Ji An Yi adalah seorang gadis biasa yang mendapati dirinya terjebak di dalam dunia kolosal sebagai seorang selir Raja Xiang Rong. Dunia yang penuh dengan intrik, kekuasaan, dan cinta ini memaksanya untuk menjalani misi tak terduga: mendapatkan Jantung Teratai, sebuah benda mistis yang dapat menyembuhkan penyakit mematikan sekaligus membuka jalan baginya kembali ke dunia nyata.
Namun, segalanya menjadi lebih rumit ketika Raja Xiang Rong-pria dingin yang membencinya-dan Xiang Wei, sang Putra Mahkota yang hangat dan penuh perhatian, mulai terlibat dalam perjalanan hidupnya. Di tengah strategi politik, pemberontakan di perbatasan, dan misteri kerajaan, Ji An terjebak di antara dua hati yang berseteru.
Akankah Ji An mampu mendapatkan Jantung Teratai tanpa terjebak lebih dalam dalam dunia penuh drama ini? Ataukah ia justru akan menemukan sesuatu yang lebih besar dari misi awalnya-cinta sejati yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Di Paviliun Utara
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah Xiang Wei pergi, Ji An duduk di kamarnya dengan kotak obat herbal yang diberikan oleh sang putra mahkota. Ia tahu kebaikan Xiang Wei tulus, tetapi setiap kali pria itu menunjukkan perhatian, situasinya di istana semakin rumit.
“Lin Li, menurutmu apa yang harus aku lakukan?” tanya Ji An sambil memandangi ramuan itu.
“Selir Ji An Yi, Anda harus berhati-hati. Jika Permaisuri tahu Putra Mahkota sering membantu Anda, ia mungkin akan bertindak lebih keras,” jawab Lin Li sambil menyiapkan air panas untuk ramuan itu.
Ji An mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi aku tidak ingin melibatkan Xiang Wei dalam masalahku. Dia hanya berusaha baik.”
Lin Li menatap Ji An penuh simpati. “Namun, di istana ini, kebaikan bisa menjadi senjata untuk menjatuhkan orang lain.”
---
Suatu hari,Ji An merasa tubuhnya terlalu lemah untuk terus beraktivitas. Sakit di dadanya semakin menjadi, membuatnya hampir tak mampu berdiri.
Namun Ji An tidak peduli dengan hal itu ,ia berusaha untuk mencari cara aga bisa menarik perhatian Raja Xiang Rong .
Saat Ji An berusaha untuk melangkahkan kakinya Ji An terjatuh begitu saja dilantai ,rasa sakit didadanya benar benar menyiksa.
Lin Li, yang khawatir, memaksanya untuk tetap di kamar sepanjang hari.
"Tidak, aku harus menemui Yang Mulia," protes Ji An dengan suara lemah.
"Tidak, Nona," kata Lin Li tegas. "Jika Nona terus memaksakan diri, tubuh Nona bisa hancur. Hamba tidak akan membiarkan itu terjadi."
Akhirnya, Ji An menyerah. Ia beristirahat di kamarnya, berharap Raja tidak menyadari ketidakhadirannya.
___
Namun, Raja Xiang Rong segera merasakan perubahan. Pagi itu, saat berlatih pedang, ia mendapati taman bambu kosong dari kehadiran Ji An yang biasanya berdiri menunggunya selesai dengan handuk serta seteko air minum.
Di ruang kerjanya, dokumen-dokumen tidak tersusun rapi seperti biasanya.
Kadang Ji An datang membawa sarapan untuknya ,aroma masakan sederhana yang khas menusuk indra penciuman membuatnya ingin segera mencicipi masakan itu .
Kini, yang ada hanyalah kesunyian dan makanan dingin yang ditinggalkan pelayan Permaisuri Yang Xi.
Bahkan saat sore hari, tidak ada yang menyajikan teh favoritnya lagi.
Xiang Rong mendesah, berusaha mengabaikan perasaan aneh itu. Namun, pikirannya terus beralih ke Ji An. “Kenapa aku memikirkan dia?” gumamnya sambil meraih dokumen di meja.
Saat itu, pintu ruang kerja terbuka, dan Permaisuri Yang Xi masuk dengan anggun, membawa sebuah baki kecil berisi makanan ringan.
“Suamiku, aku melihat kau belum menyentuh sarapanmu. Aku membawakan camilan untukmu,” katanya dengan senyum lembut, berusaha menarik perhatian Xiang Rong.
Xiang Rong hanya mengangguk tanpa ekspresi, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, Yang Xi tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya.
“Apakah ada sesuatu yang mengganggumu, Suamiku?” tanya Yang Xi, mencoba terdengar peduli.
Xiang Rong mendongak sejenak, menatap istrinya. “Tidak ada. Aku hanya sibuk,” jawabnya singkat.
Namun, Yang Xi tidak menyerah. “Jika ada sesuatu yang perlu aku bantu, kau hanya perlu bilang, Suamiku. Aku ingin memastikan kau nyaman.”
Xiang Rong menatapnya dengan tatapan datar. “Kalau begitu, biarkan aku bekerja dengan tenang.”
Permaisuri Yang Xi terdiam, tetapi hatinya penuh amarah. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya jujur. Ada sesuatu yang mengganggunya, dan itu mungkin berkaitan dengan Ji An.
Sungguh perubahan sekecil itu membuat Yang Xi merasakan bahwa cinta Xiang Rong semakin berkurang padanya.
Sementara itu, Ji An berjalan di taman istana untuk mencari udara segar. Ia merasa lebih baik setelah meminum ramuan herbal dari Xiang Wei. Namun, pikirannya tetap penuh dengan kekhawatiran.
Saat ia berjalan, tanpa sengaja ia bertemu dengan Xiang Rong yang sedang melintasi taman menuju aula pertemuan. Ji An terkejut, dan tubuhnya refleks membungkuk memberi hormat.
“Yang Mulia,” sapa Ji An pelan, suaranya sedikit gemetar.
Xiang Rong berhenti sejenak, menatap Ji An dengan tatapan yang sulit ditebak. Ia ingin berbicara, tetapi ragu. Akhirnya, ia hanya berkata singkat, “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Hamba hanya ingin mencari udara segar, Yang Mulia,” jawab Ji An sambil menunduk.
Xiang Rong mengangguk pelan. Namun, sebelum ia melangkah pergi, ia menoleh lagi. “Jika kau sakit, mengapa tidak meminta izin untuk beristirahat? Jangan memaksakan dirimu.”
Ji An terkejut mendengar nada perhatian dalam ucapan itu. “Hamba baik-baik saja, Yang Mulia. Terima kasih atas perhatian Anda.”
Xiang Rong tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya, meninggalkan Ji An yang masih berdiri terpaku di tempatnya.
---
Dari kejauhan, Permaisuri Yang Xi melihat interaksi singkat itu. Wajahnya memucat, dan matanya memancarkan kemarahan.
“Jadi Xiang Rong mulai peduli padanya?” gumamnya dengan nada dingin.
Ia memutar otak, mencoba mencari cara untuk menjauhkan Ji An dari suaminya, sekaligus dari Xiang Wei. Ia tahu, Ji An harus disingkirkan sebelum posisinya sebagai Permaisuri terguncang.
“Pelayan!” panggil Yang Xi dengan nada tegas.
Seorang pelayan segera mendekat. “Ya, Yang Mulia?”