Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berat
TOLONG BACA ULANG PART-PART AWAL BIAR KALIAN NGGAK BINGUNG YA. SOALNYA AKU NGEROMBAK BANYAK BAB. TRIMS🙏🙏🙏
***
"Masih marah?"
Adalah kalimat pertama yang Mas Yaksa ucapkan sesaat setelah menyusulku dan menyampirkan selimut pada pundak, setelahnya dia ikut duduk di kursi sebelah. Kami saat ini sedang berada di balkon kamar, selain ingin menikmati suasana yang berbeda aku juga tidak ingin mengusik tidur Alin yang baru saja terlelap belum lama ini.
"Kenapa nggak di dalem aja? Di luar dingin." Ia kembali membuka suara karena sedari tadi aku belum kunjung meresponnya, pikiranku sedang berkelana entah kemana.
"Alin baru tidur." Akhirnya aku membalas. Namun, pandanganku masih lurus ke depan, belum tertarik untuk sekedar menoleh ke arah Mas Yaksa.
"Beneran masih marah?" Mas Yaksa kembali mengulang pertanyaannya, yang kali ini sukses membuatku menoleh ke arahnya, "yang tadi pagi."
Tubuhku seketika langsung menegang. "Mas Yaksa tahu?" tanyaku khawatir.
Mas Yaksa terlihat kebingungan. "Maksudnya?" ia terlihat tidak paham.
Aku ikut kebingungan. Kemudian barulah aku tersadar kalau bahasan yang Mas Yaksa maksud berbeda dengan apa yang ada di otakku.
Oh, sepertinya karena terlalu memikirkan kejadian tadi pagi membuat pikiranku tidak fokus.
"Terjadi sesuatu tadi pagi?"
Aku menggeleng cepat. "Enggak," elakku tak kalah cepat.
Mas Yaksa terlihat tidak cukup puas, tapi ia tidak berkeinginan mendesakku. "Oke, kalau memang belum mau cerita. Mas nggak akan maksa. Sekarang kita bahas soal yang tadi pagi."
Aku mengangguk sembari melemaskan ototku yang tadi sempat tegang karena mengira Mas Yaksa mengetahui tentang gosip tadi pagi.
"Aku nggak pernah malu, Mas," akuku jujur.
Meski duda anak dua sekalipun, modelan Mas Yaksa masuk kategori good looking yang menjadi idaman kebanyakan wanita. Jadi kenapa juga aku harus merasa malu?
"Mas juga."
Mendengar jawaban Mas Yaksa tidak cukup membuatku merasa puas. Benarkah demikian kalau mengingat fakta orang-orang membicarakan status sosial kami yang bisa dibilang tidak setara? Sejujurnya, keluarga kami tidak semiskin yang orang-orang bilang hanya saja kalau tidak dibandingkan dengan keluarga Mas Yaksa.
"Kamu meragukan, Mas?"
Ragu-ragu aku mengangguk. Kala ingat obrolan karyawan yang membicarakan kami tadi pagi sulit membuatku berpikir demikian.
Terdengar helaan napas dari Mas Yaksa. "Jujur Mas nggak tahu harus bagaimana biar buat menyakinkan kamu, karena memang Mas nggak bisa menjanjikan cinta karena kamu tahu betul kondisi kita, Geya."
Aku mengangguk. "Aku tahu, Mas."
"Tapi Mas mau belajar."
"Cinta bisa memudar seiring berjalannya waktu, Mas, aku tidak perlu kamu janjikan cinta."
"Lalu masalahnya di mana? Buat Mas mengerti, Geya. Mas mau kita umumkan pernikahan kita secepatnya agar semua lebih mudah? Supaya orang berhenti berpikir kalau Mas nikah sama Ema. Apa perlu Mas lakukan itu?"
Aku menggeleng cepat. Kalau pernikahan kami segera diumumkan justru semua akan lebih sulit untukku. Mereka akan menggosipkanku secara terang-terangan dan dianggap tidak tahu untung.
"Semua nggak akan mudah meski kamu mengumumkan pernikahan kita, Mas."
Kening Mas Yaksa mengerut dalam. "Kenapa begitu?" tanyanya tidak paham.
"Mas, semenjak aku kehilangan Kakak aku dan dipaksa untuk menikah dengan kamu, aku tahu segalanya nggak akan mudah. Tapi... ini terlalu berat, Mas."
Isak tangis yang sedari tadi aku tahan, kini akhirnya meluncur keluar. Aku mengigit bibir bawahku untuk sedikit meredam tangis, rasanya begitu sesak saat memikirkan semuanya.
