Aleena Salmaira Prasetyo adalah anak sulung dari keluarga Prasetyo. Dia harus selalu mengalah pada adiknya yang bernama Diana Alaika Prasetyo. Semua yang dimiliki Aleena harus dia relakan untuk sang adik, bahkan kekasih yang hendak menikah dengannya pun harus dia relakan untuk sang adik. "Aleena, bukankah kamu menyayangi Mama? Jika memang kamu sayang pada Mama dan adikmu, maka biarkan Diana menikah dengan Angga". "Biarkan saja mereka menikah. Sebagai gantinya, aku akan menikahimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Runtuhnya Kepercayaan
"Mah, apa Mama tahu kalau papa mengatur pertemuan Aleena dan putra keluarga Handoko itu besok malam?".
Diana bertanya pada sang ibu yang sedang bersantai.
"Secepat itu? Apa papa yang mengatakannya sendiri padamu?", tanya sang ibu pada Diana.
"Aku mendengar sendiri percakapan papa dan Aleena barusan".
Diana menjelaskan pada sang ibu dengan sikap yang tenang dan nada bicara yang manja.
"Aleena sudah pulang?", tanya sang ibu memastikan.
"Ya, dia baru pulang dan papa langsung memarahinya. Ide Mama memang brilian. Aku jadi tidak perlu bertunangan dengan orang yang tidak aku kenal dan yang lebih penting lagi, aku bisa bertunangan dengan kak Angga".
Diana bercerita dengan sangat ceria.
Melihat Diana bercerita dengan ceria membuat bu Dona bahagia. Dia terus tersenyum sambil mendengarkan cerita Diana.
"Mama senang jika kamu bahagia. Mama akan melakukan apapun agar kamu bisa tersenyum ceria seperti sekarang, dan kita akan segera melakukan pertemuan dengan keluarga Angga, agar pertunangan kalian bisa dilakukan secepatnya"
"Terima kasih, Mah. Mama memang Mama terbaik didunia".
Diana langsung memeluk sang ibu dengan manja. Kasih sayang yang dia dapatkan berbanding terbalik dengan kasih sayang yang Aleena dapatkan.
...****************...
Keesokan harinya Aleena terbangun dari tidurnya setelah malam tadi tertidur tanpa mengobati lukanya ataupun berganti pakaian terlebih dahulu. Dia duduk menatap jedela dengan kaki ditekuk.
Tok tok tok
"Siapa?"
Aleen bertanya terlebih dahulu sebelum membukakan pintu.
"Ini Bibi, Non". Sahut pembantu rumah tangga mereka.
"Masuk saja Bi".
Aleena mempersilahkan pembantunya langsung masuk karena dia masih belum bisa menggerakkan kakinya dengan leluasa.
Pembantunya pun masuk dengan membawa nampan berisi air hangat, kotak p3k dan juga sarapan untuk Aleena.
"Biar Bibi obati lukanya, Non".
Suara pembantu itu terdengar bergetar karena sedih melihat Aleena.
"Aku tidak papa Bi. Bibi tidak perlu menunjukkan wajah sedih seperti itu".
Aleena tersenyum dengan manis meskipun terlihat ada sedikit luka di ujung bibirnya. Dia berusaha menghibur pembantu rumahnya yang telah mengasuhnya sejak ia masih kecil.
"Bibi tahu Non. Biar bibi lihat lukanya, ya?", tanya sang bibi lagi dengan senyum ketir dan mata berkaca-kaca
Aleena pun kembali tengkurap dan membiarkan bibi pembantu melihat lukanya.
"Bibi bersihkan dulu ya".
Pembantu itu membersihkan betis Aleena yang terluka. Air matanya tak terbendung lagi melihat banyaknya bekas luka lain disana.
"Kenapa Bibi jadi menangis? Aku tidak papa", tanya Aleena dengan senyum tipisnya
"Maafkan Bibi, Non. Bibi tidak pernah bisa melindungi Non Aleen dari tuan dan nyonya", ujarnya disertai isak tangis.
"Kenapa Bibi bicara seperti itu? Sejak kecil Bibi selalu ada untukku. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak ada Bibi disampingku. Apalagi setelah kematian kakek... ".
Aleena tidak melanjutkan kembali ucapannya karena pembantunya itu tahu betul apa yang dirasakan Aleena.
"Bibi harap Non bisa keluar dari rumah ini dan hidup bahagia nantinya", ujarnya sambil membersihkan kaki Aleena dengan hati-hati.
"Aku harap juga begitu Bi, tapi apa itu akan terjadi?"
"Pasti Non. Setelah Non menikah dengan den Angga, Non Aleen tidak perlu lagi menerima perlakuan kasar dari tuan".
Pembantu Aleen terlihat yakin dengan ucapannya.
"Aku tidak akan menikah dengan Angga Bi. Kami sudah putus".
Raut wajah Aleen terlihat sedih saat dia bicara.
