“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
“Ya, Abang?” Amala mendongak dan langsung bertemu tatap dengan manik berbingkai bulu mata lentik.
“Ada bawa plastik tidak?” tanya Agam, badannya sedikit membungkuk. Jarak mereka hanya terbentang dua langkah kaki orang dewasa.
Secepat mungkin Amala membuka tas pinggangnya yang tadi diletakkan bersama sepatu, mengambil kresek berwarna hitam. Tanpa disuruh, ia membuka plastik itu yang langsung menampung ikan berukuran tiga hari.
Amala menahan napas, entah mengapa dia menjadi tak percaya diri. Saat ini aroma tubuhnya pasti masam lantaran bau getah bercampur keringat, walaupun sudah menggunakan deodorant, tetap saja masih tercium bau sedikit kecut.
Dhien dan Zikri sedikit menjauh dari dua sejoli itu, mereka sengaja memberikan privasi.
Agam bukannya tak menyadari kegugupan Amala, dia sengaja berpura-pura tidak melihat tangan Amala yang gemetaran.
‘Sebelumnya aku terlalu hati-hati dalam mendekati mu Nur. Namun, sudah saatnya diri ini maju secara terang-terangan. Supaya kau peka, kalau ada seseorang yang sudah 10 tahun memendam rasa cinta kepadamu,’ batin Agam.
Agam sudah memutuskan untuk mengambil jalan lebih berani, tak lagi hanya memantau dari kejauhan. Ibarat kata, dia akan membabat semua rintangan yang menghalangi jalannya menuju sang idaman hati. Namun, tetap menjaga kehormatan serta martabat Nur Amala.
‘Kenapa menuang ikan saja lama sekali, apa bang Agam tak melihat tanganku tremor gini?’ gerutu Amala dalam hati. Wajahnya sudah panas dingin, ia tidak berani mendongak dan berakhir melotot menatap ikan yang masuk kantong kresek.
‘Alhamdulillah selesai juga,’ sambung kata hati Amala. Segera dia mengikat ujung plastik.
“Dhien, Nur … segeralah pulang! Sebentar lagi para pekerja hendak memanen buah semangka,” ucap Agam.
Dhien dan Amala langsung mengangguk dan bersiap. Paham betul kalau bang Agam ingin menjaga kehormatan serta nama baik mereka. Di desa ini interaksi antara lawan jenis yang bukan pasangan halalnya sangat terbatas. Kalau ketahuan berbuat mesum pasti akan mendapatkan sanksi adat setempat.
“Nur …?”
“Ya, Abang?” sahut Amala dengan nada lembut, yang berhasil membuat hati Agam berdesir hebat. Sedangkan Dhien dan Zikri senyum-senyum tak jelas.
“Tolong ikan sepat nya di goreng kering lalu masak sambal ya, … nanti mampir lah ke rumah Wahyuni! Ambil daun pucuk ubi yang baru tadi pagi di petik,” Agam berkata, tetapi matanya tak menatap Amala.
“Baik, Bang. Nanti sore saya antar masakannya,” balas Amala.
“Besok pun tak mengapa, kau pasti lelah.”
Amala mengangguk patuh. Kemudian dia berjalan bersamanya Dhien menaiki bukit yang ditanami semangka dan mentimun.
“Dek! Petik saja buah semangka yang kau inginkan. Daripada nanti anak kita ileran!” Teriakan Zikri dibalas lemparan oleh Dhien.
“Aduh … kejamnya dikau calon permaisuri ku.” Zikri mengelus kepalanya yang kena timpuk gumpalan tanah.
“Rasain! Punya mulut itu jangan asal cakap!” dengus Dhien.
“Berhenti dulu, Mala! Capek,” keluh Dhien, napasnya memburu. Mereka duduk dibawah pohon buah kuini.
“Amala, menurutmu Bang Agam bagaimana?”
Alama menatap intens wajah Dhien, “Bagaimana apanya?”
“Ya rupanya, sifatnya, intinya menurut penilaianmu bang Agam itu laki-laki seperti apa?”
Amala mengedikkan kedua bahunya. “Ya sama seperti orang pada umumnya.”
“Ya Allah, maksudku itu penilaian mu secara pribadi!” geram Dhien terlihat kesal.
Amala memicingkan matanya, dia menatap serius manik Dhien, bibirnya menyunggingkan senyum menggoda. “Kau suka ya dengan Bang Agam?”
Plak.
“Sakit, Dhien!” Amala mengusap pundaknya yang dipukul cukup keras.
“Makanya jangan asal bicara. Mana mungkin aku berani memiliki perasaan lebih ke dia. Bang Agam itu bisa dikatakan mendekati sempurna, bila dibandingkan denganku ya bagaikan langit dan bumi. Lagipula aku memang tidak menyukainya secara pribadi,” sungut Dhien.
