NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti
Popularitas:598
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

calon ketos dan waketos

Happy reading guys :)

•••

“Ren, kamu gak balik ke kelas?” tanya Fajar, melihat Renata yang masih sibuk mengetikkan sesuatu di dalam layar laptop.

Renata menghentikan ketikannya, menoleh, menunjukkan senyuman manis ke arah Fajar. “Nanti dulu, Jar. Aku masih harus mindahin beberapa dokumen ke dalam laptop.”

Fajar menutup buku komik yang sedang dirinya baca, bergeser mendekati Renata, dan melihat isi di dalam laptop milik gadis itu.

“Yang mana, yang belum kamu pindahin? Sini, aku bantu.” Fajar mengambil beberapa map dokumen yang masih tertutup di atas meja, lalu membukanya satu per satu.

Renata menggelengkan kepala, mengambil beberapa map dokumen yang sedang Fajar pegang. “Nggak usah, Jar. Kamu ke kelas aja duluan. Aku udah minta tolong sama Angelina, sekalian ada sesuatu yang mau aku bahas sama dia.”

“Yakin, gak mau aku bantuin?” Fajar menatap lekat kedua mata Renata.

Renata mengangguk mantap. “Iya, yakin. Udah, sana, kamu balik ke kelas.”

Fajar mengusap lembut puncak kepala Renata, mengambil buku komik miliknya, bangun dari tempat duduk, lalu berjalan meninggalkan ruangan OSIS. Ia membuka pintu ruangan, sedikit terkejut saat mendapati Angelina tiba-tiba berada di hadapannya.

“Mau ketemu sama Renata?” tanya Fajar, melihat wajah Angelina yang juga ikut terkejut.

Angelina mengangguk, menormalkan kembali raut wajahnya. “Iya, Kak. Kak Renata-nya ada di dalam, kan?”

“Iya. Dia ada di dalam. Sana masuk, lu udah dia tungguin.” Fajar berjalan menuju kelas, meninggalkan Angelina yang masih terus melihat ke arahnya.

“Baru tau gue, kalo kak Fajar suka baca komik,” gumam Angelina, melihat buku komik yang sedang Fajar bawa, lalu masuk ke dalam ruangan OSIS untuk bertemu dengan Renata.

Angelina berjalan mendekati meja bendahara, melihat Renata yang sedang mengacak-acak rambut seraya membaca beberapa dokumen di tangannya. “Kak, lagi sibuk?”

Renata mengangkat kepala, menaruh beberapa dokumen di atas meja, tersenyum simpul ke arah Angelina. “Dikit. Sini, duduk.”

Angelina mengangguk, berjalan menuju kursi milik Fajar, lalu mendudukkan tubuhnya. “Mau gue bantuin, Kak?”

Renata menggeleng, menutup beberapa map dokumen yang sedang terbuka. “Gak usah, Nge. Ini udah mau selesai, kok.”

“Lu yakin, Kak?” tanya Angelina, seraya melihat beberapa tabel kosong yang belum terisi di dalam laptop milik Renata, “Itu, masih banyak, loh, kerjaan lu.”

“Yakin, Ngel. Udah, gak papa. Nanti malam juga pasti udah kelar,” jawab Renata, mematikan laptop dan menutupnya, “Oh, iya. Soal sesuatu yang mau gue omongin ke lu ….”

Angelina menatap lekat wajah Renata. “Iya, Kak. Lu mau ngomong apa?”

Renata menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, membalas tatapan lekat Angelina. “Lu tau, kan, kalo jabatan OSIS gue, Fajar, sama yang lainnya sebentar lagi bakal selesai?”

Angelina hanya mengangguk sebagai jawaban, masih sangatlah bingung dengan arah pembicaraan yang dibawa oleh Renata.

Renata mengambil pulpen dari atas meja, mengalihkan pandangan ke arah jendela ruangan yang menampilkan pemandangan lapangan basket outdoor sekolah. “Ngel, gue boleh minta tolong gak sama lu?”

“Lu mau minta tolong apa, Kak?” tanya Angelina, ikut melihat ke arah lapangan basket.

“Gini, Ngel. Gue, Fajar, sama semua pengurus OSIS angkatan gue, beberapa hari ini udah berunding, buat jadiin lu sama Vanessa bakal calon ketua dan wakil ketua OSIS yang baru.” Renata kembali menatap wajah Angelina. “Lu mau, kan, Ngel?”

Angelina mengerutkan kening, lalu menunjuk dirinya sendiri. “Gue sama Vanessa? Lu yakin, Kak? Bukannya masih banyak kandidat lain yang lebih pantes?”

Renata memegang bahu Angelina. “Gue yakin banget, Ngel. Bahkan bukan cuma gue, Fajar juga yakin banget sama lu. Lu mau, ya, please.”

