Di usianya ke 32 tahun, Bagaskara baru merasakan jatuh cita untuk pertama kalinya dengan seorang gadis yang tak sengaja di temuinya didalam kereta.
Koper yang tertukar merupakan salah satu musibah yang membuat hubungan keduanya menjadi dekat.
Dukungan penuh keluarga dan orang terdekat membuat langkah Bagaskara untuk mengapai cinta pertamanya menjadi lebih mudah.
Permasalahan demi permasalahan yang muncul akibat kecemburuan para wanita yang tak rela Bagaskara dimiliki oleh wanita lain justru membuat hubungan cintanya semakin berkembang hingga satu kebenaran mengenai sosok keluarga yang selama ini disembunyikan oleh kekasihnya menjadi ancaman.
Keluarga sang kekasih sangat membenci seorang tentara, khususnya polisi sementara fakta yang ada kakek Bagaskara adalah pensiunan jenderal dan dirinya sendiri adalah seorang polisi.
Mampukah Bagaskara bertahan dalam badai cinta yang menerpanya dan mendapatkan restu...
Rasa nano-nano dalam cinta pertama tersaji dalam cerita ini.
HAPPY READING.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julieta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GALAU
“Akhirnya, setelah sekian purnama kita bisa makan siang bareng lagi seperti ini”, ucap Amel penuh dramatis.
“Iya ini, siapa tahu bu bos lagi baik hati mau mentraktir kita ”, ujar Selvi menyindir secara halus.
Audry yang ditatap sedemikian rupa oleh para sahabatnya hanya bisa tersenyum dan segera menyerahkan menu untuk mereka pilih.
“Pesan apapun yang kalian mau. Aku yang bayar semua hari ini”, perkataan Audry tentu saja membuat ketiga sahabatnya segera memesan beberapa menu yang terbilang mahal tanpa sungkan.
Sambil menunggu makan siang yang mereka pesan datang, keempat wanita muda tersebut mengisinya dengan obrolan yang penuh canda tawa, melupakan sejenak keruwetan pekerjaan di kepala.
“Jadi, sekarang keluarga Bagaskara tinggal bersamamu”, tanya Gina sedikit tak senang.
“Iya, setidaknya hingga mereka menemukan tempat tinggal baru dan mami Gladys sehat kembali”, ujar Audry.
“Cie...yang sudah manggil mami. Kapan nich mau diresmikan”, celetuk Amel dengan senyum menggoda.
Melihat Audry tak menanggapi dan sibuk memainkan ponsel ditangannya, Selvi pun mengusap bahunya dengan lembut “Ikuti kata hatimu. Apapun keputusanmu kami pasti mendukung”.
“Tapi jika itu berat, sebaiknya lepaskan karena pak Melvin masih setia menunggumu”, ujar Gina yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Amel dan Selvi yang memang mendukung penuh Audry dengan Bagaskara.
“Hey...ini persaingan sehat kawan. Selama janur kuning belum melengkung, pak Melvin masih memiliki kesempatan. Pak Melvin...aku mendukungmu jadi jangan kamu sia-siakan kesempatanmu”, ujar Gina berapi-api.
Audry yang melihat tingkah pola ketiga sahabatnya hanya bisa terkekeh pelan “Sudah...sudah...jangan bertengkar lagi. Saat ini aku masih belum memikirkan untuk menjalin hubungan dengan siapapun jadi kalian jangan lagi berdebat mengenai masalah itu”, ujarnya menghapus ketengangan yang ada.
Melihat ketiga sahabatnya kembali bercanda ceria hati Audry merasa lega dan keempatnya pun kembali bergosip mengenai beberapa hal yang sedang viral saat ini.
Hati Audry sebenarnya masih ragu, apakah keluarganya bisa menerima Bagaskara yang seorang polisi sementara bisnis besar yang dijalankan keluarganya bertentangan dengan profesi lelaki yang perlahan mulai berada didalam hatinya itu.
Begitu juga sebaliknya, apakah keluarga Purnomo akan menerimanya jika dia mengatakan hal yang sejujurnya kepada mereka.
Meski untuk status sosial, keluarga Audry berada diatas keluarga Purnomo namun keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, seperti warna hitam dan putih yang sangat kontras jika bersanding.
Audry pun kembali teringat akan percakapannya dengan sang papi kemarin malam membuat hatinya semakin galau.
FLASH BACK ON
Audry yang sedang mempersiapkan dua kamar tamu dan satu gudang kosong dibelakang untuk menyambut kedatangan keluarga Purnomo pun menghentikan aktivitasnya begitu dia melihat nama seseorang yang cukup lama tak menghubunginya terpampang dilayar ponsel.
“Papi...”, guman Audry sedikit gugup.
Baru saja telepon diangkat, omelan sang papi langsung mendengung di telinga seperti kumpulan lebah.
Audry hanya bisa diam mendengarkan sambil sesekali menjauhkan ponsel dari telinganya yang sedikit berdengung akibat ucapan sang papi yang cukup keras dan tiada henti itu.
“Ingat Audry,darah Tiffelly mengalir ditubuhmu . Seberapa keras kamu menyangkalnya itu tak akan mengubah apapun ”, ucap Roberto dengan nada tinggi.
Audry yang cukup paham dengan hal itu hanya bisa mendengus kesal dan segera menjawab “Apa yang papi ingin aku lakukan sekarang”.