“Nah, pertanyaan mu sudah kau jawab sendiri. Kau yang tamatan SMP saja merasa sangat tidak setara dengannya, lalu apa kabar diriku ini? Sudahlah jangan bermimpi terlalu tinggi, hiduplah realistis sesuai kasta kita. Agar jatuhnya tidak seperti pungguk yang merindukan bulan,” ujar Amala.
‘Andai kau tahu Mala, dia sangat mencintaimu. Sayang saja aku sudah berjanji tidak boleh membocorkan rahasia ini.'
Dhien sudah lama tahu tentang perasaan bang Agam. Dia tidak sengaja mendengar perdebatan antara Wahyuni dan abangnya yang membahas soal Amala.
“Ayo kita turun!” ajak Dhien, dia sudah bersiap-siap mau meluncur menggunakan pelepah kelapa.
“Jangan bercanda, Dhien. Bawaan kita banyak, belum lagi semangka ini. Turun biasa saja,” tolak Amala.
“Ayolah, anggap saja kita bernostalgia. Pas sekali tanahnya sudah bersih dari tanaman. Dulu tempat ini jadi arena bermain kita bersama Wahyuni dan Meutia. Gelindingkan saja semangka nya!” Dhien tetep kekeuh.
“Nggak mau. Akh … Dhien!”
Dhien begitu licik, dia mendorong sekuatnya tubuh Amala yang duduk di pelepah, berakhir gadis itu terjun bebas, baru setelahnya dirinya menyusul. Plastik ikan ada di antara pahanya, buah semangka pun sudah meluncur.
“Hahaha … Tunggu, Mala!”
Di sisi lain bukit, sudut bibir Agam menyunggingkan senyum hangat. Tak perlu melihat dia sudah tahu apa yang dilakukan kedua sahabat adiknya. Pasti menaiki pelepah milik anak-anak desa yang setiap sore hari bermain di area ini.
.
.
“Nirma! Nirma! Buka pintunya! Jangan pura-pura tuli kau! Cepat buka!”
Bi Atun menggedor-gedor pintu kamar sang menantu, ekspresi wajahnya merah padam.
Pintu pun dibuka dari arah dalam, tampaklah Nirma yang masih mengenakan seragam kerjanya.
“Dasar jorok. Pulang kerja bukannya ganti baju malah langsung molor. Kau kira rumah ini hotel apa?!” Bi Atun berkacak pinggang, emosinya tak terbendung lagi.
Nirma menunduk, sebenarnya dia masih sangat mengantuk. “Maaf, Buk. Tadi, Nirma capek sekali.”
Bi Atun menunjuk kening sang menantu, matanya melotot sempurna. “Alasan teros! Kau ini benar-benar tidak becus jadi orang. Mana pemalas sekali! Menanak nasi bisa-bisanya gosong, menumis sayur kalau gak keasinan ya hambar. Menyapu rumah masih banyak tertinggal debu dan rambut rontok. Ya ampun Nirma! Kau bisanya apa sih?!”
Gigi bi Atun sampai bergemeletuk, napasnya memburu. “Sekarang cuci piring sana! Bisa-bisanya habis makan kau letak begitu saja piring kotornya. Kau anggap aku apa, babu mu?!”
“Maaf, Buk. Tadi perut Nirma benar-benar tidak nyaman,” ucapnya apa adanya, ia mengelus perutnya yang sudah terlihat sedikit membuncit.
“Muak aku mendengar alasan mu yang itu-itu saja! Kau berbeda sekali bila dibandingkan dengan kakakmu. Amala sangat rajin, tanpa dipinta langsung merapikan rumah ini bila ia berkunjung, memasak menu lezat, bahkan tak jarang pula memijat Ibuk! Sedangkan kau … amit-amit jabang bayi betul lah!” Bi Atun berbalik berlalu begitu saja.
Telapak tangan Nirma mengepal begitu erat, dia paling tidak suka bila dibandingkan dengan kakaknya.
Dia kira setelah menikah kehidupannya akan layaknya ratu, ternyata menjadi babu. Lelah bekerja di rumah sakit sebagai perawat, begitu sampai rumah pun tak bisa langsung istirahat. Harus berjibaku dengan pekerjaan yang begitu dia benci, memasak, beberes rumah.
“Mas,” panggil Nirma lirih pada sang suami yang terkapar di sampingnya usai bercinta.
“Hem,” balas Yasir, dia sudah sangat mengantuk.
Rasanya hatinya seperti dicubit, belakangan ini komunikasi mereka begitu buruk. Perlakukan pria yang sudah tiga bulan menjadi suaminya sangat berbeda bila dibandingkan saat dulu menjalin cinta terlarang.
Yasir hanya mendatanginya manakala menuntut haknya, selebihnya dia tak acuh.
“Apa nggak sebaiknya kita hidup mandiri, Mas …?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu