Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Author Pov (again)
***
Ivan langsung menatap sengit ke arah Yaksa yang kini nampak asik menatap pemandangan ibukota lewat rooftop gedung. Ia kemudian menyerahkan botol air mineral untuk pria itu dari dalam saku jas putihnya. Ia menyimpan dua botol dari sana, yang satu Yaksa dan satunya lagi untuknya sendiri.
"Air putih banget nih?" ledek Yaksa saat menerima botol tersebut.
"Kopi dan minuman soda nggak sehat, mending air putih, sehat," balas Ivan sambil menegak minumannya.
"Biar sehat apa biar hemat?" Yaksa kembali menyindir pria berdarah China itu sambil terkekeh. Ia tidak meminumnya karena sedang tidak merasa haus.
Ivan kemudian membalas dengan nada sengit . "Ya kalau bisa dua-duanya kenapa harus salah satu?" ia kemudian berdecak sambil memandangi ke arah sekitar, "lo ngapain sih ngajakin gue ketemu di sini? Syuting drama lo?"
"Pusing gue. Di sini kan enak. Adem. Tenang. Nggak berisik. Lagian lo nggak sumpek apa ngurusin pasien terus?"
"Ya kalau nurutin sumpek atau enggak mah nongkrong doang kerjaan gue kali, Sa."
"Pulang nanti mau nongkrong? Sama gue? Gue yang traktir deh," tawar Yaksa bersungguh-sungguh. Namun, justru mendapat respon berupa dengusan kasar dari lawan bicaranya.
Yaksa terkekeh. "Gue serius."
"Lo ngeledek apa gimana sih?" tanya Ivan dengan nada jengkel, "bisa pulang tepat waktu aja udah syukur, bro, pake segala ngajakin nongkrong lo. Lagian emang lo nggak dicariin istri muda lo kalau semisal pulang telat. Jangan bilang lupa lagi lo kalau udah nikah lagi."
"Ngawur!"
"Gue tahu. Lagi ngambek ya?" ledek Ivan asal-asalan.
Yaksa mengangguk dengan wajah sedihnya. "Nikah sama boca yang umurnya jauh di bawah kita berat ya. Gue rasanya kesulitan banget memahami apa mau dia. Apa yang gue lakuin salah mulu perasaan. Pusing gue lama-lama."
Ivan terkekeh. "26 tahun bukan bocah lagi, Sa. Udah bisa diajak bikin bocah tuh."
"Gue 36 tahun, Van. Pas gue udah SD dia baru lahir. Bagi gue dia masih bocah."
"Berarti lo belum ajak dia bikin bocah dong?"
Seketika Yaksa langsung bungkam. Sementara Ivan mencibir dengan wajah sinisnya.
"Ngatain bocah tapi diajak bikin bocah juga, mana masih disuruh ngurusin bocah lagi. Kalau begini siapa yang lebih bocah?"
"Jadi...gue harus bagaimana?"
"Inti masalah dari yang sedang lo hadepi apa?"
Bukannya langsung menjawab, Yaksa malah terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Hal ini tentu saja mengundang decakan sebal dari Ivan. Mau bagaimanapun pria itu sibuk, ia menyempatkan datang kemari di sela kesibukannya, tapi mendapati pria itu malah asik dengan lamunannya tentu saja ia merasa sedikit kesal.
"Kalau nggak mau cerita gue tinggal balik sih," ancam Ivan terdengar serius dan tidak main-main.
Pasalnya pekerjaannya menunggu, tapi demi sang sobat, sekaligus bosnya, ia meninggalkan pekerjaannya.
"Sabar dulu kenapa sih? Nggak sabaran banget." Yaksa sedikit berdecak kesal karena Ivan selalu beralasan sibuk saat dirinya hendak ingin curhat.
Ivan menghela napas panjang. "Yang nggak sabaran itu pasien-pasien lo, Sa. Lo itu kayak nggak tahu kehidupan dokter aja sih, gue bukan nggak mau dengerin curhatan lo, tapi masalahnya nyawa pasien dan keberlangsungan rumah sakit milik lo ya ada di tangan kami, para dokter."
"Dokter di rumah sakit gue perasaan bukan cuma lo deh."