"Putus? Kenapa Non? Nona kan sudah lama pacaran dengan den Angga. Sepertinya den Angga juga sangat mencintai Nona"
"Sudahlah Bi. Tidak perlu membahas lagi hubunganku dengan Angga. Sekarang papa sudah mengatur perjodohanku dengan putra keluarga Handoko, apa Bibi tahu seperti apa orangnya?"
Aleena menanggapi dengan sikap tenang sebelum dia mengalihkan pembicaraan.
"Keluarga Handoko? Bukannya itu perjodohan untuk non Diana?", tanya pembantu itu dengan raut wajah bingung.
"Dari mana Bibi tahu itu?"
Aleena balik bertanya pada pembantunya.
"Bibi tidak sengaja mendengarnya 3 hari yang lalu", ujar pembantu itu menjelaskan.
"Sebelumnya memang begitu, tapi karena aku batal bertunangan dengan Angga, jadi papa mengatur perjodohan itu untukku. Tunggu. Bibi mendengarnya 3 hari yang lalu?".
Aleena langsung duduk setelah menyadari ucapan pembantunya.
"Benar, Non. Saat itu yang Bibi dengar perjodohan ini sudah direncanakan sejak lama. Karena non Aleen akan bertunangan dengan den Angga, jadi non Diana yang akan melaksanakan perjodohan ini. Ada apa non?"
Aleena mendengarkan sambil memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan pesta Angga.
"Jadi mereka membicarakan masalah perjodohan itu sebelum pesta Angga. Apa jangan-jangan, semua yang terjadi di pesta itu… tidak-tidak. Tidak mungkin kalau mereka yang menjebakku. Mereka tidak mungkin mempermalukan nama baik keluarganya sendiri".
Aleena berusaha menghilangkan pemikirannya tentang kemungkinan kalau keluarganya sendiri yang telah menjebaknya saat dipesta.
...****************...
Sore harinya.
Aleena sedang bersiap untuk pergi kencan buta dengan putra dari keluarga Handoko. Dia memakai rok panjang agar tidak mengenai luka dikakinya.
"Kakak cantik sekali. Putra dari keluarga Handoko pasti akan terpesona dan langsung setuju dengan perjodohan ini".
Diana tersenyum ceria saat menghampiri sang kakak yang sedang bersiap dikamarnya.
"Kenapa Kakak diam saja? Kakak marah padaku, ya? Maafkan aku. Aku sama sekali tidak berniat merebut kak Angga. Hanya saja Kakak menghilang dari pesta begitu saja, dan saat itu juga pengumuman pertunangan keluarga kita harus segera dilakukan. Semua orang sudah tahu kalau keluarga kita akan menjalin hubungan dengan keluarga kak Angga. Untuk menjaga nama baik keluarga, akhirnya aku diminta menggantikan Kakak bertunangan dengan kak Angga".
Diana bicara dengan manja dan sikap yang polos. Dia terlihat seperti korban yang dipaksa menggantikan sang kakak demi kebaikan semuanya.
"Apa ini adik yang selama ini aku sayangi? Aku selalu bersedia melakukan apapun untuknya dan merelakan apapun untuknya. Tapi kali ini aku merasa kalau Diana seperti memakai topeng saat didepanku. Entah kenapa hatiku merasa ragu dengan apa yang dia katakan"
Aleena terus menatap Diana dengan tatapan dingin dan curiga.
"Entahlah. Aku tidak tahu apa yang kamu katakan itu benar atau tidak. Tapi Diana, apa kamu sama sekali tidak merasa buruk jika kamu harus menjadi pengganti Kakakmu? Atau lebih tepatnya selalu mengambil apa yang Kakakmu miliki?".
Aleena bicara dengan sikap yang dingin pada Diana.
"Apa maksud Kakak? Kenapa Kakak berkata seperti itu? Kakak tahu betul kalau aku bukan orang seperti itu. Aku selalu ingin melihat Kakak bahagia bersama orang yang Kakak cintai. Bagaimana bisa Kakak memiliki pikiran buruk tentangku? hiks… hiks… hiks…
Diana menanggapi ucapan Aleen dengan derai air mata palsu yang menunjukkan kalau dia sama sekali tidak bersalah.
"Aku tidak peduli. Lagipula karena kamu bisa mengambil Angga dengan mudah. Itu artinya dia bukan pria yang cocok untuk jadi teman seumur hidupku. Aku tidak butuh pria seperti itu. Kamu bisa menikmatinya sesukamu".
Aleen langsung pergi dari hadapan Diana tanpa menunggu tanggapan darinya.
"Sial! Apa maksudnya itu?! Sejak kapan dia berani menentangku? Lihat saja, akan kupastikan kamu masuk ke lubang neraka. Dasar anak pungut!"
Diana menggerutu kesal karena Aleen berani menunjukkan sikap yang tidak seperti biasanya.