Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Cinta Sang Pewaris
Setelah malam penuh darah itu, dunia bawah tanah tak lagi sama. Kejadian penculikan Alice bukan hanya menjadi peringatan bagi musuh-musuh Alessia, tetapi juga menjadi legenda.
Tidak ada yang berani menyebut nama Alessia dengan nada meremehkan. Tidak ada yang cukup bodoh untuk mengusik keluarganya lagi.
Alessia tidak hanya membantai musuh-musuhnya malam itu, tetapi juga menghancurkan jaringan mereka hingga ke akar. Ia menghabisi semua yang terlibat, dari petinggi hingga kaki tangan mereka, memastikan bahwa tidak ada yang bisa membalas dendam.
Kini, di dunia mafia, hanya ada satu aturan utama: Jangan pernah menyentuh keluarga Alessia Moretti.
Tahun demi tahun berlalu. Alice tumbuh menjadi gadis muda yang cerdas dan kuat, dibimbing langsung oleh Alessia dan Ziad. Ia tidak lagi menjadi gadis kecil yang lemah—sekarang, ia tahu bagaimana bertahan, bagaimana membaca pergerakan lawan, dan yang terpenting, bagaimana melindungi dirinya sendiri.
Namun, bukan hanya Alice yang mengalami perubahan.
Di belahan dunia lain, di benua yang berbeda, seorang pria muda berdiri di depan jendela gedung pencakar langit, menatap kota yang membentang luas di bawahnya.
Kaelus Moretti.
Dulu, dia adalah anak lelaki yang harus meninggalkan keluarganya demi pendidikan. Kini, dia kembali sebagai pria dewasa yang telah menyelesaikan studinya dengan gelar S3, dengan otak yang tajam dan ambisi yang lebih besar.
Namun, yang paling mencolok dari kepulangannya bukan hanya kepintarannya.
Kaelus kini adalah CEO muda yang luar biasa sukses. Dengan wajah tampan yang diwarisi dari ibunya dan aura dingin yang membuat banyak orang gentar, dia menjadi sosok yang diidamkan banyak wanita.
Para sosialita berebut mendapatkan perhatiannya, sementara pesaingnya di dunia bisnis gemetar mendengar namanya.
Namun, Kaelus tidak peduli pada semua itu.
Dia hanya ingin pulang.
Malam itu, jet pribadi Kaelus mendarat di bandara pribadi keluarga Moretti.
Saat ia melangkah keluar, tubuhnya menjulang tinggi dalam balutan setelan hitam yang sempurna. Mata birunya yang tajam menyapu sekelilingnya, sebelum akhirnya berhenti pada dua sosok yang telah menunggunya di sana.
Alessia dan Ziad.
Ibunya masih sama seperti yang ia ingat—anggun, penuh wibawa, dan tetap berbahaya. Sementara Ziad berdiri di sampingnya, ekspresinya tetap tenang, tapi matanya menunjukkan kebanggaan.
Kaelus tersenyum tipis sebelum berjalan mendekat.
“Aku pulang.”
Alessia menatap putranya lama sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan menepuk bahu Kaelus.
“Selamat datang kembali, Kael.”
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Alessia tersenyum.
.
.
Setelah kepulangan Kaelus ke kota, kehidupan di keluarga Moretti terasa lebih lengkap. Alice, yang kini telah tumbuh menjadi remaja yang cantik dan manis, sangat senang akhirnya bisa kembali menghabiskan waktu dengan kakaknya.
Meski begitu, ada satu perbedaan besar.
Kaelus bukan lagi anak laki-laki yang dulu pergi meninggalkan rumah. Sekarang, dia adalah seorang pria dewasa dengan karisma yang sulit diabaikan. Sebagai CEO muda, dia dikenal dingin, berwibawa, dan tak tersentuh. Tak ada satu pun wanita yang bisa dengan mudah mendekatinya—bukan karena dia kasar, tetapi karena sikapnya yang selalu terlihat tidak tertarik.
Namun, semua itu berubah dalam sekejap mata.
Suatu hari, Alice memutuskan untuk mengunjungi kantor kakaknya. Dia sedang bersemangat karena hari itu ia ingin mengenalkan seseorang kepada Kaelus.
"Kirana, ayo cepat!" seru Alice sambil menarik tangan sahabatnya.
Gadis yang dipanggil Kirana itu tertawa kecil. Dia adalah gadis lugu dan manis, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu. Wajahnya polos dan cerah seperti sinar matahari, seakan tidak ada sedikit pun kegelapan di hatinya.
Dia berbeda dari semua orang yang Kaelus kenal.
Saat mereka sampai di lantai tertinggi gedung Moretti Corp, Alice langsung menerobos masuk ke ruang kerja kakaknya tanpa mengetuk.
"Kael!" panggilnya riang. "Aku mau mengenalkan temanku!"
Kaelus, yang sedang membaca laporan, menghela napas dan mengangkat wajahnya. Dia sudah siap dengan teguran tajam untuk adiknya karena datang tanpa izin.
Namun, kata-kata itu menguap begitu saja dari mulutnya saat pandangannya jatuh pada gadis di samping Alice.
Dunia seakan berhenti.
Kirana berdiri dengan kikuk, menatap Kaelus dengan senyum malu-malu.
