My Murid My Jodoh
Halim segera turun dari motornya untuk berteduh di halte kosong, ketika hujan deras tiba-tiba mengguyur permukaan bumi. Dia baru saja pulang dari sekolah tempat dia mengajar.
Halim merupakan seorang guru PNS berumur 28 tahun yang baru saja pindah tugas. Sekitar 3 bulan sudah dia mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan di kota tempat dia tinggal. Sebelumnya, dia ditempatkan di daerah agak terpencil di luar pulau.
Halim merupakan anak sulung dari seorang pengusaha terkenal. Tapi dia lebih memilih mengabdikan dirinya pada negara untuk mencerdaskan anak bangsa, dari pada meneruskan perusahaan orang tuanya.
Lagi pula, dari awal Halim memang sengaja mengambil kuliah jurusan pendidikan dari pada bisnis. Dan sekarang, dia sedang kuliah lagi untuk mengambil magisternya.
Halim melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 18:00. Pria itu lalu berdecak.
“Sudah sore. Sebentar lagi masuk waktu magrib. Tapi hujan makin deras saja sepertinya.”
Halim mendongak menatap langit yang sudah semakin gelap, seiring matahari yang juga akan terbenam.
Dikarenakan sedang ada pembangunan tambahan kelas, maka waktu pembelajaran pun dibagi menjadi 2 waktu. Pagi dan sore.
Karena Halim guru matematika, jadinya dia masuk untuk pagi dan sore. Cuma satu hari dia akan off dari tugas mengajarnya.
Halim segera tersentak dari lamunannya menatap langit, saat mendengar ada suara sepeda yang mendekat ke halte itu.
Ada seorang gadis memakai baju seragam sekolah, sedang menutupi keranjang yang ada di jok belakang sepedanya dengan plastik besar.
Ketika rasanya sudah pas menutup semua jualannya, gadis itu langsung berlari untuk berteduh.
Karena ada orang lain selain gadis itu, gadis itu menunduk dan tersenyum sekilas pada Halim dan langsung mengambil tempat berdiri agak jauh.
Halim hanya menganggukkan kepalanya sekilas. Tapi entah kenapa, matanya malah tertarik memperhatikan sepeda gadis itu.
‘Apakah itu jualannya?’
Dan sekarang, matanya malah melirik gadis yang sedang memasangkan mantel pada tas sekolahnya.
Setelah selesai, gadis itu lantas memakai kembali tas ranselnya.
Halim agak terkejut dan tak berkedip saat gadis itu tak sengaja menatapnya juga. Lagi-lagi gadis itu tersenyum singkat dan langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Sedang Halim tak selesai-selesai dengan yang dilakukannya. Satu kata yang dapat Halim simpulkan di dalam hatinya mengenai gadis itu, yaitu cantik dan manis.
‘Astaghfirullah! Apa yang lagi aku pikirkan?’
Halim tersenyum tipis. Baru kali ini semenjak patah hati, matanya mulai melirik seorang gadis lagi. Dilihat dari cara dia memakai seragam sekolahnya yang rapi, dan jilbab yang terjulur menutupi dada.
Ada rasa kagum yang dengan tanpa ijin menyentil hati Halim. Padahal, bukan hanya gadis di sebelahnya ini saja yang memakai jilbab seperti itu di sekolah.
Hujan akhirnya berhenti. Gadis itu langsung beranjak dari halte untuk menghampiri sepedanya. Dengan segera mengambil plastik yang menutupi keranjang berisi jualannya, lalu mengibaskannya sebelum melipat plastik itu.
Mata Halim tak bergerak mengamati setiap gerakan yang dilakukan gadis itu. Entah kenapa, kok dia malah tertarik, ya?
Halim tak sengaja melihat lambang sekolah yang ada di lengan baju sebelah kiri gadis itu.
Halim mengernyit. ‘Bukannya itu lambang SMK tempat aku mengajar? Berarti dia sekolah di sana, ya? Tapi kenapa aku tidak pernah melihat dia?’
Sebelum gadis itu mengayuh sepedanya, gadis itu kembali mengangguk dan tersenyum pada Halim.
Halim yang lagi-lagi salah tingkah karena ketahuan memandangi gadis itu pun, segera mengangguk dan tersenyum tipis.
Halim memang begitu orangnya, bicara seadanya dan tersenyum seperlunya. Bahkan dengan orang yang dia kenal. Apalagi dengan gadis yang sama sekali tak dia kenal barusan. Dia pun merasa aneh kenapa membalas senyum gadis itu.
Sampai-sampai matanya ikut memandangi sepeda yang sudah hampir hilang dari pandangan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar..
Halim tersentak ketika mendengar adzan Maghrib berkumandang.
“Astaghfirullah!”
