Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan Agnia justru membuat Langit mengalami gangguan mental. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Diam-diam, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan mental Langit.
Lantas, apa jadinya jika Agnia tahu, bahwa Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Kau Siapa?
“Ya ampun, aku lupa bawa cadarku. Bagaimana ini?”
Satu-satunya pakaian yang tak Dita bawa memang cadar. Namun, kenyataan tersebut membuatnya kelimpungan. Karena biar bagaimanapun, ia harus tetap menyamar. Dita harus menjadi pengantin samaran untuk Langit dalam kurun waktu yang belum Dita ketahui.
Belum sempat bernapas lega, Dita yang melangkah buru-buru dan baru sampai depan area wastafel yang tak kalah luas dari ruang untuk mandi, dari luar ada yang mengetuk pintu kamar mandi. Detik itu juga Dita menghentikan langkahnya. Ia menatap meneliti pintu kayu bercat keemasan di hadapannya.
“Mas ...?” lembut Dita. Namun, masa iya itu Langit? Langit bisa turun sendiri dari tempat tidur dalam waktu cepat? Bukankah Langit lumpuh, sementara Dita yakin, ia hanya mandi sebentar meski sampai keramas dan mandi wajib lengkap.
Menjadi pengantin samaran memang membuat hidup Dita tidak tenang. Dita refleks melakukan segala sesuatunya dengan cepat dan sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya.
Kini, Dita menggunakan ujung hijab hitamnya yang panjang, untuk menggantikan cadarnya. Ia buka dengan hati-hati pintu kamar mandi di hadapannya. Benar saja, Langit yang sudah memakai boxer hitam, sudah duduk di kursi roda.
“Mas Langit bisa melakukan semuanya sendiri? Apa karena sudah terbiasa? Apa sebenarnya, sedikit-dikit, beliau memang bisa. Terlebih, beliau orang kaya. Logikanya enggak mungkin beliau maupun keluarganya menyerah dengan kelumpuhan yang dialami. Karena jangankan mereka, aku yang untuk makan saja susah, tetap berjuang mencari biaya untuk pengobatan ibu yang terkena kanker,” pikir Dita yang refleks diam terpaku pada cadar miliknya.
Langit sengaja membawakan cadar milik Dita. Tangan kanannya mengulurkan cadar hitam tersebut kepada Dita. “Jika dia menerimanya, ... berarti dia sengaja menyembunyikan wajahnya,” pikir Langit sembari menatap lurus kedua mata Dita. Kedua mata agak sipit itu jadi terpaku menatapnya.
Tak ada soft lens yang biasanya menjadi ciri khas seorang Agnia. Alasan yang membuat Langit makin bertanya-tanya dalam hatinya. Langit makin membiarkan dirinya untuk curiga.
Di lain sisi, adegan Langit membawakan dan sampai menyerahkan cadar kepadanya, membuat dunia Dita seolah berhenti berputar. Dunianya hanya berporos kepada pria lumpuh di kursi roda dan wajah kanannya masih ditutupi topeng silver.
“M—maaf, Mas. Aku sudah bikin Mas menunggu lama, ya? Kita mandi, ya. Mandi wajib ... mm, kalau malam, Mas Shalat juga, enggak?” lembut Dita yang jadi hanya bisa melangkah kecil akibat robekan di selaput dara-nya, tetap berusaha cekatan.
Dita menerima cadarnya kemudian buru-buru memakainya di depan Langit, tapi sesaat setelah dirinya membelakangi suaminya itu.
“Dia benar-benar tak mengizinkanku melihat wajahnya,” pikir Langit.
Walau jadi kerap menahan sakit di bagian kewanitaan pangkal pahanya, Dita tetap berusaha menjadi istri yang baik. Istri yang akan sigap merawat sang suami yang lumpuh.
“Kamu siapa?” tanya Langit terdengar dingin bahkan di telinganya sendiri. Ia menunduk dan tatapannya jadi kosong.
Di belakang Langit dan siap mendorong kursi rodanya, Dita refleks diam. Dada Dita sudah langsung kebas karenanya. Dita langsung berpikir, pertanyaan yang Langit layangkan kepadanya karena suaminya sudah langsung mencurigainya. “Istri Mas Langit. Aku ... Agnia, Mas. Salah ya, kalau aku ingin jadi istri yang baik buat Mas?”
Agnia dan semua yang berkaitan dengan wanita itu, selalu membuat Langit merasa berat. Langit akan selalu lemah, tak berdaya, walau sebenarnya Langit mengetahui sesuatu. Sesuatu yang tak benar dan harusnya segera diselesaikan. Layaknya kini, walau jelas wanita yang ia nikahi bukan berwajah Agnia, Langit tetap kesulitan mengambil sikap. Terlebih, apa yang istrinya katakan sungguh benar.