“Gue belum bisa ngasih jawaban sekarang, kak. Jujur, gue belum siap dan gak pernah kepikiran kalo bakal jadi calon ketua dan wakil ketua OSIS. Tolong kasih gue waktu buat mikir, gue juga perlu ngobrolin ini ke Vanessa, gue takut, Vanessa juga gak akan nerima, karena dia baru beberapa bulan masuk ke sekolah ini,” jelas Angelina, bersandar pada sandaran kursi, memijat pelan dahi kanannya yang terasa sedikit pusing, “Kalo gue boleh tau, Kak. Kenapa lu sama semua angkatan lu, dukung gue sama Vanessa buat maju?”

Renata bangun dari tempat duduk, membawa beberapa map dokumen yang telah selesai dirinya salin, lalu berjalan menuju sebuah rak yang berada di samping jendela.

“Sebenernya alasannya simpel, tapi punya efek besar buat kemajuan sekolah ini,” jawab Renata, menaruh beberapa map dokumen yang dirinya bawa di rak.

Angelina semakin mengerutkan kening. “Jadi, apa alasannya, Kak?”

“Karena lu sama Vanessa siswi paling populer di sekolah ini. Semua siswa-siswi yang ada di sini suka, kagum, segan, hormat, dan nyaman sama kalian berdua.” Renata berbalik badan, kembali berjalan mendekati Angelina, memegang kedua bahu gadis itu. “Gue sama anak-anak yakin, dengan semua itu, lu sama Vanessa bisa bikin sekolah ini jadi lebih baik, karena semua siswa-siswi dari setiap angkatan bakal nyaman setiap mengeluarkan dan menyarankan pendapat mereka ke kalian berdua.”

Mendengar penjelasan dari Renata, membuat Angelina melebarkan mata dengan mulut yang sedikit terbuka. Ia bingung, lantaran Renata terlalu melebih-lebihkan tentang kepopulerannya.

“Angel, lu mau, ya, please,” pinta Renata, raut wajahnya berubah menjadi memelas.

Angelina memegang tangan kanan Renata yang masih berada di bahunya. “Maaf, Kak. Gue belum bisa jawab, gue harus mikir dan ngobrolin ini sama Vanessa dulu. Gak papa, kan?”

Renata mengangguk paham, menjauhkan kedua tangannya dari bahu Angelina, kemudian kembali duduk di kursi miliknya. “Iya, gak papa, Ngel. Gue juga paham, tapi gue minta banget, tolong lu usahain buat nerima. Oh, iya, kalo lu bingung gimana ngomongnya ke Vanessa, gue bisa bantu lu buat ngomong ke dia.”

“Iya, Kak. Makasih.” Angelina menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. “Ada lagi, Kak, yang mau diomongin?”

Renata menggelengkan kepala, menyusun beberapa map dokumen yang masih berada di atas meja miliknya. “Udah gak ada, Ngel. Gue cuma mau ngomongin itu aja sama lu. Eh, tapi, gue boleh minta tolong satu hal lagi gak?”

Angelina melipat kedua tangan di dada, menoleh ke arah Renata yang masih sibuk menyusun map dokumen. “Mau minta tolong apa lagi, Kak?”

“Itu, Ngel, lu … bisa gak bantuin gue biar bisa temenan sama Vanessa?”

“Itu doang?” Angelina menegakkan badan, meluruskan kedua kakinya di bawah meja.

Renata hanya mengangguk sebagai jawaban, menaruh beberapa map dokumen yang telah dirinya susun di atas laptop.

“Gampang itu, mah, Kak. Lu mau kapan gue bantu? Sekarang aja gimana?” Angelina bangun dari tempat duduk, kedua matanya tiba-tiba kembali menjadi segar, senyuman manis mulai hadir menghiasi wajahnya.

Renata sontak menganga, melihat perubahan raut wajah Angelina yang sangat begitu cepat. “Ngel, ini beneran lu, kan?”

Angelina mengangguk dengan sangat semangat, menggenggam lengan Renata, dan menarik-nariknya pelan. “Iya, ini gue, kok. Ayo, kalo mau gue kenalin ke Vanessa, mumpung kelas gue lagi ada jam kosong.”

“Gak sekarang juga, Ngel. Kelas lu emang kosong, tapi kelas gue gak,” ujar Renata, tersenyum simpul.

Mendengar itu, membuat raut wajah Angelina sontak berubah menjadi lesu dengan bibir yang dirinya majukan. “Yah, gue kira mau sekarang.”

Renata bangun dari tempat duduk, mencubit pelan hidung, dan kedua pipi Angelina. “Gak usah lesu gitu mukanya, besok, deh, kenalin gue ke Vanessa, sekalian ngomongin soal yang tadi.”