"Ya, memang. Tapi pasiennya juga nggak cuma sebelas atau dua belas kan? Sementara dokter di rumah sakit lo berapa?"
Yaksa diam. Terlihat kehilangan kata-kata atau mungkin memang malas menanggapi jawaban pasti dari Ivan.
"Yee, malah diem," decak Ivan kembali tidak sabaran.
"Bini gue ngambek dan gue bingung salah gue dimana. Tiap mau gue ajak bicara buat ngobrolin salah gue di mana, dia kayak terkesan ngehindar. Ada aja alasannya. Gue juga bingung sendiri lah jadinya, Van."
"Mungkin bini lo perlu waktu, lo pun juga. Intinya kalian perlu waktu sih, mau bagaimana pun juga beberapa bulan yang lalu dia masih adek ipar lo, lalu secara tiba-tiba berubah jadi suami-istri. Mungkin dia merasa shock dan belum terbiasa, jadi secara emosional nggak stabil. Bisa jadi kalau liat lo bawaannya jadi makin emosi, jadi dia milih menghindar."
Yaksa berdecak kesal. Pandangannya menerawang. "Tapi menghindar nggak akan menyelesaikan masalah, Van. Gue nggak suka terus-terusan diginiin."
Ivan mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Yaksa memang sepenuhnya benar. "Ya memang bener nggak akan nyelesaiin masalah."
"Terus gue harus gimana?"
"Tetep lo paksa buat lo ajak ngobrol sih. Solusinya cuma itu. Tapi sebelum itu lo kasih dia waktu dulu buat menenangkan pikirannya. Mau bagaimanapun lo yang lebih tua dan dewasa, jelas lo yang harus lebih banyak mengalah. Ingat, bro, ini tetap mengejutkan buat bini lo. Dia nggak cuma tiba-tiba jadi istri lo, tapi harus jadi ibu dari dua anak lo. Tentu hal ini nggak akan mudah kan? Apalagi lo juga minta dia jadi ibu ASI buat Alin."
"Jadi ini salah gue karena minta dia jadi Ibu ASI buat Alin gitu?"
"Bukan. Nggak gitu, anjir, maksud gue. Gini loh maksud gue, ini perjalanan berat buat bini lo. Dia perlu menyesuaikan diri dan tugas lo ngebantu dia, intinya ya lo harus banyak-banyak sabar. Ngehadepin perempuan itu berat, Sa, lo tahu sendiri kan?"
"Tapi dulu--"
"Bro," Ivan berdecak sambil memotong kalimat Yaksa dengan wajah snewennya, "itu dulu. Pas sama almarhumah Runa nggak bisa lo bawa-bawa gitu lah pas sama bini lo yang sekarang. Mereka beda meski nyatanya saudara kandung."
"Enggak gitu maksud gue," sanggah Yaksa yang langsung direspon Ivan berupa dengusan tidak percaya, "gue tahu mereka berbeda, Van."
"Tapi tetap aja lo itu juga manusia, ada kalanya lo khilaf juga kan?"
Kalimat Ivan cukup membuat Yaksa terdiam. Pria itu menghela napas dan menepuk pundak Yaksa pelan.
"Dibawa santai aja, bro, dari pada stres. Sama-sama belajar dan mau ngalah aja pelan-pelan, gue tau ini juga nggak mudah buat lo." Ivan kemudian menegak air mineralnya hingga tandas, baru kemudian ia melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangannya, "kayaknya gue kabur kelamaan deh. Gue cabut duluan ya, lo jangan lama-lama di sini, kalau dirasa udah nggak terlalu sumpek turun ke bawah. Serem anjir, kalau di sini sendirian."
"Kenapa? Ada hantu kah?" Yaksa terkekeh saat menanggapi kalimat Ivan.
Pria itu mendengus kasar. "Bukan itu maksud gue, serem aja kalau tiba-tiba lo loncat."
"Astagfirullah, gue masih punya iman, Van." Yaksa melotot tidak terima.
Kali ini giliran Ivan yang terkekeh. "Ya namanya orang kalau pikirannya mumet, ya mumet aja, suka aneh-aneh dan nggak bisa mikir jernih."
"Ya udah, ayok, gue ikut turun deh kalau gitu."
"Nah, gitu kan enak."
To be continue,