Roberto cukup senang akan respon yang diberikan oleh putrinya tersebut pun berusaha untuk melembutkan suaranya.
“Sudah hampir empat tahun kamu kerja ikut orang dan papi yakin kamu sudah siap untuk menjalankan perusahaan yang sudah seharusnya kamu pegang sekarang bukan”, bujuk Roberto secara halus.
Audry memejamkan kedua matanya sejenak sambil menghela nafas berat dan mengeluarkannya secara berlahan, berusaha untuk menenangkan hatinya.
“Baik. Akhir tahun ini perusahaan aku pegang. Tapi, hanya bagian atas. Untuk bisnis bawah, tetap percayakan kepada uncle Mateo karena aku tak ingin mengurusinya”, ujar Audry final.
Meski sedikit kecewa namun Roberto merasa ini sudah bagus putrinya mau mengurusi perusahaan yang memang didirikan didalam negeri untuk memperlancar bisnis bawah tanah mereka agar bisa masuk dengan mudah.
“Baiklah. Kamu bisa mengunjungi uncle Mateo minggu depan untuk membicarakan semuanya ”, ujar Roberto mengalah.
Melihat sang papi menerima keputusannya dan tak lagi berdebat dengannya, Audry pun merasa lega.
Dia sadar, cepat atau lambat bisnis milik keluarganya pasti akan jatuh ditangannya, terutama yang berada dikawasan Asia dan sebagian wilayah timur tengah.
FLASH BACK OFF
Melihat Audry beberapa kali menghembuskan nafas kasar dengan tatapan kosong kedepan, ketiga sahabatnya yang asyik bercerita pun mulai terdiam dan saling tatap mengenai kondisi Audry yang tak biasa itu.
“Hey, jangan kebanyakan melamun nanti kesambet ni kunti baru tahu rasa”, ujar Selvi menepuk punggung tangan Audry membuat lamunan gadis itu buyar seketika.
“Em...Sorry...sorry...aku hanya kepikiran masalah proyek Palembang saja sehingga sedikit tak fokus”, ujar Audry beralibi.
Meski mereka meragukan jawaban yang diberikan oleh Audry, melihat jika sahabatnya itu tampak enggan bercerita, ketiganya pun membiarkan dan menunggu Audry siap untuk berbagi dengan mereka seperti sebelumnya.
Begitu hidangan tersedia, keempat sahabat tersebut makan dengan lahap sambil bercengkerama hangat.
Tak butuh lama, hanya dalam waktu lima belas menit seluruh hidangan yang tersedia telah habis masuk kedalam perut membuat keempatnya pun bergegas kembali ke kantor karena sebentar lagi waktu istirahat akan habis.
“Kalian duluan masuk aja karena aku harus pergi kesuatu tempat dulu”, ujar Audry yang berpisah diloby kantor bersama ketiga sahabatnya yang langsung naik kedalam lift menuju ruang kerja mereka masing-masing.
Begitu tiba di parkiran, Audry segera memacu mobilnya meninggalkan halaman perusahaan untuk mengantarkan makan siang bagi keluarga Bagaskara yang tadi sudah dia belikan.
Baru juga keluar dari tempat parkir, ponsel Audry berbunyi hingga membuatnya menepi sebentar untuk mengangkatnya.
Belum juga Audry menyapa, suara berat Melvin sudah menginstrupsinya “Posisi ?”,tanyanya langsung.
“Diluar pak. Mau ke bank xxx untuk meminta rekening koran proyek Pelembang. Karena tadi pagi Nesti kesana tapi tak berhasil jadi saya turun untuk melobinya, kebetulan saya kenal dengan kepala cabang disana dan sudah membuat janji temu jam satu siang ini ”, jawab Audry lugas.
Melvin yang sedikit kecewa karena gagal mengajak makan siang Audry pun hanya menjawab “Ok”, dan langsung menutup telepon.
Membuat Audry hanya mengangkat kedua bahunya acuh dan kembali memacu mobilnya melesat masuk kedalam kepadatan lalu lintas siang ini.
Toni yang sedari tadi berdiri disamping Melvin hanya bisa menahan nafas agar keberadaannya tersamarkan setelah melihat wajah bosnya tersebut mulai menggelap.
Jika saja dia tak sedang menunggu berkas penting yang harus Melvin tandatangani, mungkin Toni akan melesat pergi karena aura didalam ruangan yang sangat mencekam.
“Bos...tarik kembali auramu. Ini sangat menyesakkan”, batin Toni ingin menangis.
Melvin yang sibuk dengan pemikirannya melupakan keberadaan Toni hingga suara ponsel asisten pribadinya itu membuyarkan lamunannya.
“Eh,maaf bos ini dari divisi teknik proyek Palembang”, ujarnya meminta ijin mengangkat telepon.
Mendengar nama proyek yang membuatnya pusing beberapa hari ini disebut, Melvin pun melambaikan tangan dan menyuruh Toni untuk menyelesaikan tugasnya yang tentu saja kesempatan tersebut langsung Toni pergunakan untuk melarikan diri dari dalam ruang kerja Melvin dengan cepat.
“Hufft...syukut Tio menghubungi. Jika tidak, aku bisa mati berdiri didalam”, batin Toni penuh kelegaan.