Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05
Pov rafael.
"mas,aku ijin kerumah mama ya sudah lama aku tidak berkunjung kerumah mama."ucap istriku membuka suara setelah sarapan selesai,
"boleh sayang,tapi jangan pulang malam yah,usahakan sebelum mas pulang kamu sudah berada di rumah."ucap ku sambil mengelus lembut rambut nya,
"baik mas,kalau gitu aku pergi sekarang ya?"ucap nya dengan tersenyum manis,
"gak mau bareng sama mas?"jawab ku cepat,dia menggeleng cepat"tidak mas,aku akan pake mobil ku saja,sudah lama juga aku tidak memaikan nya,kalau gitu aku duluan ya mas,diana "ucap nya dengan mencium tangan ku dan memelukku sebentar,
Dia melenggang begitu anggun,sungguh seperti model istriku ini,aku sedang fokus menatap punggung istriku yang berjalan mulai menjauh,
tiba tiba suara cempreng memecah lamunan ku,
"begitu banget sih mas liat nya."
aku menoleh,dengan mengerutkan dahi ku,kenapa dia?dia mulai melewati batas?"apa maksud ku?dia istriku ya wajar saja diana!"jawab ku sedikit ketus,
Dia mendelik,"mas...lihat amara sudah mulai mengusirku,cepat belikan aku rumah yang mewah."rengek nya membuatku sangat mual
"tidak bisa sekarang,diana.kalau menyewa perumahan aku bisa,cepatlah pindah aku tidak ingin istriku mulai curiga."jawab ku dengan cepat.
"mas!kamu mengusirku?tidak ingatkah selama beberapa bulan ini kita sering melakukan nya,bahkan aku sampe rela menyusul kamu loh kesini.untuk bisa berduaan dengan mu.
Aku mendesah, mencoba menenangkan diri. Aku tidak bisa membela Diana, tidak setelah apa yang terjadi di meja makan tadi. Amara benarbenar sudah kehilangan kesabarannya. Sindirannya memang halus, tapi tajam, cukup untuk membuat Diana merasa terpojok.
“Diana, aku mengerti perasaanmu,” ujarku, mencoba terdengar tenang. “Tapi kau harus bersabar. Aku sedang mencoba mencari solusi terbaik untuk kita semua.”
“Solusi?!” serunya, matanya memerah. “Kau pikir aku bisa bersabar lebih lama lagi? Amara sudah jelas jelas ingin aku pergi! Kau tahu, Rafael, aku ada di sini untukmu, untuk memenuhi semua yang kau butuhkan, dan ini balasanmu?”
Aku memejamkan mata, mencoba meredam rasa frustrasi yang mulai mendidih. Aku tahu Diana tidak akan menyerah begitu saja. Tapi aku juga tahu aku tidak bisa membiarkannya menguasai situasi lebih jauh.
“Dengar, aku akan selesaikan ini,” kataku akhirnya, suara sedikit lebih tegas. “Tapi aku minta kau jangan membuat keadaan semakin buruk. Jangan memancing Amara lebih jauh. Jika kau ingin aku tetap membantumu, maka kau harus menurunkan nada bicaramu sekarang.”
Diana menatapku dengan mata yang berkaca kaca, tapi kali ini aku tidak goyah. Aku tidak bisa membiarkan dia memanfaatkan kelemahanku lebih jauh. Aku mencintai Amara, dan aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki kesalahan ini, meskipun itu berarti harus mengakhiri semua yang ada antara aku dan Diana.
Pov amara.
Aku duduk di sofa ruang tamu rumah orang tuaku, menggenggam secangkir teh yang mulai mendingin. Di depanku, kakakku, Liana, menatapku dengan ekspresi prihatin. Butuh waktu lama bagiku untuk mengumpulkan keberanian menceritakan semuanya, tapi aku tidak bisa lagi memendam ini sendirian.
“Kak, aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ucapku dengan suara bergetar. “Rafael... suamiku... dia selingkuh.”
Liana tersentak, tapi dia tidak menyela. Matanya tetap menatapku dengan lembut, memberiku ruang untuk melanjutkan.
“Yang lebih menyakitkan lagi,” lanjutku, suaraku kini penuh kemarahan, “perempuan itu adalah Diana. Sahabatku sendiri. Kak, dia tinggal di rumahku dengan alasan hanya ingin menginap beberapa waktu. Tapi di balik itu, dia dan Rafael…” aku terhenti, menahan rasa mual dan perih di dadaku.
“Mereka selingkuh?” potong kak Liana, suaranya mulai bergetar.
Aku mengangguk, air mataku jatuh tanpa bisa kutahan lagi. “Aku melihat mereka sendiri, Kak. Mereka melakukannya di rumahku, rumah kami! Seolah aku ini orang bodoh yang tidak tahu apa apa.”
Kak Liana mengepalkan tangannya, matanya memancarkan amarah yang sama dengan yang kurasakan. “Amara, kamu sudah terlalu baik. Diana berani beraninya mengambil keuntungan dari persahabatan kalian, dan Rafael… dia tidak tahu diri! Kamu harus melawan!”
Aku menatap kak Liana, berusaha menyembunyikan kegelisahanku. “Tapi bagaimana, Kak? Aku nggak mau mereka tahu kalau aku sudah tahu semuanya. Aku ingin mereka menyesal, Kak. Aku ingin mereka merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan.”
Kak Liana tersenyum tipis, tapi senyum nya itu dingin, . “Baik, kita akan buat mereka menyesal. Pertama, kamu tetap diam, pura pura tidak tahu. Jangan beri mereka alasan untuk curiga. Mereka harus merasa aman dulu.”
Aku mengangguk pelan, meski dadaku terasa sesak.
“Kedua, kita kumpulkan bukti. Segala sesuatu yang bisa mempermalukan Diana dan Rafael. Kalau mereka pikir mereka bisa sembunyi, kita buktikan bahwa mereka salah besar. Bukti ini akan menjadi senjatamu nanti.”
Aku menggigit bibirku, mencoba menahan amarah yang kembali membakar. “Dan setelah itu?”
Kak Liana menatapku tajam. “Setelah itu, kita buat rencana untuk menghancurkan mereka. Entah itu di depan keluarga, teman teman, atau dunia. Diana akan tahu bahwa menghancurkan persahabatanmu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dan Rafael akan paham apa artinya kehilangan perempuan sebaik kamu.”
Aku mengangguk lagi, kali ini dengan rasa percaya diri yang mulai tumbuh. “Baik, Kak. Aku akan lakukan apa pun untuk membalas mereka. Mereka harus tahu aku bukan perempuan lemah yang bisa dipermainkan.”
Kak Liana meremas tanganku, senyumnya dingin namun penuh dukungan. “Kamu tidak sendirian, Mara. Kita akan buat mereka menyesal seumur hidup.”
Aku menarik napas panjang. Jika Diana dan Rafael berpikir mereka bisa menghancurkanku, mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.
Aku baru saja menyeka air mata di wajahku ketika suara langkah kaki terdengar dari pintu utama. Aku dan Liana menoleh hampir bersamaan. Tak lama, Mama dan Papa masuk dengan senyum hangat khas mereka, seperti biasa ketika baru pulang dari perjalanan bisnis.
“Amara? Kamu di sini, Sayang?” Mama menghampiriku, mencium pipiku dengan lembut. “Kamu baik baik saja, kan? Kenapa tibat iba pulang?”
Aku memaksakan senyum, berusaha menyembunyikan kegundahan di hatiku. “Aku cuma kangen rumah, Ma,” jawabku pelan.
Namun, kak Liana melirikku dengan tatapan penuh arti. Dia tahu aku berbohong. Untungnya, dia tidak mengatakan apa apa untuk saat ini.
Papa menatapku dengan sorot penuh perhatian. “Kamu kelihatan lelah, Nak. Apa Rafael tidak memperlakukanmu dengan baik?”
Pertanyaan itu seperti pisau yang menembus dadaku. Aku ingin bicara, ingin mengatakan semuanya, tapi aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Lagipula, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menangani ini dengan caraku.
“Rafael baik, Pa,” jawabku sambil memalingkan pandangan. “Aku hanya ingin menghabiskan waktu di sini sebentar.”
Mama mengangguk, meski wajahnya tetap menyiratkan kekhawatiran. “Baiklah. Kalau begitu, tinggal saja di sini selama yang kamu mau. Kamu tahu kami selalu ada untukmu.”
Aku mengangguk, berusaha menahan air mata. Aku tahu mereka mencintaiku, tapi aku tidak ingin mereka tahu betapa hancurnya aku sekarang.
Setelah beberapa saat, Papa memulai percakapan ringan dengan Liana, membicarakan perkembangan salah satu perusahaan mereka di luar negeri. Aku hanya duduk di sana, mendengarkan dengan setengah hati.
Tiba tiba, pikiranku melayang ke Rafael. Jika dia tahu siapa sebenarnya keluargaku, apa dia masih akan berani melakukan ini padaku? Aku ingat bagaimana aku memohon pada Oma untuk merahasiakan semuanya dari Rafael. Aku ingin pernikahanku tidak dibayangi oleh status atau kekayaan keluargaku.
Ironisnya, kini aku menyadari betapa bodohnya keputusanku itu. Rafael bekerja di salah satu perusahaan Oma tanpa tahu bahwa tempat dia bergantung sepenuhnya adalah milik keluargaku.
Aku menatap kak Liana yang sedang bercanda dengan Papa, dan sebuah ide mulai terbentuk di benakku. Jika Rafael berpikir dia bisa mengkhianatiku tanpa konsekuensi, maka dia salah besar.
Aku akan memanfaatkan semua yang kupunya, semua yang selama ini kusimpan rapat rapat. Rafael dan Diana akan tahu betapa salahnya mereka telah meremehkanku.
Kali ini, aku tidak akan mundur.