"Hanya aku yang boleh menyiksa dan membuatmu menderita. Hanya aku yang boleh mencintai dan memilikimu."_Sean Aznand.
Sonia Elliezza, rumah tangga yang dia idam-idamkan selama ini menjadi mimpi buruk untuknya, walaupun Sonia menikah dengan pria yang sangat dia cintai dan juga mencintainya.
Hanya karena kesalahan di masa lalu, membuat rumah tangga Sonia bersama dengan Sean Aznand menjadi sangat dingin dan menegangkan serta penuh dendam dan amarah yang tak terbantahkan.
Sean memberikan pilihan pahit pada Sonia di awal pernikahan mereka yaitu pergi atau bertahan. Pilihan apakah yang Sonia ambil?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersiksa Kembali
Sonia bangun dengan seluruh tubuh yang terasa remuk, dia meringis karena menahan sakit akibat siksaan demi siksaan yang dilayangkan oleh Sean dalam dua minggu ini, tiada hari tanpa kekerasan yang Sonia alami. Dia benar-benar mengalami setiap amukan, cacian, hinaan hingga siksaan dari Sean.
Bukan hanya fisiknya saja yang sakit, namun Sean juga menyakiti hatinya, Sean selalu menghantam Sonia dengan perkataan yang begitu menusuk. Sonia berjalan ke kamar mandi dan berendam di dalam bathub, dinginnya air membuat rasa sakit di tubuhnya berkurang.
Sonia sudah diperbolehkan untuk keluar kamar dan bebas di dalam rumah itu, namun dia masih tidak boleh keluar rumah tanpa seizin Sean, Sonia juga tidak diberikan ponsel oleh Sean serta dia tidak diizinkan menggunakan sosial media sehingga saat ini Sonia seperti seorang tawanan.
"Pastikan dia makan dengan baik dan bergizi, saya tidak ingin dia sakit hanya karena makanan dari kalian tidak bermutu, mengerti." Kata Sean pada pelayannya.
"Iya tuan."
Sean pergi ke kantor, semalam dia menyiksa Sonia hampir 2 jam di dalam ruangan itu hingga Sonia lemah tak berdaya, namun seperti biasa, seberapa kuat Sean menyiksanya, wanita itu sama sekali tidak mengeluarkan suara rintihan dan kesakitan, dia menahan entah untuk apa, hal itu membuat Sean heran.
...***...
Malam harinya seperti biasa, Sean meminta Sonia untuk masuk ke ruang penyiksaannya, Sean sudah menunggu Sonia namun wanita itu tak kunjung datang. Sekitar 10 menit menunggu akhirnya Sonia dengan wajah pucat dan langkah gontai memasuki ruangan yang sudah dua minggu ini menjadi saksi kejamnya Sean.
"Kenapa kau lama sekali ke sini?" Suara Sean terdengar begitu dingin.
"Maafkan aku, aku baru selesai makan malam." Jawab Sonia, dengan langkah tegap Sean menghampiri istrinya itu lalu melayangkan tamparan di pipi Sonia hingga kepala dan rahangnya terasa sakit. Sean menjambak rambut Sonia dengan kuat hingga rambut itu tinggal dalam genggaman Sean.
"Aku tidak suka keterlambatanmu, kau mau tau apa hukuman mu malam ini?" Sonia hanya menggeleng dengan air mata yang sudah keluar dari sudut matanya karena kepala Sonia saat ini mendongak ke atas akibat jambakan tangan Sean di rambutnya.
"Kali ini aku tidak akan mencambukmu, tapi aku akan menamparmu sampai aku puas." Sonia terisak, hari ini seluruh tubuhnya sangat sakit, dia juga sedang demam tapi tidak terlalu panas.
Sean melepaskan jambakan di rambut Sonia lalu meminta Sonia duduk di kursi yang telah dia sediakan, dia mengikat tangan dan kaki Sonia.
Tanpa rasa kasihan sama sekali, Sean menampar kuat kedua pipi Sonia dengan tangannya hingga kepala Sonia terasa amat pusing, pipinya terasa sangat kebas sampai tamparan itu tak lagi terasa di pipinya, bibir Sonia berdarah karena robek, hidungnya juga mengeluarkan darah akibat kuatnya tamparan Sean.
"Aku rasa hukumanmu cukup sampai di sini, kau beruntung karena aku sedikit lelah dan butuh istirahat, kembali lah ke kamarmu." Sean melepaskan ikatan Sonia lalu keluar dari ruangan itu.
"Ayah, tubuh Sonia sakit yah, apa aku begitu lemah sehingga aku mengeluh seperti ini? Aku pikir jika sudah biasa disiksa maka akan baik-baik saja, tapi nyata nya semakin hari malah semakin sakit yang aku rasakan ayah hiks, Sonia sangat merindukan Sean yang dulu, Sonia butuh sandaran sekarang ayah." Desis Sonia dalam tangisnya karena merasa tidak kuat dengan perlakuan Sean.