"Kael, ini Kirana," kata Alice. "Dia sahabatku!"
Kaelus tak bisa mengalihkan pandangannya. Dia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuat dadanya terasa sesak.
Dan di sanalah, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kaelus Moretti jatuh cinta pada pandangan pertama.
Alice memperhatikan ekspresi kakaknya yang aneh dan mengernyit.
"Kael?" panggilnya.
Kaelus tersadar dari lamunannya dan segera mengalihkan pandangan, mencoba mengendalikan ekspresi wajahnya.
"Senang bertemu denganmu, Kirana," katanya dengan suara yang terdengar lebih lembut dari biasanya.
Kirana tersenyum, tidak menyadari efeknya pada pria di depannya. "Senang bertemu denganmu juga, Kaelus."
Suara gadis itu seperti melodi yang menenangkan, membuat hati Kaelus berdebar tanpa alasan yang jelas.
Sejak saat itu, hidup Kaelus tak lagi sama.
.
.
Setelah perkenalan singkat di kantor Kaelus, Alice merasa bahwa suasana di ruangan itu sedikit aneh. Kaelus yang biasanya begitu dingin dan tidak tertarik pada siapa pun, mendadak terlihat lebih lembut.
Bahkan, dia tidak menegurnya karena masuk tanpa mengetuk. Itu saja sudah cukup membuat Alice curiga.
Tapi yang lebih mengherankan adalah bagaimana cara kakaknya memandang Kirana.
“Ayo makan siang bareng!” ajak Alice dengan ceria, berusaha mengabaikan perasaan anehnya.
Kaelus, yang biasanya akan menolak ajakan semacam itu dengan alasan sibuk, justru menutup laptopnya dan berdiri.
“Baiklah,” katanya singkat.
Alice hampir menjatuhkan rahangnya ke lantai.
Kael setuju? Begitu saja?
Sementara itu, Kirana tampak senang. “Wah, asyik! Aku jadi bisa mengenal Kaelus lebih baik.”
Alice menyipitkan mata, kini perhatiannya benar-benar tertuju pada kakaknya.
Mereka bertiga pergi ke sebuah restoran mewah di pusat kota. Tempat itu tenang dan elegan, sangat cocok untuk seseorang seperti Kaelus.
Saat mereka duduk, Alice memperhatikan sesuatu lagi—Kaelus memilih tempat duduk di samping Kirana.
Padahal biasanya, kalau mereka pergi makan bersama, Kaelus pasti memilih duduk di depannya atau di tempat yang lebih jauh.
Alice mengerutkan kening.
“Kael, kau yakin tidak mau duduk di sini saja?” tanyanya, menunjuk kursi di depannya.
Kaelus meliriknya sekilas. “Di sini juga nyaman.”
Alice semakin curiga.
Mereka mulai memesan makanan, dan selama itu, Kaelus terus mencuri pandang ke arah Kirana.
Alice melihatnya.
Dia melihat bagaimana mata Kaelus melunak saat Kirana berbicara. Bagaimana dia terlihat sedikit lebih santai dibanding biasanya.
Dan puncaknya?
Saat Kirana kesulitan memilih makanan dan bergumam, “Hmm, aku bingung harus pilih yang mana…,” Kaelus langsung menanggapinya tanpa ragu.
“Coba yang ini,” katanya sambil menunjuk salah satu menu.
Kirana menatapnya dengan mata berbinar. “Wah, kau juga suka menu ini?”
Kaelus mengangguk sedikit. “Lumayan.”
Alice hampir tersedak air putihnya.
Apa-apaan ini?
Kakaknya yang selalu dingin, yang bahkan tidak pernah peduli dengan makanan yang dia makan sendiri, sekarang repot-repot memilihkan menu untuk seorang gadis?
Selama makan, Alice terus mengawasi Kaelus.
Setiap kali Kirana tertawa, sudut bibir Kaelus sedikit terangkat.
Setiap kali Kirana berbicara, Kaelus mendengarkan dengan penuh perhatian.
Bahkan, saat Kirana menjatuhkan sendoknya ke lantai, Kaelus yang lebih dulu mengambilnya dan memanggil pelayan untuk menggantinya.
Alice menatap pemandangan itu dengan rasa tidak percaya.
Lalu dia menyadari sesuatu.
Kael jatuh cinta.
Dan itu membuat bulu kuduknya meremang.
Saat mereka keluar dari restoran, Alice menarik lengan kakaknya sebelum mereka masuk ke dalam mobil.
“Apa yang terjadi padamu?” bisiknya tajam.
Kaelus menatapnya dengan ekspresi datar. “Apa maksudmu?”
Alice mendesah frustrasi. “Kau tidak sadar? Kau bertingkah aneh sepanjang makan siang! Cara kau memandang Kirana, cara kau berbicara dengannya—Kael, ini tidak seperti dirimu!”
Kaelus terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil.
“Apa itu masalah?” tanyanya santai.
Alice terdiam.
Jadi, ini bukan kebetulan. Kaelus tahu bahwa dia bersikap berbeda, dan dia tidak menyangkalnya.
Alice menatap kakaknya dengan tatapan horor.
“Kael… kau… kau menyukai Kirana?”
Kaelus tidak menjawab, tetapi tatapan matanya cukup untuk memberi Alice jawaban.
Alice merasa ingin pingsan.