Kimberly atau dipanggil Lily usia 21 tahun gadis tangguh yang memiliki bela diri tingkat tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata. Mempunyai Alter Ego bernama Emily, orang yang dingin, terkejam tanpa ampun terhadap musuhnya, tidak mempunyai hati. Emily akan muncul apabila Lily dalam keadaan sangat bahaya. Namun konyolnya, Lily mati karena bola susu yang tersangkut di tenggorokannya ketika sedang tertawa terbahak-bahak karena melihat reality show Korea favorit nya.
Lily terbangun di tubuh Kimberly Queeni Carta, pewaris tunggal keluarga Carta, konglomerat no 02 di Negara nya. Mempunyai tunangan bernama Max yang tidak menyukainya dan terang-terangan menjalani hubungan dengan Lolita.
Kimberly sekarang bukanlah Kim si gadis lemah dan penakut seperti dulu. Kimberly menjadi sosok yang menakutkan dan membalikkan penghinaan.
Kimberly bertemu dengan Davian Isandor Dhars, tunangan masa kecilnya yang dingin dan diam-diam selalu melindunginya.
Akankah Lily akan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Buang Waktuku
Pagi yang cerah menyinari Mansion Carta, rumah megah yang berdiri kokoh dengan gaya arsitektur klasik modern. Kamar Lily, yang dihiasi tirai satin putih dan perabotan elegan, perlahan dipenuhi sinar matahari pagi yang menembus jendela besar.
Lily menggeliat di tempat tidur king size-nya yang empuk, lalu membuka mata perlahan. Sesaat ia terdiam, memandangi langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu kristal mewah.
"Hari baru, rencana baru," gumamnya sambil tersenyum kecil, mengingat misinya untuk memperbaiki hubungan di sekolah sekaligus mengungkap kebusukan Max dan Lolita.
Ketukan lembut di pintu membuyarkan pikirannya. “Nona Lily, waktu bangun pagi Anda,” suara salah satu pelayan terdengar sopan.
“Iya, masuk saja,” jawab Lily.
Seorang maid masuk membawa nampan sarapan. Di atasnya, segelas jus jeruk segar dan roti panggang dengan selai stroberi terhidang.
“Apa Anda membutuhkan bantuan untuk bersiap-siap ke sekolah?” tanya maid itu sambil menata sarapan di meja.
Lily mengangguk. “Tolong siapkan seragamku.”
Setelah sarapan, Lily mandi dan mengenakan seragam yang telah disiapkan. Kali ini, seragamnya tidak lagi ketat dan mencolok seperti sebelumnya.
Ia memilih tampilan sederhana tapi tetap elegan, dengan sedikit makeup natural yang mempertegas kecantikannya. Rambut panjangnya digerai, hanya dihiasi poni side bag. Lily menatap cermin besar di kamarnya dan tersenyum puas.
“Kimberly lama mungkin lemah, tapi Kimberly yang sekarang? Dia berbeda,” gumamnya sambil mengambil tas ranselnya.
Di meja makan, Nathan Alaric Carta dan Selena Melody Carta sudah menunggu. Ayah dan ibunya memandang Lily dengan bangga ketika ia turun tangga.
“Kau terlihat cantik, Lily. Seperti yang Mama selalu inginkan,” puji Selena dengan senyum hangat.
Lily tertawa kecil sambil mencium pipi ibunya. “Terima kasih, Ma.”
Nathan hanya tersenyum kecil sambil membaca korannya.
“Jangan buat masalah di sekolah, Lily,” ujarnya setengah bercanda.
Lily tertawa lagi. “Tenang, Pa. Aku hanya ingin menikmati hari ini.”
Setelah sarapan cepat dan obrolan singkat, Lily pamit. Ia masuk ke mobil sport mewahnya dan melaju ke sekolah. Sepanjang perjalanan, ia berpikir tentang apa yang harus dilakukannya untuk mendekati teman-temannya. Ia tahu perubahan harus dimulai dari dirinya sendiri.
Ketika Lily tiba di sekolah, suasana masih cukup sepi karena ia datang lebih awal dari biasanya. Ia berjalan perlahan menuju kelas dengan percaya diri. Beberapa siswa yang lewat masih menatapnya dengan heran.
Di dalam kelas, Lily segera mendekati Alicia, Bianca, Clara, dan Violette, yang duduk berdekatan. Mereka tampak asyik mengobrol sebelum kehadirannya membuat suasana hening.
“Pagi, semuanya,” sapa Lily dengan senyum hangat.
Alicia, yang biasanya blak-blakan, langsung menatap Lily dengan alis terangkat.
“Tumben kau menyapa kami, Kim,” katanya dengan nada bercanda.