Sonia tidak sanggup lagi untuk kembali ke kamarnya, dia tertidur di kursi tempat Sean menyiksanya tadi dengan kondisi wajah bengkak, bibir dan hidung berdarah serta kedua pipi memerah.
Sedangkan di dalam kamar, Sean menangis tanpa suara menatap telapak tangannya yang sudah memerah karena menampar Sonia tadi. Dia merasakan sakit teramat dalam ketika melihat istrinya terluka seperti itu, namun ego nya masih menuntut untuk terus membalaskan dendam pada Sonia.
"Kenapa kau tidak menjerit atau berteriak ketika aku menyiksamu Sonia? Kau membuat aku ikut merasakan sakit dari setiap tetes air matamu itu." Ujar Sean menatap foto Sonia yang terpajang besar di dalam kamarnya. Kamar Sean dipenuhi dengan foto Sonia, itulah alasan kenapa dia tidak mengizinkan Sonia memasuki kamar tersebut.
Sean membaringkan tubuhnya dan menetralkan hati hingga dia pun tertidur.
"Sean, tolong aku, tubuhku sakit Sean." Jerit Sonia pada Sean yang saat ini berdiri tak jauh darinya, alat-alat medis menempel di tubuh Sonia yang saat ini terbaring lemah.
"Sonia, kamu kenapa?"
"Apa aku akan tersiksa sampai mati? Apa tidak akan ada kebahagiaan dalam hidupku bersama denganmu? Aku mencintaimu Sean." Lirih Sonia sembari menahan rasa sakit di tubuhnya, lalu mata Sonia terpejam hingga monitor memperlihatkan garis lurus yang menandakan kalau Sonia meninggal dunia.
Sean terbangun dengan keringat yang membasahi wajahnya, dia mengusap wajah itu dengan gusar lalu menurunkan kaki dari tempat tidur.
"Cuma mimpi." Nafas Sean memburu, dia begitu takut kalau istrinya meninggal, Sean melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, Sean membawa langkahnya ke kamar Sonia tapi istrinya tidak ada di sana.
"Kemana dia?" Sean ingat kalau terakhir kali dia meninggalkan Sonia di ruang penyiksaan, dia kembali ke sana namun Sonia tetap tidak ada. Sean menjadi panik dan cemas, dia kembali ke kamar Sonia dan lega karena melihat Sonia sudah ada di dalam kamar.
Dia melihat kalau Sonia seperti habis mandi karena rambut Sonia basah.
"Ada apa Sean? Kok kamu kelihatan panik begitu?" Tanya Sonia.
"Abis dari mana kamu?"
"Aku ngak kemana-mana."
"Aku tadi ke sini tapi kamu nggak ada."
"Oh aku ketiduran di dalam bathub tadi dan ini baru ganti baju." Jawab Sonia lalu tersenyum, senyuman istrinya semakin membuat Sean terluka. Dia mendekati Sonia lalu meraba wajah sang istri yang terlihat bengkak dan merah akibat perbuatannya, mata Sonia juga terlihat sayu.
"Badan kamu panas sekali Sonia, kamu demam?" Tanya Sean.
"Iya sedikit, paling besok sembuh."
"Sedikit apanya, ini panasmu sangat tinggi, lebih baik kita ke rumah sakit."
"Jangan Sean, aku minta obat pereda nyeri saja, tubuhku sangat sakit."
"Tunggulah di sini, akan aku ambilkan, sudah jelas lagi demam, kenapa malah berendam tengah malam begini sih." Sonia tersenyum ketika melihat Sean mengkhawatirkan dirinya.
Sean datang membawakan obat pereda nyeri untuk Sonia dan juga obat oles untuk luka Sonia. Sean mengoleskan obat itu ke wajah istrinya lalu tak lama Sonia pun tertidur. Dia menatap wajah damai sang istri, wajah yang tidak pernah tersenyum ceria lagi semenjak menikah dengannya.
Timbul rasa iba dalam hati Sean, dia tidak tega melanjutkan dendamnya pada Sonia lagi. Sonia tidur sambil memeluk lengan kokoh Sean dan air matanya membasahi pangkal hidung mancung nya, Sean menghapus air mata itu dan mencium lembut pipi Sonia yang merah karena tamparannya.
"Kenapa kau masih ingin bertahan denganku Sonia? Apa yang kau inginkan sebenarnya? Kenapa kau sangat sulit untuk menjawab pertanyaanku mengenai Endro hm? Apa segitu cintanya kamu pada papa ku?" Sean terus bertanya sambil mengusap pipi Sonia.
Sonia mengeliat, dia tampak resah dan gelisah dalam tidurnya yang membuat Sean khawatir, panas di tubuh Sonia juga masih tinggi.
"Ayah, ayah." Kata itu yang keluar dari bibir Sonia.
"Sonia, bangun." Sean menepuk pelan pipi Sonia.
