Aluna, gadis berusia delapan belas tahun dengan trauma masa lalu. Dia bahkan dijual oleh pamannya sendiri ke sebuah klub malam.
Hingga suatu ketika tempat dimana Aluna tinggal, diserang oleh sekelompok mafia. Menyebabkan tempat itu hancur tak bersisa.
Aluna terpaksa meminta tolong agar diizinkan tinggal di mansion mewah milik pimpinan mafia tersebut yang tak lain adalah Noah Federick. Tentu saja tanpa sepengetahuan pria dingin dan anti wanita itu.
Bagaimana kehidupan Aluna selanjutnya setelah tinggal bersama Noah?
Langsung baca aja kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 33
Aluna membuka kedua matanya saat mendengar kicauan burung pagi yang begitu menggelitik di telinganya.
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah tirai, menyoroti kamar tidur kecil yang ia tinggali. Dengan berat hati, ia bangkit dari tempat tidur dan mulai membereskannya.
"Haruskah aku menerima tawaran tuan Noah?" gumam Aluna, menatap bayangannya sendiri di cermin kamar mandi.
Aluna terdiam.
"Mungkin ini memang keputusan yang terbaik daripada aku harus tinggal di kolong jembatan," pikirnya sambil berusaha menghibur diri sendiri.
Ia tersenyum pahit, menghapus air mata yang mulai mengalir kembali di pipinya. Ada perasaan sesak di dadanya, sebuah rasa sakit yang sulit dijelaskan.
"Semangat, Luna. Hanya satu tahun. Setelah itu kamu bebas," ujar Aluna kepada dirinya sendiri.
"Tapi, setelah itu aku akan pergi ke mana? Aku kan tidak punya siapa-siapa selain Paman. Kalau aku kembali pada Paman, dia pasti akan menjualku atau bahkan lebih parah dari itu. Karena dia tidak mungkin tidak tahu kalau aku kabur dari klub malam." Aluna menunduk lesu.
"Tidak, Luna! Bukan waktunya untuk bersedih. Ada Bibi Yasmin di sini. Dia menyayangi kamu lebih dari Paman Hugo," katanya sambil menepuk-nepuk pipinya.
Setelah menghabiskan setengah jam di kamar mandi, Aluna akhirnya selesai dengan ritual pagiannya. Ia menyambar jubah mandi, lalu memakainya dengan cepat.
Namun, saat ia membuka pintu kamar mandi, ia terkejut.
Seseorang berdiri di ambang pintu, hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. Otot tubuhnya yang kekar tampak jelas, seolah menantang pandangan mata Aluna.
Ya, pria itu adalah Noah, orang yang selama ini mengisi pikirannya.
"T—tuan! Apa yang Anda lakukan di sini?" seru Aluna, terkejut sekaligus bingung dengan kehadiran Noah yang tiba-tiba.
"Kenapa kamu lama sekali?" balas Noah, mengabaikan pertanyaan Aluna dan justru memberinya pertanyaan balik.
"Maaf sudah membuat Anda menunggu," jawab Aluna dengan suara lirih, melangkah mundur untuk menghindari tatapan dingin Noah.
Noah, tanpa ragu malah mendekat.
Langkahnya membuat Aluna terpojok di dinding, seolah-olah ia adalah seekor burung kecil yang terjebak dalam kurungan predator.
"Tuan, Anda mau apa?" Aluna menunduk, ketakutan membayangkan hal yang mungkin terjadi.
"Bukankah kamu terbiasa melayani banyak pria di luar sana?" tanya Noah dengan nada sinis, membuat Aluna terperanjat.
Aluna menggelengkan kepala, mencoba menyangkal tuduhan itu.
"Jangan sok suci!" Noah berkata sambil menarik dagu Aluna dengan kasar, memaksanya untuk menatap mata dinginnya.
"Bagaimana kalau kamu melayani aku di atas ranjang? Aku membayar mu. Berapapun kamu mau."
"Jangan, Tuan. Sungguh, saya belum pernah melakukan itu," ucap Aluna, suaranya gemetar penuh ketakutan.
"Sayangnya aku tidak menerima penolakan!" ujar Noah sambil terus mengungkung Aluna, mengikis jarak di antara mereka.
Aluna merasa terjebak, mencoba memberontak. Namun usahanya sia-sia. Noah sudah lebih dulu menyatukan bibir mereka dengan paksa, mencuri ciuman pertamanya.
"Anda... anda benar-benar kurang ajar, Tuan! Berani sekali Anda mengambil ciuman pertama saya!" seru Aluna dengan bibir bergetar.
Noah tidak gentar.
Dengan kasar, Noah menjamah tubuhnya, membuat Aluna meronta sekuat tenaga. Aluna ketakutan, teringat akan kejadian serupa ketika Ethan hampir melecehkannya.
Saat Noah hampir menyatukan tubuh mereka, Aluna berteriak.
"Tidak!!!!"
Bruk.
Aluna terjatuh dari tempat tidur, terjengkang dengan jubah mandi yang masih menutupi tubuhnya. Nafasnya terengah, matanya terbuka lebar menyadari apa yang baru saja terjadi.
"A—apa itu tadi cuma mimpi?" Aluna meraba tubuhnya, berusaha menenangkan diri. Perlahan ia menghela nafas lega. "Astaga, apa yang aku pikirkan sampai-sampai memimpikan Tuan Noah."
"Sadar Aluna. Kamu dan tuan Noah tidak akan pernah bisa bersanding. Kalian bagaikan bumi dan langit. Sangat jauh sekali," bisiknya kepada diri sendiri.
***
Sementara di luar kamar Vincent dan Yasmin tengah berdiri di depan pintu. Mereka terlihat khawatir karena sudah satu jam lebih mengetuk pintu, Aluna tak kunjung menjawab.
"Bagaimana kalau kita dobrak pintunya?" ucap Vincent.
"Kamu benar, Vin. Lebih baik kita mendobraknya. Aku takut terjadi sesuatu pada Aluna." Yasmin menimpali.
"Lakukan saja, tapi bersiaplah ku potong separuh gaji kalian!" sahut Noah berdiri di belakang mereka dengan tatapan datar dan dingin.