Aku tidak tahu kapan tepatnya Mas Yaksa bangun dari tempat duduknya dan kini sudah di hadapanku.
"Maafin Mas, Geya, nggak seharusnya kamu terlibat dalam semua ini." Nada bicara Mas Yaksa terdengar penuh penyesalan, ia mengusap lembut punggung tanganku, "jangan ditahan, nangis aja nggak papa biar lega," sambungnya kemudian.
Sebelah tangannya mengusap pundakku, sukses membuat tangisku benar-benar pecah. Aku menangis sesenggukan dengan telapak tangan Mas Yaksa setia mengusap pundakku.
"Sebentar." Kali ini Mas Yaksa berdiri dan meninggalkanku, masuk ke dalam kamar. Tepat saat Mas Yaksa masuk tangisku semakin kencang.
Ya Allah kenapa rasanya begitu menyesakkan?
Tak berselang lama, Mas Yaksa kembali. Sebelah tangannya membawa segelas air putih.
"Minum dulu."
Dengan tangan sedikit bergetar, aku menerima gelas itu. Mas Yaksa tidak melepaskan tangannya dan justru membantuku meminum air putih tersebut, sebelah tangannya yang lain kembali mengusap pundakku.
"Enggak papa," bisiknya menenangkan.
"Maaf."
Aku merasa menyesal karena tidak dapat mengendalikan diri dan malah menangis sesegukan seperti ini. Padahal tadi aku sudah berusaha menahan diri sekuat tenaga.
"Nggak papa. Feel better?"
Aku mengangguk sambil mengusap kedua pipiku kasar. Mas Yaksa pun ikut membantu, bedanya dia mengusap pipiku lebih lembut.
"Mau cerita?"
Aku diam.
"Apa ada gosip lain yang nggak Mas tahu?"
"Cuma gosip kan, Mas?"
"Tapi bikin kamu sampe begini, Geya. Itu artinya bukan sekedar 'cuma'. Apa Mas salah?" tebak Mas Yaksa membuatku gelagapan.
Haruskah aku menceritakan apa yang aku dengar tadi pagi.
"Mas Yaksa nganggep aku morotin kamu nggak?"
"Nggak ada pertanyaan yang lebih konyol?" Samar-samar aku mendengar suara decakan Mas Yaksa.
"Mas suka aku nggak?"
Kali ini helaan napas yang terdengar, lalu Mas Yaksa kembali ke kursinya.
"Suka."
"Cari aman ya, Mas?" godaku dengan nada meledek. Sekarang aku jauh lebih merasa tenang.
"Beneran. Mas mungkin belum cinta sama kamu, tapi kamu banyak bantuin Mas selama ini, jadi nggak ada alasan buat Mas membenci kamu, Geya."
Oh, itu alasannya.
Suasana mendadak sunyi karena aku enggan membuka suara, lebih tepatnya bingung harus membalas apa.
"Jadi ada yang berpikir kamu morotin Mas?"
Setelah hening beberapa saat, Mas Yaksa akhirnya membuka suara.
"Bahkan nggak cuma aku, kita sekeluarga pun kena. Tapi mengingat status sosial kami, wajar sih, Mas, kalau orang berpikir demikian."
Raut wajah Mas Yaksa berubah keruh. "Geya, Mas, nggak suka kalau kamu mengkotak-kotakkan status sosial begitu. Kita semua sama." Terlihat jelas kalau ia tersinggung.
"Mas, aku nggak bermaksud demikian tapi kenyataannya demikian."
Setelah mengalami ini semua, sekarang aku paham kenapa kenapa orang tua mengutamakan kesetaraan sosial. Bukan karena untuk merendahkan tapi demi kebaikan bersama. Nyatanya memang sesulit itu ternyata. Aku baru tahu menjadi Kak Runa dulu sesulit ini, oh, mungkin tidak terlalu sulit karena Mas Yaksa mencintai Kak Runa. Sedangkan aku menjalani semua dengan terpaksa, mungkin ini yang membuatku merasa lebih berat.
"Enggak bisa ya kamu nggak usah dengerin mereka. Percaya saja sama apa yang kamu lakuin, Geya, percaya kalau kamu nggak melakukan itu."
"Mauku begitu, Mas, tapi ini nggak mudah."
"Apa menjalani semuanya bareng Mas masih seberat itu?"
Aku terdiam. Justru karena menjalani semuanya dengan kamu Mas semua terasa lebih berat.
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