Lily tertawa kecil. “Mungkin aku ingin memperbaiki kesalahan. Aku sadar, selama ini aku terlalu menutup diri.”
Clara, yang selalu berani, ikut angkat bicara. “Yah, kalau memang ingin berubah, kau harus membuktikannya, Kim. Tidak hanya dengan kata-kata.”
“Dan aku akan membuktikannya,” jawab Lily tegas. Ia lalu duduk bersama mereka dan mulai mengobrol. Lambat laun, suasana menjadi lebih santai.
Alicia terkejut dengan perubahan Lily yang terasa tulus, sedangkan Bianca yang pendiam diam-diam memperhatikan setiap gerak-geriknya. Violette, meskipun malu-malu, menyisipkan beberapa komentar. Keempat gadis itu mulai merasa bahwa Kimberly yang baru adalah seseorang yang bisa mereka percayai.
Saat jam istirahat tiba, Lily mengajak teman-teman barunya ke kantin. Ia merasa lega karena obrolan mereka di kelas berjalan lancar.
Namun, suasana berubah ketika mereka sampai di kantin. Lolita, bersama gengnya, sudah berdiri di tengah ruangan dengan tatapan sinis. Di sampingnya, Max duduk dengan wajah acuh tak acuh, memandang Lily seolah ia hanyalah bayangan yang tidak penting.
Lolita berjalan mendekati Lily. “Kimberly Queeni Carta,” katanya dengan nada mengejek.
“Kukira kau tidak akan kembali ke sekolah setelah koma. Tapi sayangnya, kau kembali dengan tampilan murahan seperti ini.”
Lily menahan amarahnya. Ia tahu Lolita sengaja mencari gara-gara. Dengan tenang, ia menatap Lolita dan berkata, “Aku hanya ingin makan siang. Jangan buang waktuku.”
“Berani sekali kau bicara begitu!” Lolita berseru dengan nada tinggi, menarik perhatian seluruh kantin.
Alicia, Clara, dan yang lainnya hendak maju untuk membela Lily, tetapi Lily mengangkat tangannya, meminta mereka tetap tenang. Ia menatap Lolita dengan dingin. “Apa kau punya masalah denganku, Lolita?”
Lolita mendekat, hampir menempelkan wajahnya ke wajah Lily. “Masalahku denganmu? Banyak. Kau menyebalkan. Kau sok pintar. Dan yang terpenting, kau mencoba merebut Max dariku!”
Max, yang mendengar itu, hanya memutar matanya. “Lolita, sudahlah. Tidak ada gunanya berbicara dengannya,” katanya dingin.
Lily menahan senyum. Dalam hatinya, ia mencatat setiap kata dan sikap Max.
“Aku tidak punya waktu untuk ini. Kalau kau tidak suka denganku, itu masalahmu, bukan masalahku,” ujarnya sambil berjalan melewati Lolita.
Namun, Lolita tidak menyerah. Ia meraih lengan Lily dengan kasar. “Jangan lari, Kimberly!”
Sontak, Lily menghentikan langkahnya. Ia menatap Lolita dengan tatapan tajam yang membuat gadis itu mundur selangkah.
“Jangan sentuh aku,” kata Lily dengan suara rendah tetapi penuh ancaman.
Seluruh kantin terdiam. Tidak ada yang berani bergerak. Bahkan Lolita tertegun, merasa ada sesuatu yang berbeda dari Kimberly yang dulu.
Lily kemudian berjalan menuju meja bersama teman-temannya, meninggalkan Lolita yang masih terpaku. Di meja, Alicia tertawa kecil. “Aku suka sikap barumu, Kim. Kau benar-benar berubah.”
Clara menepuk bahu Lily. “Kau tangguh. Jangan biarkan mereka mengganggumu.”
Lily tersenyum kecil. Ia tahu, ini baru permulaan. Akan ada lebih banyak tantangan yang harus ia hadapi, tetapi dengan teman-teman barunya, ia merasa lebih percaya diri.
Dari sudut kantin, Davian memperhatikan semuanya. Bibirnya melengkung dalam senyuman tipis. Temannya, yang duduk di sebelahnya, menatapnya dengan heran.
“Kau kenapa, Davi? Biasanya wajahmu dingin seperti kulkas dua pintu. Tapi sekarang kau malah tersenyum,” goda temannya.
Davian tidak menjawab. Matanya tetap terpaku pada Lily yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Dalam hati, ia merasa bangga dengan gadis itu.
Saat kembali ke kelas, Lily mulai merancang langkah-langkah berikutnya. Ia tahu hubungan Max dan Lolita tidak akan mudah dihancurkan tanpa bukti kuat. Ia juga sadar, Max harus melihat keburukan Lolita sendiri agar hubungannya dengan Lily bisa berakhir tanpa menimbulkan kecurigaan.
