Nikah dadakan karna di jodohkan ❌ Nikah dadakan gara gara prank ✅ Nikah dadakan karna di jodohkan mungkin bagi sebagian orang memang sudah biasa, tapi pernah gak sih kalian mendadak nikah gara gara prank yang kalian perbuat ? Emang prank macam apa sampe harus nikah segala ? Gw farel dan ini kisah gw, gara gara prank yang gw bikin gw harus bertanggung jawab dan nikahin si korban saat itu juga, penasaran gimana ceritanya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shusan SYD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Hari ini aku memutuskan untuk bolos kuliah di karnakan keadaanku yang sangat berantakan, setelah alesha berangkat, aku memilih untuk kembali tertidur.
Sebelumnya aku tak tahu alesha juga ngekost karna waktu itu aku pernah menjemput ke rumahnya.
Umumnya jam pulang kuliah, aku juga pulang ke rumah ibuku.
"Farel, tumben pulang ke sini ?" tanya ibuku.
"Iya mah, bau bawa baju. Bajuku udah abis." jawabku pada ibu.
Setelah selesai memasukan beberapa baju ke dalam tas, aku pun berpamitan. Ibu pasti mengira aku akan pulang ke rumah Salsa, seperti biasanya. Tapi kali ini, dugaannya salah. Aku tak akan kembali ke rumah Salsa. Aku sudah bulat untuk pulang ke kosan Alesha dan tinggal di sana sampai batas waktu yang tak bisa di tentukan.
Mulai sekarang, aku tak mau peduli lagi dengan apa pun. Mau dibilang kumpul kebo, dihujat, atau dicemooh. Persetan dengan semua itu. Hatiku masih terasa sakit, sisa luka semalam yang terus membakar. Jujur saja, setiap kali mengingat kejadian itu, emosiku kembali memuncak. Aku merasa tak ada yang salah jika memutuskan untuk tinggal bersama Alesha.
Salsa ? No nya bahkan sudah aku blokir. Tapi entah kenapa, itu belum cukup untuk memadamkan api dendam dalam hatiku. Rasanya sakit sekali bila mengingat Salsa begitu dekat dengan Fasya, sementara aku dan Alesha... Kami sudah sejauh ini, bahkan tidur bersama hanya dalam waktu semalam.
Mungkin aku salah, atau aku benar, tapi saat ini aku hanya ingin berhenti peduli. Biarlah semuanya berjalan seperti ini saja.
Kosan Alesha bukan sembarang tempat. Bisa dibilang, itu termasuk kosan mewah dengan fasilitas lengkap yang sulit ditemukan di tempat lain. Untungnya, Alesha selalu baik padaku.
Aku mungkin tak sadar, selama ini hanya alesha yang peduli padaku padahal kita bukan siapa siapa, tidak seperti orang tuaku yang selalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, mereka lebih memikirkan hubungan dengan besan ketimbang aku yang anaknya.
Saat langkahku mendekati gerbang kosan, rasanya seperti sebuah pelarian sekaligus awal baru. Alesha adalah satu-satunya rumah yang kupunya sekarang.
Alesha ternyata sudah pulang dan dia sudah berada di dalam kamar saat ini.
"Abis darimana kamu, farel ?" tanya alesha.
"Aku abis ngambil baju." jawabku.
"Jadi, kamu mau tinggal sama aku di sini ?" tanya alesha dengan raut wajah bahagia.
"Iya. Sory ya sha, aku tahu ini salah tapi aku gak bisa kalo harus pulang ke rumahku."
"Aku ngerti farel, semua emang berat banget buat kamu ya ? Semoga dengan hadirnya aku, kamu sejenak bisa melupakan permasalahanmu di rumah." ucap alesha. Aku mengangguk pasti.
"Aku janji gak bakal apa apain kamu kayak semalam kok." ucapku berjanji. Alesha hanya tersenyum.
Akhirnya, mulai hari ini kita tinggal bersama. Alias living together.
Tiba tiba, alesha menatapku dengan sorot mata yang lembut namun penuh ketegasan.
