak ingin terus terjebak dalam perasaan tersisih, apalagi jika itu berarti kehilangan dirinya sendiri dalam prosesnya.