Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Setelah sampai di lapangan yang menjadi tempat latihan, Raja Suryaputra memberi perintah kepada Trunojoyo untuk mencoba formasi Pedang Hujan yang sudah dikembangkan Ranu.
Meskipun Ranu sudah minta maaf, ternyata Trunojoyo masih mempunyai bara dendam di dalam hatinya. Dia ingin mempermalukan Ranu dengan cara mengalahkan formasi Pedang Hujan.
Trunojoyo maju ke depan dengan menenteng pedang di tangan kanannya. Kepercayaan dirinya sangat tinggi untuk bisa membongkar formasi bikinannya sendiri.
"Jangan memakai pedang sungguhan!" ucap Raja Suryaputra.
"Tidak apa-apa, Paduka. Ini juga sebagai pembelajaran buat mereka. Nantinya mereka pun akan melawan pedang sungguhan," ujar Ranu.
Raja Suryaputra menatap Ranu dengan raut wajah kebingungan, "Kalau terjadi apa-apa dengan mereka bagaimana?"
"Itu resiko sebuah pertarungan, Paduka. Jika mereka tidak ingin terluka, jangan jadi pendekar?" jawab Ranu dengan suara sedikit dikeraskan.
"Lakukan yang terbaik, jangan takut terluka atau kalah. Ingat yang aku ajarkan!" teriak Ranu.
"Siap, Kakang!" teriak para gadis tersebut bersamaan.
Trunojoyo yang ingin segera mempermalukan Ranu segera memberi serangan.
"Bentuk formasi," teriak salah satu gadis.
Belasan gadis tersebut kemudian bergerak memutari Trunojoyo searah jarum jam. Selama mereka berputar, ujung bilah pedang yang mereka bawa selalu berada di depan.
Trunojoyo yang sebenarnya cukup punya pengalaman, belum bisa melakukan serangan karena gerakannya tertutup rapat. Bahkan, dia sudah harus dibuat kerepotan dengan kombinasi 2 - 4 orang yang bergantian menyerang dan langsung kembali ke dalam putaran. Gerakan belasan gadis tersebut begitu rapi dan saling menutupi.Trunojoyo bukannya tidak menyerang sekalipun, namun serangannya selalu bisa dipatahkan dan bisa dibaca karena gerakannya yang monoton.
Sampai belasan kali serangan, Trunojoyo masih bisa menghindari serangan. Namun ritme berbeda di tunjukkan para gadis tersebut.
Putaran mereka berganti arah dan serangan yang diberikan pun semakin gencar.
6 orang gadis bergantian memberikan serangan dengan sasaran yang berbeda. Mulai kaki hingga kepala pria setengah baya tersebut.
"Lihat, Paduka. Sebentar lagi Paman Trunojoyo akan mendapat luka pertama!" ucap Ranu.
Benar saja, di saat Trunojoyo sibuk menghindari dan menangkis 6 serangan bersamaan, dua orang gadis meloncat ke tengah dan mengayunkan pedangnya ke arah kepala Trunojoyo. Lelaki setengah baya itu pun dibuat kaget dan berusaha melakukan tangkisan.
Namun serangan itu hanya sebuah tipuan karena dua gadis tersebut menarik serangannya.
"Aaaakh ...!"
Paha dan rusuk Trunojoyo langsung mengeluarkan darah segar terkena sabetan dua bilah pedang yang tidak disadarinya. Fokusnya menangkis serangan dari atas membuat pertahanan bagian bawah terbuka lebar.
Gerakan Trunojoyo mulai goyah karena luka di pahanya. Namun ambisinya yang ingin membuat malu Ranu menjadikannya tidak mau menyerah.
Lagi-lagi dia harus dibuat menahan teriakannya, karena sebilah pedang sudah mengoyak lengan kanannya hingga membuat pegangan pedangnya menjadi longgar.
Ranu yang melihat hal tersebut langsung berteriak menghentikan pertarungan, "Berhenti Mendengar suara Ranu, para gadis itu langsung berloncatan ke belakang. Sedangkan Trunojoyo jatuh berlutut karena luka di pahanya semakin banyak mengeluarkan darah.
