"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Bri langsung bisa menebak siapa pemilik kucing yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Tanpa ragu, ia melangkah ke rumah Raga dengan amarah yang hampir meledak.
Raga baru saja kembali ke rumah sepulang bekerja. Ia masih khawatir dengan kucingnya namun berharap ketika dia kembali Biu akan meyambutnya di dalam rumah. Raga memarkirkan motornya di depan pagar, kemudian turun dan bergegas membuka pintu pagar, tiba-tiba saja Bri datang dengan wajah kesal sambil menunjuk mukanya.
"Kau! Apa yang sudah kau lakukan pada pekaranganku?" bentak Bri.
Raga mengerutkan dahi. "Maksudmu?"
"Jangan pura-pura tidak tahu! Tanamanku rusak, dan aku menemukan bukti tak terbantahkan!" Bri menunjuk ke arahnya dengan tajam. "Kotoran kucing!"
Raga terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Jadi maksudmu, kucingku yang melakukannya?"
"Siapa lagi?" Bri melipat tangan di dada.
"Maaf itu salahku. Aku tadi mencari kucingku di sana, tetapi aku tidak bermaksud merusaknya," Raga berusaha menjelaskan. "Kucingku hilang. Aku hanya ingin menemukannya."
Bri mendengus. "Aku tidak peduli. Sekarang bagaimana dengan tanamanku?"
Ekspresi Raga berubah, keragu-raguan tampak di wajahnya. "Kau menculiknya ya?Tidak ada orang lain yang sering berseteru denganku selain dirimu."
"Apa? Aku menculik kucingmu?! Astaga!" Bri menepuk dahinya. "Kau pikir aku sebegitu kurang kerjaannya menculik kucingmu?!"
"Siapa tahu, mungkin kau ingin membalas dendam karena pernah mengeluhkan sampahku yang jatuh di halamanmu atau kucingku yang buang air sembarangan?"
Bri melotot, nyaris tak percaya dengan tuduhan itu. "Kau keterlaluan!"
Raga mendengus, merasa tersudut. "Aku hanya mencari kemungkinannya. Aku benar-benar cemas!"
Bri menatapnya dengan tajam, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu, ini mengingatkanku pada sesuatu. Saat aku menolongmu di rumah sakit, aku juga tidak harus peduli, tetapi aku tetap melakukannya."
Wajah Raga menegang. Ia ingat betul bagaimana Bri menemukannya pingsan karena penyakit lambungnya, menalangi iuran, bahkan memasakkan makanan untuknya di rumah sakit. "Itu beda cerita. Lagipula hal itu sudah berlalu, ayolah tidak usah mengungkitnya kembali."
"Kau benar-benar tidak tahu berterima kasih," lanjut Bri, suaranya sarat kekecewaan.
Raga terdiam. Ia merasa bersalah, tetapi harga dirinya menghalangi untuk mengakuinya. "Bukan itu maksudku..."
"Terserah!" Bri memutar tubuhnya dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Raga yang masih berdiri di ambang pintu.
***
Keesokan paginya, Raga masih belum menemukan Biu. Tidurnya tidak nyenyak, pikirannya terus dipenuhi bayangan kucingnya yang mungkin tersesat, kelaparan, atau lebih buruk lagi—terluka.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke mencarinya di sekitaran komplek. Ia berharap seseorang melihat kucingnya berkeliaran.
"Saya memang sempat melihat kucing belang putih dengan ekor panjang kemarin sore," kata Pak Ujang yang sedang menjemur pakaian di depan rumahnya. "Tapi setelah itu, saya tidak tahu ke mana ia pergi."
Raga semakin cemas. "Apa ada kemungkinan ia masuk ke kompleks sebelah?"
Pria itu berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Mungkin saja. Saya dengar ada rumah kosong di sana yang sering dimasuki hewan liar."
Raga langsung bergerak. Dengan langkah cepat, ia menuju kompleks sebelah, hatinya diliputi harapan dan ketakutan.
Raga mencari dengan mengedarkan pandangannya ke sekiling. Tempat itu dulu adalah tempatnya bermain, dia sering mencari hewan seperti belalang, katak atau bahkan kadal di sana. Beberapa rumah sudah kosong dan tak terawat. Kebun yang dulunya milik salah satu penghuni kini tampak masih berdiri namun sudah tidak banyak tanaman yang tersisa.
Begitu tiba di depan sebuah rumah kosong yang dimaksud, Raga merasakan sesuatu yang janggal. Pintu pagar rumah itu terbuka sedikit, dan suasananya terasa sunyi.
Dengan hati-hati, ia melangkah masuk, matanya menyapu sekeliling halaman yang dipenuhi dedaunan kering dan rumput liar.
"Lalu, di mana kau, Biu?" gumamnya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara lemah di sudut halaman. Ia bergegas mendekat dan menemukan Semprul berbaring dengan tubuh penuh luka.
"Biu!" Raga langsung berlutut, hatinya mencelos melihat kondisi kucingnya. Bulunya kotor, ada goresan di tubuhnya, dan matanya tampak lemah.
Tanpa berpikir panjang, Raga mengangkatnya dengan hati-hati, lalu segera berlari keluar rumah kosong itu. Raga menggendong Biu sambil berlari kencang menuju rumahnya. Sesampainya di rumah ia buru-buru meletakkan Biu di dalam mobil Raga dan membawanya ke dokter hewan.
"Bertahanlah kawan." Bri sesekali melirik Biu yang tertidur di kursi sebelahnya.
Raga akhirnya bisa bernapas lega. Meski mengalami luka-luka ringan, kucingnya tidak dalam kondisi serius. Dokter hewan langganannya memberikan beberapa obat dan salep, serta memberi Raga pesan untuk datang lagi minggu depan guna mengecek perkembangan kondisi Biu.
Saat kembali ke rumah, ia melihat Bri berdiri di depan pagar, menatapnya dengan ekspresi campuran antara penasaran dan enggan bertanya.
"Kulihat kau sudah menemukannya," ucap Bri pura-pura tidak peduli.
Raga menghampirinya dengan langkah lambat. "Aku menemukannya."
Bri mengangkat alis. "Di mana?"
"Rumah kosong di kompleks sebelah." Raga menunduk, mengelus kepala Semprul yang kini sudah tertidur di gendongannya.
Bri menghela napas. "Untunglah dia kucing selamat."
Ada jeda hening di antara mereka sebelum Raga akhirnya berkata dengan nada lebih lembut, "Maaf soal kemarin, dan soal tuduhanku."
Bri menatapnya sejenak, lalu mengangkat bahu. "Aku tidak heran kau begitu. Sudahlah bawa kucingmu masuk ke dalam dan pastikan dia tidak kemana-mana." Mereka saling menatap sejenak sebelum Bri akhirnya berkata, "Oh, dan kau tetap harus mengganti tanamanku."
Raga terperanjat. "Apa? Kupikir kau sudah melupakannya. Apa aku tidak diberi keringanan? Aku baru saja mengeluarkan uang untuk biaya dokter hewan."
"Enak saja. Itu ulahmu dan kau harus bertanggung jawab." Bri mendelik sambil melangkah berbalik masuk ke dalam rumahnya.
"Dasar gorilla pelit," sungut Raga sembari membawa kucingnya masuk ke dalam untuk beristirahat.