Dita merawat Langit, memandikannya tanpa berkeluh kesah. Walau sepanjang melakukannya Dita terus membatasi tatapannya, Dita tetap mengurus Langit hingga selesai. Bukan hanya sampai Langit memakai pakaian. Karena Dita juga sampai menyisir kepala Langit. Malahan Dita harus ganti pakaian karena memandikan Langit membuatnya kuyup.
“Istirahatlah aku akan keluar buat bahas pekerjaan dengan papa. Kalau mau tidur, kamu tidur saja. Kamu enggak perlu tunggu aku karena aku baru kembali setelah dini hari," ucap Langit masih menyikapi Dita dengan dingin.
Akan tetapi, Dita sama sekali tidak menganggap berarti perubahan sikap Langit kepadanya. Sebab Dita tetap berpikir positif. Bahwa tak semua orang bisa bersikap selalu hangat apalagi selalu ceria. Jadi, Dita tidak mempermasalahkan sikap Langit. Karena tak mungkin juga Langit akan selalu dingin kepadanya.
“Bisa jadi, Mas Langit sedang pusing karena kerjaan. Makanya dia lupa kontrol ekspresi ke aku,” pikir Dita yang segera membuka koper besar miliknya. Koper besar yang sudah Agnia siapkan khusus untuknya. Meski untuk urusan susun menyusun, masih Dita juga yang melakukannya.
Beres ganti pakaian dan kembali bercadar, Dita yang memakai nuansa cokelat muda, sempat menunggu Langit. Hanya saja karena Langit tak kunjung kembali, dan Dita juga sudah sangat mengantuk sekaligus kelelahan, Dita memutuskan untuk tidur dulu. Dita tidur di tempat tidur yang sebelumnya sudah ia rapikan. Karena setelah dipakai untuk eksekusi pertama antara dirinya dan Langit, kamar yang awalnya bernuansa biru dan kini jadi merah maroon setelah ia ganti, sempat sangat berantakan.
Di lain sisi, sebenarnya Langit sengaja menunggu Dita tertidur lelap. Di depan pintu kamarnya, Langit yang memakai piyama lengan panjang warna biru gelap, berdiri agak menunduk. Pakaian pilihan Dita berikut aroma wewangian yang menyelimuti.
“Pengin marah bahkan ngamuk, tapi dia manis banget. Dia sama sekali enggak mengeluh, dan amat sangat ... mengurusku. Dia juga enggak jijik ke wajahku,” batin Langit ingat adegan ketika Dita yang memijat-mijat wajahnya tak lama setelah wanita itu memakaikan pelembab di wajahnya. Selain menatapnya penuh senyum, Dita juga sampai mengabsen wajahnya searah jarum jam, menggunakan kecupan.
Topeng silver yang tetap Langit biarkan untuk menutupi wajah sebelah kanannya, juga tak luput dari perhatian Dita. Setelah mengelapnya dengan hati-hati, Dita juga mengecup topeng tersebut beberapa kali. Selanjutnya, kedua tangan Langit yang berangsur Dita Raih sekaligus genggam juga tak luput dari absen bibir Dita. Itulah yang membuat Langit merasa, Dita sangat manis kepadanya. Namun karena yang Langit tahu itu Agnia, Langit mengiranya sebagai Agnia. Bahwa Agnia yang wajahnya berbeda, menjadi sangat manis kepadanya.
“Sekarang aku akan membuktikannya. Jika wajahnya benar-benar berbeda, kemungkinannya hanya dua. Dia telanjur menjalani operasi plastik hingga wajahnya berubah. Atau, ... atau dia memang orang berbeda,” pikir Langit.
Melalui ponsel miliknya, Langit mendapati, waktu yang sudah pukul setengah dua pagi. Langit merasa, harusnya kini waktu yang tepat untuk membuktikan kecurigaannya. Langit akan membuka cadar Dita dan ia yakini Agnia dengan wajah berbeda.
Setelah melangkah dengan hati-hati, akhirnya Langit sampai di pinggir sang istri terlelap. Berbeda dari saat Langit meninggalkan kamar, kini suasana kamar dalam keadaan temaram. Di sana hanya menjadikan lampu meja di belakang Dita sebagai sumber penerangnya. Posisinya, Dita meringkuk membelakangi posisi tidur untuk Langit. Kini, Langit persis ada di depan mereka. Langit sengaja jongkok dan membuat wajahnya benar-benar berhadapan dengan wajah sang istri.
Entah kenapa, meski kedua mata sang istri dalam keadaan terpejam sempurna, apa yang akan Langit lakukan membuat pria itu gundah gulana. Dunia seorang Langit seolah berhenti berputar karenanya.
ngembleng lah biar langsung sadar tu smc mita.kenyataan jauh dari angan2.wkwkwkwkwkwkwkwk