Dua orang prajurit langsung memapah Trunojoyo ke ruang pengobatan setelah Raja Suryaputra memberi perintah.
"Bagaimana bisa kau melatih mereka menjadi begitu berkembang hanya dalam waktu 5 hari?" tanya Senopati Sayekti. Senopati tersebut tertarik dengan metode yang digunakan Ranu dalam melatih para gadis tersebut.
"Hahaha, aku tidak bisa menjawab dengan pasti, Tuan. Yang aku terapkan hanya pendekatan dan mempelajari karakter mereka masing-masing. Lalu kelemahan formasi tersebut juga sudah aku pelajari dari awal pertama aku melihatnya," jawab Ranu. Dia lalu memandang para gadis yang tidak jauh darinya.
"Dan yang juga tidak kalah penting adalah, kita buat mereka senang dengan cara melatih kita. Dari laporan mereka, Paman Trunojoyo terlalu kaku dan gampang emosi ketika melatih. Hal tersebut tidak baik untuk perkembangan mental anak didik kita. Sebab mereka akan selalu terbebani dengan target yang diberikan oleh gurunya." tambahnya.
"Lalu menurutmu, apa yang harus aku lakukan terhadap Trunojoyo?" tanya Senopati Sayekti yang sudah paham arah pembicaraan Ranu.
"Kalau bisa jangan diberi tugas untuk melatih lagi. Sifat temperamennya tidak cocok untuk menjadi seorang pengajar!"
Raja Suryaputra semakin dibuat tertarik dengan sosok Ranu. Begitu pula dengan Senopati Sayekti. Andai saja Ranu tidak punya tugas khusus, Raja Suryaputra tidak akan membiarkannya pergi dan akan memberikan jabatan tinggi di kerajaannya.
Keesokan harinya, Sebelum melanjutkan perjalanan, Ranu berpamitan kepada para gadis yang sudah dilatihnya, "Aku akan pergi sekarang, Siapa yang mau menungguku selama 50 tahun lagi?" tanyanya sambil tertawa.
Para gadis tersebut tertawa dengan lelucon yang pemuda yang sudah melatih mereka selama lima hari.
"Aku akan menunggumu, Kakang," jawab Mawar, gadis cantik yang pedangnya pernah dipinjam Ranu ketika melawan Trunojoyo.
Glek!
Ranu menelan ludahnya, "Hahaha ... kamu bercanda saja, Mawar!"
"Siapa yang bercanda? Aku akan menunggu sampai Kakang kembali!" balas Mawar tegas.
"Kalau aku tidak kembali bagaimana?"
"Aku tidak akan pernah menikah," sahut Mawar.
Ranu kaget dengan sikap Mawar yang ternyata sudah menyukainya dengan diam-diam.
"Ayo Ranu, tugasmu masih panjang! Kau sudah terlalu lama di tempat ini!" sela Geni tiba-tiba. Entah kenapa Geni merasakan ada sesuatu yang menariknya di luar sana.
Ranu tidak membalas ucapan Geni.
"Baiklah, Mawar. Kau boleh menungguku
Tapi jangan menyesal bila aku tidak kembali ke sini, karena tugasku masih banyak dan akan sangat lama."
Mawar mengangguk pelan sambil tersenyum,
"Aku akan selalu menunggumu, Kakang Ranu," ucapnya dalam hati.
Setelah berpamitan kepada para gadis tersebut, Ranu berpamitan kepada Raja Suryaputra sebentar. Dia kemudian menggendong Dewi dan berjalan keluar dari istana kerajaan Tambakboyo.
Raja Suryaputra bahkan sampai mengantarnya sampai ke pintu gerbang Istana, "Istana ini akan selalu terbuka untukmu, Ranu."
"Terima kasih, Paduka. Aku akan berangkat sekarang." Ranu menundukkan kepalanya memberi hormat. Dia kemudian membalikkan badannya dan berjalan menyusuri jalanan hingga sampai di luar kotaraja.