“Aku harus bersabar,” pikir Lily.
“Semua ini akan berhasil jika aku memainkan kartuku dengan benar.”
Sementara itu, Alicia, Clara, Bianca, dan Violette mulai merasakan bahwa Lily adalah seseorang yang bisa mereka andalkan. Mereka mungkin tidak tahu masa lalunya, tetapi mereka melihat bahwa Kimberly yang sekarang adalah seseorang yang berbeda, seseorang yang kuat dan tulus.
Di dalam hati, Lily bersyukur karena perlahan, ia mulai memiliki sahabat sejati di antara mereka.
Setelah melalui hari yang panjang di sekolah, Lily mengendarai mobil sportnya kembali ke mansion. Selama perjalanan, pikirannya dipenuhi berbagai rencana untuk mengakhiri pertunangannya dengan Max.
Tidak seperti sebelumnya, kini ia merasa bahwa cara paling cepat dan langsung adalah yang terbaik. Ia tahu, rencana panjang dan rumit mungkin akan memberikan hasil yang memuaskan, tetapi ia merasa sudah terlalu muak dan tidak ingin membuang waktu lagi.
Sesampainya di mansion, Lily memarkir mobilnya di garasi yang luas. Ia melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah tenang. Para maid yang bertugas menyambutnya dengan sopan, tetapi Lily hanya mengangguk kecil sambil melanjutkan langkah ke kamarnya di lantai atas.
Di kamarnya yang besar dan mewah, Lily duduk di sofa empuk yang menghadap jendela besar. Ia memandang taman hijau di luar sambil berpikir keras.
Lily merenung. Ia memikirkan reputasi Kimberly di sekolah, di mana semua orang menganggapnya sebagai gadis obsesif yang mencoba merebut Max dari Lolita. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Kimberly dan Max bertunangan.
“Haruskah aku terus mengikuti rencana panjang ini, atau lebih baik aku langsung memutuskan semuanya secepat mungkin?” pikirnya.
Waktu terus berlalu, dan setelah beberapa saat merenung, Lily berdiri dengan penuh keyakinan. Ia sudah membuat keputusan.
"Aku tidak akan membuang waktu lagi," gumamnya dengan nada tegas.
“Ini waktunya aku mengubah cerita,” gumam Lily.
“Aku harus menyelesaikan ini sekali untuk selamanya, dengan caraku.”
Ketika Nathan Alaric Carta dan Selena Melody Carta pulang ke rumah seperti biasa, mereka mendapati Lily menunggu mereka di ruang keluarga. Dengan nada serius, Lily memulai pembicaraan.
“Papa, Mama, aku ingin bicara soal pertunanganku dengan Max.” ujar Lily sambil berdiri dari sofa.
Nathan dan Selena menatap putri mereka dengan terkejut. Selena berbicara lebih dulu, “Ada apa, Lily? Kau tidak biasanya bicara serius soal Max.”
“Aku ingin memutuskan pertunangan ini,” kata Lily tanpa basa-basi.
Reaksi Nathan dan Selena persis seperti yang Lily duga. Mereka terlihat kaget. “Apa maksudmu?” tanya Nathan.
Lily menghela napas, berusaha menjelaskan dengan tenang. “Max tidak pernah peduli padaku, Pa. Selama aku koma, dia tidak pernah menjengukku, bahkan setelah aku sembuh. Dan, yang paling penting, dia masih menjalin hubungan dengan Lolita. Aku sudah lelah berpura-pura.”
Selena menatap putrinya dengan penuh perhatian. “Tapi kau dulu begitu menginginkan pertunangan ini, Lily. Apa yang berubah?”
“Banyak hal, Ma,” jawab Lily dengan mantap.
“Aku sadar bahwa aku berhak mendapatkan lebih dari seseorang yang hanya menganggapku beban. Max tidak mencintaiku, dan aku juga tidak mencintainya lagi.” lanjutnya.
Nathan, yang selama ini tidak menyukai Max maupun keluarganya, akhirnya berbicara. “Kalau begitu, Papa setuju. Papa memang tidak pernah yakin dengan keluarga Max, tapi kau terus memaksa.”
Selena mengangguk setuju. “Mama juga tidak keberatan, Lily. Tapi apa kau yakin bisa menangani ini sendiri? Kalau perlu, kami bisa memberitahu orang tua Max.”
Lily tersenyum kecil. “Terima kasih, Ma, Pa. Tapi ini tugasku. Aku yang akan menyelesaikannya, dengan cara yang membuat semua pihak paham.”