Menjadi wanita gemuk, selalu di hina oleh orang sekitarnya. Menjadi bahan olok-olokan bahkan dia mati dalam keadaan yang mengenaskan. Lengkap sekali hidupnya untuk dikatakan hancur.
Namanya Alena Arganta, seorang Putri dari Duke Arganta yang baik hati. Dia dibesarkan dengan kasih sayang yang melimpah. Hingga membuat sosok Alena yang baik justru mudah dimanfaatkan oleh orang-orang.
Di usianya yang ke 20 tahun dia menjadi seorang Putri Mahkota, dan menikah dengan Pangeran Mahkota saat usianya 24 tahun. Namun di balik kedok cinta sang Pangeran, tersirat siasat licik pria itu untuk menghancurkan keluarga Arganta.
Hingga kebaikan hati Alena akhirnya dimanfaatkan dengan mudah dengan iming-iming cinta, hingga membuat dia berhasil menjadi Raja dan memb*antai seluruh Arganta yang ada, termasuk istrinya sendiri, Alena Arganta.
Tak disangka, Alena yang mati di bawah pisau penggal, kini hidup kembali ke waktu di mana dia belum menjadi Putri Mahkota.
Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rzone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Mari Berteman!
Suasana kediaman keluarga Arganta kala itu nampak sedikit senyap, namun juga ada sedikit kikuk. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun para pelayan mulai berbisik saat Mattias dan Alena tiba.
Intuisi Mattias tak mengatakan bila saat itu ada bahaya, namun hatinya mengatakan akan terjadi sesuatu yang menarik dibandingkan dengan bahaya.
Alena berjalan ke ruang tamu, selain untuk membiarkan Mattias untuk istirahat sejenak. Alena juga ingin mengajukan anak dari Emma untuk menjadi salah satu Ksatria Harimau putih.
Namun mata Alena sejenak terpaku saat melihat sosok wanita yang mungkin telah berkepala empat duduk berhadapan dengan sang Ayah. Alena memperhatikan wanita itu sekali lagi.
Alena tak ingin mengganggu urusan sang Ayah, dia lantas menarik Mattias keluar dari ruangan itu menuju taman kaca yang dulu digunakan orang-orang Timur untuk beristirahat.
“Ini adalah tempat istirahat yang dulu saya siapkan untuk orang-orang dari Timur, mau minum teh?” Tanya Alena, Mattias mengangguk.
Emma meminta seorang pelayan menyiapkan teh hangat, sedangkan Alena dan Mattias menunggu. Emma memperhatikan keduanya, namun ada perasaan tidak nyaman saat melihat keduanya saling bersitatap.
"Nona, saya izin pamit." Emma menunduk memberi salam, Alena mengangguk mempersilahkan bawahannya itu untuk keluar.
“Begini, saya memiliki kenalan yang sangat hebat. Dia ingin menjadi seorang Ksatria, namun usianya masih belia. Apakah anda bisa melatihnya untuk saya?” Tanya Alena memohon, Mattias terdiam memperhatikan Alena yang nampak tak ada maksud terselubung.
“Siapa?” Tanya Mattias, Alena sedikit salah tingkah. Dia takut Mattias jadi salah sangka akan kedekatan dirinya dengan orang yang dia rekomendasikan itu.
‘Tunggu! Kenapa aku jadi takut dia menjadi salah faham begini, memangnya kenapa bila dia salah faham?’ Alena menggerutu pada dirinya sendiri, sedangkan Mattias nampak masih berfikir.
“Hem, dia Putra dari Asisten saya, Emma.” Mattias nampak menarik nafas lega dan mengangguk.
“Baik, saya akan berusaha melatihnya.” Ucap Mattias, Alena kembali menggeleng.
“Bukan, bukan begitu maksudku.” Alena kini menggigit bibir bawahnya, dia menjadi harus memilih kata agar pria dihadapannya itu tidak salah paham, namun hati Alena juga bingung akan dirinya sendiri. Padahal selama ini dia tak perduli disalah fahami siapapun.
“Lantas bagaimana maksud anda?” Alena kikuk, namun untunglah seorang pelayan datang menyajikan teh dan membuat rasa gugup Alena mencair.
Mattias memperhatikan Alena yang terlihat gugup namun bukan takut, dia juga nampak berhati-hati dalam berbicara namun bukan karena dia ingin terlihat sopan atau sejenisnya.
Sungguh Mattias senang melihat Alena yang seperti itu, musim dingin itu seolah berubah jadi musim semi seketika. Hati Mattias seolah berbunga-bunga dan terasa hangat.
“Saya mengerti Alena, saya akan membawanya dan menjadikan dia sebagai salah satu pasukan ku. Namun sebelum itu, saya juga ingin mengajukan satu permintaan pada anda.” Alena terdiam dan mengangkat wajahnya. Sekarang Mattias dan Alena memang belum sedekat itu, jadi wajar bila Mattias bersikap ingin meminta bayaran pada Alena.
“Katakanlah, bila saya mampu saya akan melakukannya. Dan bila tidak, saya akan tetap berusaha sampai saat saya berada di titik di mana saya tidak mampu. Satu minggu lagi saya akan meminta Emma agar dapat mempertemukan dia dengan Putranya, untuk sisanya saya serahkan kepada anda Duke Mattias.” Mattias terdiam dan mengangkat sudut bibirnya.