Ranu mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dengan Ajian Saipi Angin, Ranu melesat dengan kecepatan penuh. Berdasar informasi arah menuju gunung Arjuno yang dia dapatkan ketika di istana Tambakboyo, Ranu tinggal mengikuti jalanan yang sekarang dilewatinya.
Dua jam berlari dengan kecepatan penuh, Ranu tiba di sebuah kaki gunung yang bernama gunung Penanggungan.
"Kita beristirahat sebentar di sini, Dewi," ucap Ranu selepas berhenti di sebuah pohon beringin yang besar dan lebat.
Akar beringin terlihat menjuntai dengan indah.
Bahkan sebagian ada yang hingga menyentuh tanah. Dewi nampak riang bermain-main dengan untaian akar beringin tersebut. Dia bergelantungan dengan dibantu dorongan pelan tangan Ranu.
Ranu tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Dewi. Andai dia tidak ditugaskan untuk mengantar Dewi ke Kuil Keabadian di puncak gunung Arjuno, dia mungkin hanya ingin tinggal dengan gadis kecil tersebut dan merawatnya dengan baik.
"Ranu, Aku merasakan ada energi di atas gunung ini," ucap Geni.
"Energi apa?" tanya Ranu.
"Entahlah, tapi energi ini begitu kuat dan berusaha menarikku."
"Baiklah, ayo kita selidiki ke sana!"
Ranu kemudian memanggil Dewi yang masih asyik bermain akar beringin.
"Ayo ke atas sebentar, nanti kamu bisa bermain lagi!" kata Ranu sambil tersenyum. Dia lalu jongkok di depan Dewi.
Dewi tersenyum lalu mengangguk dan naik ke punggung Ranu.
"Di sebelah mana sumber energi tersebut, Geni?"
"Naik saja dulu, nanti aku beri arahan!" sahut Geni.
Ranu kemudian berlari dengan kencang sambil menghindari pepohonan yang berdiri tidak karuan jaraknya. Dia bisa merasakan berlari menaiki gunung ternyata lebih melelahkan dari pada berlari di jalanan yang datar.Setelah hampir mencapai puncak gunung yang tidak terlalu tinggi tersebut, Ranu kemudian kembali bertanya kepada Geni, "Kita sudah hampir mencapai puncak, ini mau kemana lagi?"
"Setelah pohon besar itu, beloklah ke kiri!"
balas Geni mengarahkan.
Ranu kemudian memelankan laju kakinya dan berjalan seperti biasa. Setelah pohon besar yang disebutkan Geni, dia mengambil jalur ke kiri dan berjalan lurus hingga menemukan sebuah tempat seperti untuk pertapaan.
"Berhentilah di sini. Aku yakin energinya tadi berasal dari tempat ini," ucap Geni.
Ranu kemudian berhenti bawah sebuah batu besar yang menjorok ke dalam dan menurunkan Dewi dari gendongannya, "Kalau kamu ngantuk, tidur saja di sini," ucapnya pada Dewi.
Gadis kecil itu mengangguk lalu merebahkan diri di sebuah lempengan batu lebar berwarna hitam. Tidak lama kemudian, Dewi pun tertidur dengan pulas. Ranu yang kelelahan akhirnya juga merebahkan tubuh di samping Dewi. Dia memeluk gadis kecil tersebut dengan erat selayaknya pelukan kakak ke adiknya.
Hembusan angin gunung yang semilir membuatnya menguap berkali-kali dan kemudian, dia pun tertidur pulas.
Di dalam tidurnya, Ranu seperti berdiri di sebuah puncak gunung. Gunung tersebut bentuknya unik, satu puncak tertinggi dengan delapan bukit mengitarinya, terletak pada delapan penjuru mata angin
"Ranu, kau sekarang berada di atas puncak Pawitra. Gunung ini adalah gunung suci, dan hanya orang berhati sucilah yang bisa sampai ke atas puncak Pawitra." Terdengar suara seorang lelaki tua mengagetkannya.