Tangannya menggenggam jemariku erat, seakan ingin meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Kamu tenang aja, selama kamu tinggal di sini aku yang akan tanggung semuanya. Kamu nggak perlu mikirin apa-apa lagi. Fokus aja sama dirimu sendiri." ucap alesha.
"Aku jadi gak enak sha."
"Gak usah mikir gak enak," ucap alesha, dia begitu tulus padaku.
Sayang sekali cintaku telah ku berikan pada orang yang salah, sementara aku pada alesha tak memiliki perasaan apa apa.
3 hari berlalu setelah kejadian itu, luka dalam diriku perlahan mulai bisa teralihkan. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan yang muncul setelah aku berada di dekat Alesha, perasaan yang lebih tenang dan damai, jauh dari kebingungan dan rasa sakit yang selama ini menggangguku.
Ada sesuatu yang menyembuhkan dalam setiap detik yang ku habiskan bersamanya, meskipun aku tahu, ini bukanlah jalan yang benar.
Ketika aku berpapasan dengan Salsa di kampus, aku memilih untuk tidak menegurnya. Aku hanya diam, menundukkan kepala, dan segera melangkah masuk ke dalam ruangan kelas tanpa meliriknya.
Dia juga tampak tak peduli padaku padahal aku sudah 3 hari tak pulang ke rumahnya, mungkin dia mengira aku tinggal di rumah orang tuaku saat ini, padahal bukan.
Kini tidak akan ada lagi ruang untuk perasaan yang dulu ada di antara kami. Aku merasa kosong, bahkan ada sedikit penyesalan yang muncul, tapi lebih pada kesadaran bahwa hubungan ini tak lagi membawa kebahagiaan untukku.
Aku masih sah menjadi suami Salsa, namun aku merasa semakin jauh darinya. Sikapnya yang semakin kurang etis dan tak menghargai perasaanku, membuatku berpikir ulang tentang semua yang sudah terjadi selama ini.
Dulu, aku begitu yakin bahwa Salsa adalah sosok yang baik. Tapi setelah menikah, semuanya berubah. Aku menyadari bahwa aku terlalu memaksakan dan lebih banyak berjuang sendirian. Dan yang ku terima sekarang adalah kekecewaan.
Sekarang, aku lebih memilih untuk fokus pada Alesha. Setidaknya, di sampingnya, aku merasa dihargai, aku merasa ada ruang untuk diriku yang selama ini terabaikan.
Meski status kami masih belum jelas, meski ada perasaan yang berat dengan ikatan yang belum sepenuhnya putus, aku berusaha untuk memberi ruang bagi diriku sendiri. Aku ingin memperbaiki apa yang rusak, dan kali ini, aku akan melakukannya dengan hati yang lebih terbuka.
Namun, rasa sesal itu tetap ada. Terasa seperti sebuah pelajaran pahit yang harus ku hadapi. Apa yang dulu kurasakan sebagai cinta, kini tampak begitu jauh dari kenyataan yang ada.
Selama 3 hari ini pun aku dan alesha selalu pulang dan berangkat bersama, aku juga sudah meminta maaf pada kak nanda. Dia memaafkan ku dan aku masih di terima di tempatnya bila aku masih mau bekerja.
Mungkin aku akan bekerja kembali, namun tidak saat ini. Tapi nanti.
Sepulangnya kuliah, aku bebersih. Teringat masih ada tugas dan mungkin alesha pun sama.
Niatnya kita akan mengerjakan tugas itu sama sama nanti malam.
Malam pun tiba, kami duduk berdua di lantai kamar kosan Alesha dengan dikelilingi tumpukan buku dan laptop yang masih menyala.
Tugas kuliah ini sebenarnya tak sulit, tapi pikiranku terus melayang ke arah yang tak semestinya. Setiap kali aku mencuri pandang ke wajah Alesha, ada sesuatu yang berbeda. Matanya, senyumnya, caranya berbicara semua itu benar benar membuat hatiku berdebar.
Namun bukan hanya itu. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kelam, yang tumbuh tanpa kusadari. Sebuah keinginan yang selama ini tak bisa ku salurkan, bahkan pada istriku sendiri.
"Sha," panggilku dengan suara pelan.
Dia menoleh, tatapannya lembut seperti biasa.
"Kenapa, farel ? Tugasmu udah kelar ?" tanya alesha.
Aku menggeleng seraya menelan ludah.
"Bukan soal itu sha. Aku... Aku cuma mau ngomong kalo.." kata kataku terhenti, mencari keberanian untuk melanjutkan.
"Kalo aku sebenernya ngerasa nyaman banget sama kamu." ucapku.
Alesha tersenyum kecil, tapi ada semburat kemerahan di pipinya.
"Aku juga, farel. Kamu nggak tahu kan betapa senangnya aku bisa di temenin kamu tiap hari di sini."
Tatapan kami bertemu, dan saat itu, duniaku seolah terhenti. Tiba-tiba aku berkata, hampir tanpa berpikir,
"Aku tahu ini salah, Sha. Tapi... Aku pengen..."
Alesha tak langsung menjawab. Dia terdiam, seolah mempertimbangkan kata-kataku. Tapi yang mengejutkan, dia tak menolak.
"Farel," ucapnya pelan, suaranya bergetar.
"Aku tau apa yang kamu rasain, karena aku juga ngerasain hal yang sama."
Kata-katanya membuatku terpaku. Aku tak menyangka dia akan mengatakan itu.
"Sha... Aku nggak mau maksa, tapi kalau kamu juga mau, apa salahnya kalo kita ulangi ?"
Alesha tersenyum, tapi kali ini berbeda. Ada kehangatan di sana, sebuah penerimaan yang tulus.
"Farel, kalo ini emang yang kita berdua mau... Aku nggak akan nolak."
Malam itu, aku menemukan sesuatu yang tak pernah kudapatkan sebelumnya.
Bersama alesha , semuanya terasa berbeda. Tak ada tekanan, tak ada rasa dihakimi. Aku merasa dihargai sebagai laki-laki, sebagai seorang manusia. Dia memperlakukanku dengan penuh kasih sayang layaknya suami istri, sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya dengan Salsa.
Namun, di balik kehangatan itu, ada sebuah pertanyaan yang berputar di kepalaku. Apakah ini benar ? Ataukah aku hanya melarikan diri dari luka yang diberikan oleh Salsa ?
Malam ini, suasana kamar Alesha jadi terasa berbeda. Membuat kedekatan kami yang semakin menguat seolah menciptakan dunia baru yang hanya ada aku dan alesha.
Aku bisa merasakan ketegangan yang perlahan berubah menjadi kenyamanan.
Alesha duduk di sampingku, tangannya bersentuhan dengan tanganku, dan tiba-tiba ada rasa hangat yang mengalir dari dalam diri kami. Semua kata-kata yang biasanya menghalangi, seakan menghilang, digantikan oleh kedekatan yang lebih dalam, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Alesha," bisikku, suaraku hampir tidak terdengar.
"Kamu... yakin ?"
Dia menatapku dengan lembut, matanya penuh pengertian.
"Yakin."
Dengan hati-hati, aku mulai mendekatkan wajahku padanya. Sentuhan pertama itu terasa hangat dan lembut. Kami saling berbagi napas, perlahan-lahan, seiring dengan detak jantung yang makin cepat.
Aku mulai menciumnya, alesha tak melawan malah mengimbangi. Mata kita sama sama terpejam dengan tanganku yang mengcengkram punuk nya. Membuat aku bisa mengatur alesha sesukaku.
Tangan alesha turun, sementara sebelah tanganku naik kepegunungan. Perlahan alesha memasukan tangannya ke dalam celanaku membuat aku sedikit terlonjak, sentuhan itu membuatku kegelian tapi aku menikmati.
Sekarang aku bisa merasakan semua, berbeda dengan yang terjadi waktu itu kita yang sama sama dalam keadaan tak sadar.
Setelah beberapa lama kita pun langsung mencoblos saat itu juga, di tengah tengah buku dan kertas tugas yang masih berantakan kita sama sama melampiaskan nafsu.
Aku harap Alesha ataupun aku tak akan menyesali ini di kemudian hari.