Raut wajah Angelina perlahan-lahan mulai kembali menjadi bersemangat. “Bener, ya, Kak? Vanessa pasti seneng banget kalo dapat temen baru. Apalagi temennya secantik dan seceria Kakak.”

“Bisa aja lu. Padahal, lu sama Vanessa lebih cantik dari pada gue.” Renata kembali mencubit pelan hidung dan kedua pipi Angelina.

Angelina sontak tertawa kecil saat mendengar perkataan Renata. Ia berpamitan kepada gadis itu, lalu berjalan meninggalkan ruangan OSIS untuk kembali ke taman belakang sekolah.

Suara dering handphone berbunyi, membuat Renata yang masih melihat punggung Angelina sontak mengambilnya dari dalam saku baju. Ia membuka benda pipih itu, membaca sebuah pesan yang baru saja dikirimkan kepadanya.

Renata tersenyum bahagia seraya membalas pesan itu, kembali menaruh handphone ke dalam saku baju, mengambil laptop dan beberapa map dokumen, lalu berjalan pergi meninggalkan ruangan OSIS.

•••

Warna langit telah berubah menjadi hitam, bulan dan ribuan bintang perlahan-lahan mulai datang untuk memberikan sinarnya kepada dunia.

Di dalam dapur sebuah rumah bernuansa tradisional, kini terlihat Nadine sedang duduk di kursi meja makan, menopangkan dagu, melihat sang mama yang sedang menyiapkan hidangan makan malam.

Nadine mengembuskan napas beberapa kali, seraya mengusap-usap perut. “Mama, masih lama, ya, matangnya?”

“Sebentar lagi, Adek. Oh, iya, kamu naik ke atas, gih, panggilin ayah sama kakak buat makan malam,” jawab dan perintah mama Nadine, mengecilkan api pada kompor, lalu menoleh ke arah sang anak bungsu, dan tersenyum.

“Siap, Ma,” kata Nadine lemas, bangun dari tempat duduk, berjalan meninggalkan dapur, menuju lantai dua tempat kamar sang kakak dan kedua orang tuanya berada.

Sepanjang perjalanan, Nadine terus-terusan mengusap perutnya yang sedari tadi telah berbunyi. “Sabar, ya, sebentar lagi kita makan.”

Nadine mengembuskan napas panjang, melihat banyaknya anak tangga untuk sampai ke lantai dua. Ia kembali mengusap perut, perlahan-lahan mulai menaiki satu per satu anak tangga.

“Akhirnya, sampai juga di lantai dua,” gumam Nadine, kembali berjalan, mengetuk pintu kamar saat dirinya telah berada di depan ruangan pribadi milik sang kakak, “Kakak, ayo, turun, makan malamnya udah siap.”

“Duluan aja, Dek! Gue belum laper!” teriak seorang gadis dari dalam kamar.

Nadine bersandar pada pintu kamar. “Lu serius belum laper? Nanti mama marah, loh, kalo lu gak ikut makan malam.”

“Iya, gue serius. Udah, sana, mending lu ajak ayah.”

Nadine kembali mengembuskan napas panjang, menegakkan badan, dan berjalan menuju kamar kedua orang tuanya. Namun, baru dua langkah Nadine berjalan, ia menghentikan langkah kaki, kala sang kakak memanggil namanya.

“Dek, sebelum lu pergi, ada sesuatu yang mau gue kasih tau ke lu.”

“Apa?” tanya Nadine, mengerutkan kening, penasaran dengan sesuatu yang akan sang kakak katakan.

“Gue nyaranin ke anak-anak angkatan gue buat ngerekomendasiin Angelina sama Vanessa sebagai calon ketua dan wakil ketua OSIS yang baru,” jelas gadis itu.

“Hah! Kenapa?! Kenapa lu malah ngerekomendasiin Angel sama Vanessa, Kak?! Bukannya lu dukung gue buat maju gantiin kak Fajar?! Kenapa, Kak?!” Nadine mengepalkan kedua tangan, menatap tajam pintu kamar milik sang kakak.

“Gue emang dukung lu, tapi gue punya rencana lain, dan lu gak bisa ganggu gugat rencana baru gue ini.”

Nadine memukul pintu kamar sang kakak dengan cukup keras. “Kak Re—”

“Gak usah mukul-mukul pintu kamar gue, mending lu cepet ajak ayah buat makan malam. Gue lagi sibuk.”

Nadine menjauhkan kedua tangan dari pintu kamar sang kakak. Ia semakin mengeratkan kepalannya, rasanya ingin sekali memukul, dan mengacak-acak rambut milik sang kakak karena telah memotong perkataannya.

To be continued :)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!