Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Generasi Terburuk
Beberapa hari setelah bentrokan, Luvi dengan percaya diri mulai mengunggah video-video yang merekam kekerasan dan provokasi aparat selama aksi. Dia telah memilih momen-momen penting yang menunjukkan bagaimana aparat menyerang mahasiswa tanpa alasan. Namun, saat video itu baru saja diunggah dan mulai menyebar, notifikasi tak terduga muncul.
"Akun Anda telah diblokir karena melanggar kebijakan," pesan itu muncul di layar laptopnya. Wajah Luvi langsung berubah tegang. “Apa? Video gue di-take down?” katanya dengan nada terkejut, tangannya gemetar mencoba mengakses kembali akun media sosialnya.
Dito yang sedang duduk di sebelahnya langsung melihat layar laptopnya, dan segera mengonfirmasi. “Mereka cepet banget. Video lo baru naik beberapa menit dan langsung dihapus. Mereka udah ngeblok akun lo juga.”
“Gue nggak percaya. Ini bukti yang jelas banget. Mereka sengaja nutupin kebenaran,” keluh Luvi dengan wajah kecewa, tapi di balik itu ada kemarahan yang mulai membara.
Mereka mencoba mengunggah video dari beberapa akun cadangan, namun hasilnya tetap sama. Setiap kali video diunggah, dalam hitungan menit, video tersebut di-take down, dan akun-akun yang mereka gunakan langsung diblokir. Pemerintah tampaknya bergerak lebih cepat dan agresif dari yang mereka bayangkan.
“Gue udah coba tiga kali, dan semua video dihapus,” kata Dito dengan nada frustrasi. “Mereka nggak mau orang liat apa yang sebenarnya terjadi.”
“Gue bener-bener nggak ngerti,” Haki mengelus rambutnya dengan gelisah. “Mereka bisa ngontrol media mainstream, tapi gue kira kita masih bisa lawan mereka di media sosial.”
Luvi menggelengkan kepala, mencoba menahan rasa kecewanya. “Ternyata mereka udah siap untuk hal ini. Mereka nggak mau kebenaran sampai ke masyarakat.”
Yudi yang sejak tadi diam, menghela napas panjang. “Kita udah ngelakuin semua yang kita bisa buat nyebarin bukti ini. Tapi, kalau mereka bisa kontrol semua jalur media sosial, kita nggak akan pernah bisa tunjukin apa yang sebenarnya terjadi.”
Mayuji, yang selama ini fokus pada jalur hukum, mencoba menenangkan teman-temannya. “Kita nggak boleh berhenti sekarang. Mungkin kita nggak bisa nyebarin bukti secara langsung, tapi kita masih bisa fokus pada jalur hukum dan strategi lainnya.”
Namun, efek dari video-video yang gagal disebarkan terasa nyata. Masyarakat, yang hanya mendapatkan informasi dari media mainstream yang dikontrol oleh pemerintah, tetap menganggap mahasiswa sebagai biang kerusuhan. Opini publik semakin condong menentang gerakan mereka, menyebut mereka sebagai generasi pemberontak yang merusak ketertiban.
Komentar-komentar di media sosial dan berita utama menggambarkan mahasiswa sebagai perusuh. “Generasi terburuk,” begitu salah satu media pemerintah menulis dalam tajuk beritanya. Masyarakat mulai mengecam gerakan mereka, menuduh bahwa mereka hanya memperburuk situasi tanpa memahami realitas. Namun, meskipun dikritik keras oleh publik, mereka tidak menyerah.
“Gue rasa kita harus terima kalau masyarakat nggak akan ada di pihak kita kali ini,” kata Yudi dengan nada pahit, meskipun semangatnya belum pudar.
Haki yang biasanya penuh energi, terlihat lebih tenang hari itu. “Mungkin kita nggak bisa dapetin dukungan masyarakat sekarang. Mungkin mereka bakal terus liat kita sebagai generasi yang buruk. Tapi itu nggak penting lagi.”
“Bener,” sahut Luvi, matanya masih penuh semangat. “Mereka bisa blokir video kita, bisa bikin kita kelihatan jelek di mata publik, tapi gue nggak peduli. Ini bukan soal apa yang orang pikir soal kita. Ini soal apa yang kita lawan.”
Dito mengangguk pelan, merasakan semangat yang sama. “Kita balik lagi ke misi awal kita. Kita bukan di sini buat popularitas atau pengakuan. Kita di sini buat perubahan. Kita di sini buat ngegulingin rezim curang ini.”
Meskipun mereka dicap sebagai generasi terburuk, mahasiswa yang tidak bertanggung jawab, dan pembuat kekacauan, semangat mereka tidak padam. Mereka tahu bahwa perjuangan mereka lebih besar dari sekadar mendapat dukungan publik. Mereka sedang bertempur melawan sistem yang korup dan kuat, dan meskipun dunia memandang mereka dengan sinis, mereka akan tetap bergerak maju.
“Apa pun yang mereka bilang tentang kita, kita bakal terus maju,” kata Haki dengan tatapan penuh tekad. “Kita masih punya misi yang belum selesai.”
“Jadi apa rencana kita sekarang?” tanya Yudi, menatap teman-temannya dengan penuh harap.
“Kita terus fokus ke jalur hukum dan strategi bawah tanah kita,” jawab Mayuji. “Mereka mungkin bisa kendalikan media, tapi mereka nggak bisa kendalikan kebenaran. Kita masih punya kekuatan di dalam sistem hukum, dan kita bakal terus cari celah di sana.”
Mereka berlima saling berpandangan, rasa frustasi sudah berubah menjadi ketenangan yang baru. Mereka tahu bahwa perjuangan ini tidak akan mudah, tapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka harus terus berjuang, meskipun dunia memandang mereka dengan cemoohan.
“Kita generasi terburuk?” kata Luvi sambil tersenyum kecil. “Biar aja mereka bilang begitu. Yang penting, kita tahu apa yang kita perjuangkan.”
---
Beberapa hari setelah kerusuhan, dampak dari peristiwa itu mulai terasa bukan hanya di media dan lingkungan sosial, tetapi juga dalam kehidupan pribadi Haki, Luvi, Dito, Yudi, dan Mayuji. Mereka menyadari bahwa perjuangan ini tidak hanya melibatkan risiko fisik dan mental, tetapi juga menghancurkan karir mereka yang sudah mulai terbentuk.
Haki adalah yang pertama merasakan dampak langsung dari peristiwa tersebut. Suatu pagi, saat ia datang ke toko roti tempat ia bekerja sebagai baker, manajer toko memanggilnya ke kantor. Wajah sang manajer yang biasanya ramah kini tampak tegang.
“Haki, gue harus ngomong jujur,” kata manajernya dengan nada ragu. “Toko ini nggak bisa terus memperkerjakan lo. Gue dapet tekanan dari beberapa pelanggan, dan mereka nggak nyaman dengan fakta kalau lo terlibat dalam kerusuhan kemarin. Mereka mulai boikot toko ini.”
Hati Haki mencelos. Ia tahu bahwa dengan partisipasinya dalam aksi, ia mengambil risiko besar. Namun, ia tidak menyangka akan berdampak sebesar ini. “Jadi, gue dipecat?” tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya.
Manajer itu mengangguk pelan. “Ini bukan soal kerjaan lo, Hak. Lo baker yang bagus, tapi reputasi lo sekarang... Gue nggak bisa bantu.”
Haki meninggalkan toko itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa ini adalah konsekuensi dari perjuangannya, tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkan dirinya untuk kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi sumber penghidupan keluarganya.
Di tempat lain, Luvi juga menghadapi tekanan serupa. Sebagai seorang konten kreator, ia merasa hidupnya terhubung langsung dengan dunia maya. Namun, setelah peristiwa bentrokan dan blokir video-video yang ia unggah, banyak pengikutnya yang berbalik menyerangnya. Sponsor-sponsor yang selama ini mendukung konten-kontennya mulai menjauh.
“Kami harus memutus kontrak,” tulis salah satu email dari sponsor utamanya. “Reputasi Anda telah tercoreng akibat keterlibatan dalam aksi protes yang menimbulkan kerusuhan. Kami tidak bisa melanjutkan kerja sama ini.”
Luvi menatap layar ponselnya dengan perasaan hampa. “Semua sponsor gue ninggalin gue,” katanya dengan nada pelan kepada Haki saat mereka bertemu di apartemen. “Dulu gue bisa hidup dari konten, sekarang mereka semua nggak mau kerja sama lagi karena mereka pikir gue biang kerusuhan.”