Dia terburu-buru menaiki motor CBR berwarna hitam kesayangannya untuk pulang.
Sesampainya di rumah yang cukup luas untuk seseorang yang tinggal sendirian, Halim segera mandi dan menunaikan sholat Maghrib.
Setelah selesai, dia lalu memanaskan sayur yang dia masak tadi pagi untuk makan malamnya.
Halim terbiasa masak makanan untuk dirinya sendiri. Kalau ada jadwal kuliah, baru dia akan makan di luar.
Sambil mengunyah makanan, Halim sempatkan mempelajari materi yang akan dia ajarkan besok kepada murid-muridnya.
Tapi pikirannya kali ini menerawang pada gadis tadi.
“Hem, siapa dia, ya? Apa memang dia murid di SMK Merah Putih? Tapi kenapa aku gak pernah melihatnya? Ah, atau bukan aku kali guru matematika yang masuk ke kelasnya. Hemm. Haha, kenapa aku jadi penasaran? Lagi pula, aku gak tahu siapa namanya. Karena simbol namanya tertutup oleh jilbabnya.”
Halim jadi senyum-senyum sendiri. “Baru kali ini, aku lihat ada anak sekolah yang cantik seperti dia.”
Tanpa sadar dia sudah mengucapkan kata seperti itu.
Tak lama, adzan isya mulai terdengar. Halim mempercepat makannya dan segera menunaikan sholat isya.
Kali ini, untuk berdzikir pun rasanya Halim susah untuk fokus. Karena terbayang-bayang wajah gadis tadi.
“Haaaaah, apa-apaan ini?”
.............*****............
“Bu, besok Medi tidak jualan dulu, boleh?”
Wanita yang dipanggil Ibu pun menoleh. “Kenapa, Me? Kamu mau ke tempat PKL lagi, ya? Apa belum selesai?”
PKL (Praktek kerja lapangan) yang biasa diadakan untuk murid SMK sesuai dengan jurusannya.
Anisa Medina, gadis cantik itu mendekati sang Ibu.
“Tadi kan Medi sudah dari sana sambil jualan, Bu? Ibu lupa, ya? Belum selesai ‘sih, Bu. 2 hari lagi insya Allah selesai. Tapi besok, Medi mau ke sekolah, ngasih laporan PKL sama Pak Bambang, guru pembimbing.”
“Tapi, kamu pakai baju apa? Baju kamu tadi 'kan basah kena hujan? Lagi pula ada-ada saja PKL kok pakai baju sekolah? Seharusnya ‘kan pakai baju praktek?” omel Bu Widya.
Medina hanya terkekeh mendengar omelan Ibunya.
“Besok pakai baju biasa juga tidak masalah, Bu. Yang penting pakai baju,” celetuk Medina.
Bu Widya malah ngakak mendengar celetukan anak semata wayangnya. Tangannya dengan sigap dan cekatan memasukkan keledai yang sudah diberi ragi ke dalam plastik.
Tadi Medina membawa jualannya berupa nasi lemak dan gorengan ke tempat dia PKL. Di samping Bu Widya membuat dan menjual tempe ke kedai-kedai.
Hanya dengan berjualan seperti itu, Bu Widya membesarkan dan menyekolahkan Medina setelah kepergian sang Suami.
Bu Widya bersyukur Medina mau membantunya. Putrinya itu bahkan tidak malu menjual makanan pada orang-orang.
Lagi pula, apa yang membuat malu, coba? Kita kan tidak minta-minta. Gitu kira-kira ucapan Medina yang sangat menyentuh hatinya.
“Ya sudah. Sekarang Medi sholat dulu, baru tidur, ya?”
Medina mengangguk lalu pergi ke kamar mandi dan mengambil wudhu.
Setelah selesai sholat, Medina mengirim pesan WhatsApp pada Nona-temannya untuk bertemu besok.
Tapi tiba-tiba entah kenapa Medina teringat dengan pria asing di halte tadi.
Medina jadi terkekeh. “Abang itu ngelihatin aku kok begitu banget tadi, ya? Mana salah tingkah lagi! Macam gak pernah lihat wanita aja? Hahaha. Astaga. Untung aja hujan cepat berhenti, kalau gak seram juga. Haaah, ada-ada saja.”
..........****.........
“Haaaatchiim!!”
Halim yang tengah tertidur pun tiba-tiba terbangun karena bersin. Dia tidak tahu kalau gadis yang membuat hatinya penasaran, sedang membicarakannya.
............*****...........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
fajar Rokman.
mampir thor..menarik ceritanya
2024-12-03
0
karyaku
hi kk mendadak menjadi istri ustadz jangan lupa mampir y kk
2024-10-25
0
Sarah Yuniani
keren
2024-10-04
1