"Ayah, tubuh Sonia sakit yah, Sonia takut yah, ayah, tolongin Sonia, Sonia takut yah." Sean terpaku mendengar istrinya menggigau seperti itu, ternyata selama ini istrinya begitu ketakutan hingga terbawa tidur.
"Sonia bangun, bangunlah." Sonia membuka matanya lalu berusaha untuk duduk dibantu oleh Sean.
"Sean, kamu masih di sini? Kenapa belum tidur? Nanti kamu sakit." Sean tak tahan lagi, dia memeluk Sonia yang masih memberikan perhatian padanya.
"Besok kita ke rumah sakit ya, kita akan obati semua luka mu."
Deg
Sonia merasa perubahan dalam diri suaminya, hatinya menghangat ketika Sean berkata seperti itu.
"Aku nggak papa kok, kamu tidur aja, besok harus ke kantor kan."
"Bagaimana aku bisa tidur jika kamu sendiri tidak bisa tidur dengan nyenyak." Katanya masih dalam memeluk Sonia.
...***...
Vanno kembali diajak oleh Laura untuk makan pecel di warung Mbak Nem, dia sangat menyukai masakan di warung itu. Mereka duduk di tempat biasa dekat dengan kipas angin, saat sedang ngobrol biasa, fokus mereka teralihkan ketika seseorang menyapa Vanno.
"Vanno." Sapa perempuan yang sangat dia kenal suaranya.
"Sonia." Vanno berdiri menyambut Sonia, dia begitu antusias melihat wanita cantik itu, Laura merasa tidak nyaman dengan sikap Vanno yang langsung berdiri ketika melihat Sonia, dia tau kalau Vanno sangat mencintai Sonia, Laura menggandeng lengan Vanno menandakan kalau Vanno adalah miliknya. Sonia hanya tersenyum melihat hal itu.
"Apa kabar kamu? Semenjak kamu berhenti dari kantor dan menikah dengan Sean, aku tidak pernah mendengar kabarmu lagi Son."
"Alhamdulillah aku baik Van, kamu sendiri gimana?" Tanya Sonia balik.
"Aku baik juga, Sean mana? "
"Ada kok, dia lagi beli rokok, nanti juga kesini."
"Oh bahagia banget pastinya kamu menikah dengan orang yang sangat kamu cintai."
"Alhamdulillah Van."
"Oh iya kenalin ini Laura, pacarku." Vanno sudah resmi menjalin hubungan dengan Laura.
"Oh aku Sonia." Sonia mengulurkan tangannya namun dengan malas Laura menyambut uluran tangan Sonia. Vanno yang posisinya berhadapan dengan Sonia, menatap lekat wajah wanita yang pernah dia cintai itu, Sonia makin terlihat cantik tapi sedikit kurus dari biasanya dan wajahnya juga pucat.
"Kamu sakit ya Son?" Tanya Vanno.
"Enggak, kenapa memangnya?"
"Kok wajah kamu pucat dan kamu juga agak kurus sekarang."
"Oh ini ya masa sih? Mungkin karena aku lagi diet." Jawab Sonia asal.
"Aku duduk dulu ya Van, kamu lanjut aja sama Laura." Saat Sonia membalikkan tubuhnya, Sonia hampir menambrak pelayan yang akan mengantarkan pesanan Vanno, untung dengan sigap Vanno merangkul Sonia, baju Sonia sedikit terbuka dibagian pundaknya dan tanpa sengaja Vanno melihat bekas luka dan juga lebam di pundak dan punggung Sonia.
"Ah maaf mas." Ucap Sonia.
"Iya mbak nggak papa."
"Makasih Van, kalo nggak ada kamu mungkin makanannya udah jatuh."
"Iya sama-sama Son, kamu nggak papa kan?"
"Iya nggak papa." Sonia memilih bangku untuk tempatnya duduk, Sean sudah datang sambil membawa beberapa cemilan ringan untuk Sonia. "Kok lama?" Tanya Sonia.
"Iya, warungnya rame, jadi harus ngantri, kamu udah pesan?"
"Udah, percaya deh sama aku, ini adalah tempat makan pecel yang paling enak."
"Oh ya, yakin banget."
"Iya Sean, aku dulu sering banget makan di sini."
"Iya aku percaya kok."
Sudah seminggu mereka ada di Bandung dan sudah dua bulan mereka menikah, kehidupan Sonia juga sangat tenang karena Sean sangat sibuk dengan pekerjaannya. Walaupun Sean masih sering bersikap kasar padanya tapi tidak menyiksanya seperti saat di Jakarta.
Vanno masih kepikiran dengan luka yang ada di tubuh Sonia, luka itu tampak masih baru dan itu juga jelas bekas cambukan.
"Apa Sean melakukan KDRT pada Sonia?" Guman Vanno sambil menatap Sonia dan Sean.
Sorry aku langsung emo... geram perangai perempuan mcm nie.