Dito juga tidak luput dari dampak ini. Toko peralatan hiking tempatnya bekerja menerima keluhan dari beberapa pelanggan setia yang merasa tidak nyaman mengetahui bahwa salah satu karyawannya terlibat dalam aksi protes. Akibatnya, pemilik toko memutuskan untuk memberhentikan Dito.
“Ini bukan soal lo sebagai karyawan, Dit,” kata pemilik toko itu dengan nada menyesal. “Tapi bisnis gue mulai kena dampaknya. Lo tahu sendiri kan, orang-orang sekarang ngejaga reputasi mereka. Gue nggak bisa nahan kalau pelanggan mulai boikot.”
Dito menerima keputusan itu dengan kepala tegak, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Selama ini ia bekerja keras di toko itu, tapi kini, karena satu peristiwa yang dianggap kontroversial, semua usahanya seakan sia-sia.
Yudi, yang bekerja di perusahaan listrik, mengalami nasib serupa. Atasannya menerima laporan dari pihak perusahaan bahwa Yudi terlibat dalam aksi protes yang mengganggu ketertiban umum. “Kita nggak bisa mempertahankan karyawan yang menciptakan masalah di luar pekerjaan,” kata bosnya dengan tegas saat memanggil Yudi ke kantornya. Meskipun Yudi mencoba menjelaskan bahwa dia hanya memperjuangkan hak-hak mahasiswa, perusahaan tetap tidak peduli.
“Saya paham posisi Anda, tapi ini masalah reputasi perusahaan,” kata sang bos tanpa rasa simpati. Yudi dipaksa menerima kenyataan bahwa karirnya di perusahaan itu berakhir begitu saja.
Sementara itu, Mayuji, yang bekerja di perusahaan pajak, juga menerima surat pemberhentian kerja. Meskipun dia adalah karyawan yang cerdas dan teliti, perusahaan tidak mau dikaitkan dengan seseorang yang dipandang buruk oleh masyarakat dan pemerintah. “Anda terlalu berisiko untuk dipertahankan,” demikian isi surat tersebut.
Bagi mereka berlima, kehilangan pekerjaan bukanlah sekadar pukulan finansial. Ini adalah pengingat bahwa dalam perjuangan mereka, harga yang harus dibayar sangat besar. Bukan hanya pandangan masyarakat yang melawan mereka, tetapi juga sistem yang lebih luas yang menekan setiap usaha mereka untuk melawan ketidakadilan.
Malam itu, mereka kembali berkumpul di apartemen Luvi, masing-masing dengan perasaan berat di hati mereka. Luvi menatap teman-temannya satu per satu. “Kita semua kehilangan pekerjaan karena ini,” katanya pelan.
Yudi menghela napas panjang. “Gue udah dipecat, dan gue nggak tau apa yang harus gue lakuin sekarang. Tapi satu hal yang gue tau, gue nggak bakal mundur.”
Dito menunduk, tapi kemudian mendongak dengan tatapan tegas. “Kita udah nggak punya apa-apa lagi yang bisa mereka ambil. Sekarang kita tinggal punya diri kita sendiri dan perjuangan ini.”
Haki tersenyum tipis meski rasa sakit di hatinya masih terasa. “Mereka mungkin bisa ambil pekerjaan kita, tapi mereka nggak bisa ambil tujuan kita. Kita mulai ini bukan buat uang, tapi buat keadilan.”
Mayuji yang biasanya tenang, kali ini berbicara dengan nada serius. “Mungkin sekarang kita dianggap musuh publik, tapi itu nggak penting lagi. Kita udah kehilangan semua yang kita punya, tapi kita masih punya satu sama lain. Dan kita masih punya misi.”
Mereka berlima sadar bahwa perjuangan ini tidak hanya menghancurkan karir mereka, tapi juga mencabut mereka dari kehidupan yang selama ini mereka jalani. Namun, di balik semua itu, ada rasa kebersamaan yang semakin kuat. Mereka tahu bahwa ini bukan lagi soal pekerjaan atau reputasi. Ini soal menghadapi rezim yang curang dan korup, dan mereka tidak akan mundur.
---