Revolusi Di Ujung Senja
Matahari mulai terbenam ketika Haki berjalan santai melewati halaman kampus yang ramai dengan mahasiswa karyawan. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, dengan kondisi fisik yang cukup lelas setelah seharian bekerja sebagai karyawan disebuah toko roti, ia bersiap untuk mengikuti kelas di Fakultas Ekonomi. Di sudut-sudut kampus, terlihat para mahasiswa yang sedang sibuk berbincang atau duduk di kafe kampus, menunggu kelas mereka dimulai.
Sambil memeriksa ponselnya, Haki melihat pesan dari grup WhatsApp kecil mereka berlima. “Kumpul bentar di kantin sebelum kelas,” tulis Yudi di pesan terakhir. Haki hanya membalas dengan emotikon jempol, dan mempercepat langkahnya menuju kantin. Meskipun hari itu cukup melelahkan setelah seharian bekerja di toko roti, bertemu dengan teman-temannya selalu menjadi momen yang menyegarkan.
Di kantin, Dito sudah duduk sambil mengaduk kopi. Wajahnya yang dingin namun tenang menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan shift kerja di toko hiking. Tak lama kemudian, Luvi datang dengan langkah cepat, masih memegang kamera kecil yang digunakannya untuk vlog harian. Gadis tomboy itu tidak pernah lepas dari perangkat media sosialnya, tapi di balik semua itu, ia adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sangat serius.
“Hei, gue gak punya banyak waktu, kelas gue sebentar lagi mulai,” kata Luvi sambil menarik kursi di depan Dito.
“Nggak usah lebay. Dosen juga sering telat,” balas Dito dengan datar.
Tak lama kemudian, Yudi dan Mayuji menyusul. Yudi, si tertua di antara mereka, membawa senyuman lebar meski jelas terlihat lelah setelah bekerja seharian sebagai teknisi di perusahaan listrik. Mayuji, yang termuda dan terlihat paling serius, menutup laptopnya setelah menyelesaikan beberapa catatan tentang politik yang baru saja dipelajarinya di kelas Hukum dan Politik.
Mereka berlima duduk bersama, berbicara tentang keseharian mereka dan pekerjaan yang tak pernah habis. Percakapan mereka selalu dimulai dengan obrolan ringan tentang kehidupan sehari-hari, tapi kali ini ada nada serius yang berbeda. Dalam beberapa minggu terakhir, berita tentang peraturan baru pemerintah yang dianggap tidak adil semakin sering muncul. Mereka semua tahu, undang-undang yang baru disahkan itu hanya akan memperburuk kondisi rakyat, terutama kelas pekerja seperti mereka dan keluarga mereka.
“Kalian udah baca berita hari ini?” tanya Mayuji sambil membuka lagi topik serius. “Pemerintah akhirnya sahin undang-undang baru itu. Bakalan makin susah nih rakyat kecil.”
Luvi mendesah, “Gila, ya. Mereka tuh emang nggak peduli sama rakyat. Apa kita mau demo lagi?”
Haki mendengarkan sambil mengaduk minumannya, “Gue setuju banget. Tapi masalahnya, demo udah sering kita lakuin, dan hasilnya sama aja. Gak ada perubahan.”
Yudi menyandarkan tubuhnya ke kursi, “Gue juga mikir begitu, tapi gak mungkin kita diem aja, kan? Ini udah keterlaluan.”
Dito yang biasanya pendiam, ikut menyuarakan opininya. “Kalo gue sih setuju buat gerak lagi, tapi harus ada strategi. Gue gak mau ini jadi kayak demo-demo sebelumnya yang cuma bikin capek tapi gak ada hasilnya.”
Percakapan mereka terhenti sejenak saat suara bel kelas berbunyi, tanda bahwa sesi malam akan segera dimulai. Mereka berlima berdiri, siap untuk masuk ke kelas masing-masing yang tersebar di berbagai fakultas. Haki menuju kelas Manajemen di Fakultas Ekonomi, Dito ke Fakultas Ilmu Komputer, Luvi ke Ilmu Komunikasi, Yudi ke Teknik Listrik, dan Mayuji ke Hukum dan Politik.
“Tunggu aja habis kelas, kita ketemu lagi. Gue rasa ada yang perlu kita omongin lebih lanjut soal ini,” ujar Yudi sambil melangkah pergi.
Haki menatap teman-temannya satu per satu sebelum mereka berpisah. Ada rasa tidak puas di antara mereka yang semakin hari semakin tumbuh. Meskipun setiap dari mereka punya latar belakang dan kesibukan yang berbeda, satu hal menyatukan mereka—rasa marah dan kecewa terhadap pemerintah yang seakan tak peduli dengan rakyat kecil.