“Setelah hari ini, saya ingin agar anda memanggil saya sesuai dengan nama saya. Maksud saya, saya ingin anda memanggil saya dengan nama panggilan saya saja.” Mattias tersenyum penuh arti, Alena tertegun namun ada akhirnya mengangguk setuju.
“Baiklah, saya akan memanggil anda sesuai dengan nama panggilan anda. Namun sebelum itu, kita tidak sedekat itu untuk memperlihatkannya di depan banyak orang. Sebaiknya kita berbicara santai saat berdua saja, bagaimana?” Usul lagi Alena, dia tak ingin memicu rumor aneh tentang dirinya dan Mattias untuk sementara waktu. Selain itu, Pangeran Mahkota juga sering menunjukkan perhatiannya pada Alena beberapa waktu lalu, dan bila Alena melakukan pendekatan secara terang-terangan maka bukan hanya Alena yang akan mendapatkan masalah, tapi juga Mattias.
“Baik, saya setuju. Toh, saya juga tidak suka menampakkan diri di depan banyak orang.” Alena terkekeh mendengarnya, hingga Alena teringat akan sesuatu hal yang penting.
“Mattias, apa anda pernah tertarik untuk duduk di atas singgasana?” Tanya Alena, Mattias terdiam. Itu adalah topik yang sensitif untuk dapat mereka bahas saat ini.
“Mengapa anda bertanya demikian, bila orang lain mendengarnya. Bisa saja anda dituduh sedang melakukan pemberontakan.” Mattias nampak tidak enak hati, namun Alena menggelengkan kepalanya.
“Untuk apa saya takut terdengar orang lain, bukankah anda yang merupakan sosok penghukum pengkhianat? Bila memang saya takut, saya tidak perlu berbicara sesantai ini di hadapan anda bukan?” Tanya Alena sangat percaya diri dengan ucapannya.
“Haah, anda sangat sulit ditebak Alena. Namun, bila boleh jujur. Saya sama sekali tidak tertarik dengan takhta, saya hanya ingin hidup normal tanpa beban dan menjalani keseharian saya dengan bahagia. Anda pernah melihat orang yang seperti ayam?” Tanya Mattias, Alena terdiam dan menggelengkan kepalanya.
“Sayang sekali, tapi saya ingin menjadi seperti itu. Pergi pagi mencari makan dan pulang sore saat perut kenyang, siklusnya terus seperti itu. Nampak sangat membosankan, namun kebebasan yang dimiliki ayam itu juga adalah hal yang bagus.” Alena tertegun, dan tersenyum hambar. Mungkin maksud Mattias dia ingin menjadi rakyat biasa dan menjalani keseharian seperti orang-orang biasa. Namun kata-katanya terlalu rumit dan berbelit.
“Saya tidak suka gambaran hidup seperti itu, bila memang ingin bebas. Menjadi elang agaknya lebih baik. Membelah cakrawala dan menyongsong langit yang tingginya tak terbatas. Dibandingkan dengan ayam yang memiliki sayap tapi tidak bisa terbang?” Mattias tertegun, kini dia kena skak lebih awal. Sungguh luar biasa pemikiran Alena pikir Mattias.
“Luar biasa sekali, saya tidak berpikir demikian. Saya lebih senang saat melihat orang biasa saat saya bertugas. Mereka bercengkrama tanpa beban di pesawahan, menikmati udara bebas dan tanpa ketakutan. Nampak sangat menyenangkan rasanya berfikir dengan hal terbuka seperti itu. Saya juga tak mengira bila terkadang ayam yang tak dapat terbang itu nampak indah.” Alena terkekeh mendengar penuturan Mattias tersebut, benar saja agaknya.
Memang sulit mengerti seseorang dan memahami secara mendetail tentang sosok orang lain, namun bercengkrama tanpa beban seperti itu adalah hal yang lain bagi Alena.
“Mattias, anda tahu saya merasa terbebani berbicara seperti ini dengan anda.” Jujur Alena, Mattias menunduk.
“Ah, maafkan saya bila kata-kata saya terlalu membebani anda. Saya tak bermaksud demikian, sungguh.” Mattias nampak merasa bersalah.
“Jangan memasang tampang menyedihkan seperti itu, ayo kita berteman!” Ajak Alena mengulurkan tangannya, Mattias terdiam. Dia ingin lebih dari sekedar teman, namun sepertinya pertemanan di awal akan lebih baik.
“Baiklah,” Mattias menerima uluran tangan tersebut, Alena juga menghela nafas lega dan berdiri.
“Hei kita berteman sekarangkan! Jadi kamu tidak boleh menyebarkan berita buruk tentang ku di kediaman ini ya? Aku juga sama sepertimu, aku juga ingin bebas dan merasakan perasaan luar biasa itu tau!” Alena melemparkan sepatunya ke bawah meja dan memijat kakinya yang sedikit lecet.
“Kaki anda terluka?” Mattias tertegun, Alena mengangguk. Raut panik selintas terlihat di mata pria itu, namun Alena menganggap itu sebagai hal biasa saja. Namun juga dia merasakan hatinya menghangat saat melihat kekhawatiran yang tersirat di wajah pria itu.