... Haki
...Luvi...
...Dito...
...Mayuji...
...Yudi...
Setelah kelas usai, kampus perlahan mulai sepi. Hanya tersisa beberapa mahasiswa karyawan yang masih duduk di halaman kampus, bersiap untuk pulang setelah seharian penuh beraktivitas. Haki, Dito, Luvi, Yudi, dan Mayuji kembali berkumpul di tempat biasa mereka, sebuah bangku panjang di samping gedung fakultas yang sering mereka pakai untuk diskusi setelah kelas.
Haki menatap langit malam yang semakin gelap, sembari mengingat obrolan sebelum kelas tadi. “Jadi gimana menurut kalian soal rencana demo lagi? Gue udah nggak tahan dengan semua ini,” katanya, memecah keheningan.
Dito, yang biasanya lebih pendiam, kali ini terlihat lebih serius. “Demo itu penting, tapi kalau gak ada strategi, gak bakal ada hasil. Kita perlu sesuatu yang lebih dari sekadar teriak-teriak di jalan. Kalau kita cuma demo tanpa rencana, media akan terus memutarbalikkan fakta, dan kita bakal kelihatan seperti pemberontak tanpa arah.”
Yudi, yang duduk bersandar dengan santai, mengangguk setuju. “Benar. Gue setuju sama Dito. Kita udah beberapa kali ikut aksi, dan hasilnya selalu sama. Malah sering kita yang disalahin. Media selalu dikendalikan sama pemerintah. Jadi kita harus nyari cara supaya kita gak cuma jadi korban pemberitaan.”
Luvi, yang terlihat sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba ikut angkat bicara. “Gue punya ide. Apa kita coba manfaatin media sosial? Gue bisa bikin konten yang viral, tapi kita harus pastiin itu gak langsung ketauan kalo kita yang di belakangnya. Kita bisa mulai dengan nyebarin pesan-pesan penting lewat konten yang gue buat, terus nyari dukungan dari mahasiswa kampus lain.”
Mayuji mendengarkan dengan penuh perhatian, otaknya yang cerdas memproses setiap ide. “Gue setuju. Tapi selain itu, kita juga perlu rencana jangka panjang. Media sosial bisa bantu nyebarin pesan kita, tapi kita harus hati-hati. Pemerintah juga punya mata-mata di dunia maya. Dan satu hal lagi, kita gak bisa bergerak sendirian. Kita butuh aliansi dari mahasiswa kampus lain.”
Haki tersenyum kecil mendengar ide-ide tersebut. “Ini baru mulai keliatan arahnya. Gue suka ide kalian. Kita bisa jadi pergerakan bawah tanah yang gak mudah dilacak. Tapi, sebelum itu semua, kita harus pastiin kalau kita punya cukup dukungan.”
Mereka berlima duduk dalam keheningan untuk sesaat, memikirkan rencana yang baru saja muncul di benak mereka. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, seakan-akan alam sedang menunggu mereka untuk membuat keputusan besar.
“Kalau gitu, gue akan mulai susun konten buat nyebarin pesan kita,” kata Luvi, memecah kesunyian. “Gue bakal hati-hati biar gak mudah dilacak, dan kita bisa mulai dengan nyari dukungan pelan-pelan.”
Dito menatap Luvi dengan anggukan pelan. “Dan gue bakal nyari celah di sistem IT kampus. Gue yakin ada cara buat ngumpulin data mahasiswa tanpa ketauan pihak berwenang. Kita butuh data itu buat nyari aliansi.”
Yudi tertawa kecil, meskipun jelas ia juga ikut serius. “Kita jadi kayak gerakan rahasia aja, ya? Tapi gue suka. Gue akan coba ajak anak-anak Teknik buat ikut juga. Mereka biasanya gak suka ikut demo, tapi kalo gue yang ngomong, mereka mungkin mau dengerin.”
Mayuji, yang biasanya paling hati-hati, akhirnya setuju. “Oke. Gue akan susun strategi lebih dalam soal undang-undang yang kita lawan. Kalo kita bisa kasih fakta konkret, mahasiswa yang lain bakal lebih mudah percaya sama kita.”
Mereka berlima sudah sepakat. Malam itu, tanpa mereka sadari, sebuah pergerakan baru telah lahir. Sesuatu yang berbeda dari demo-demo sebelumnya. Mereka tidak lagi sekadar mahasiswa biasa yang hanya marah, tapi mereka kini berencana untuk menjadi katalisator perubahan.
“Gue rasa ini awal dari sesuatu yang besar,” gumam Haki sambil menatap teman-temannya satu per satu. “Kita bakal bikin sejarah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments