Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Nafisah berdiri di tengah ruangan, napasnya masih terengah-engah, sementara tangannya yang gemetar menggenggam erat kertas lusuh yang penuh catatan tentang kelemahan zombie. Nizam berdiri di sampingnya, matanya menatap serius pada peta gedung yang terbentang di atas meja kayu tua.
"Kita harus menggunakan ini secepat mungkin," Nafisah berkata, suaranya tegang, tapi penuh tekad. "Zombie-zombie itu—mereka bereaksi buruk terhadap cahaya terang dan suara keras. Ini kesempatan kita."
"Aku setuju," sahut Arka, matanya yang tajam menatap Nafisah. "Tapi bagaimana kita memastikan kita punya cukup cahaya dan suara untuk menahan mereka semua?"
Ruangan itu penuh dengan ketegangan, sementara kelompok lainnya, Delisha, Gathan, dan Jasmine, saling bertukar pandang. Udara terasa tebal dengan kecemasan. Lampu-lampu gantung di langit-langit berkedip-kedip, memberi bayangan suram yang bergerak di dinding.
Delisha, yang biasanya tenang, kini terlihat cemas. "Apa kita punya cukup lampu darurat? Dan bagaimana kalau suara keras itu justru menarik lebih banyak zombie?"
Nafisah menatapnya, lalu mengangguk, mencoba menenangkan. "Itu risiko yang harus kita ambil. Kita tidak punya pilihan lain." Namun, di dalam benaknya, dia berbisik pada dirinya sendiri: "Semoga ini berhasil. Kalau tidak..."
"Kalau kita tidak mencobanya, kita akan habis di sini," tambah Nizam, suara parau dari rasa letih yang menghantam tubuhnya. "Lebih baik kita bertarung dengan apa yang kita punya daripada menunggu mereka menerobos masuk."
Arka mengangguk pelan. "Baiklah. Kita akan pakai lampu darurat dan apa pun yang bisa bikin suara keras. Semua harus bergerak cepat. Ini hidup atau mati."
Mereka bergerak dengan kecepatan yang mendebarkan. Nafisah dan Nizam menyebarkan lampu-lampu darurat di beberapa titik strategis di seluruh gedung. Cahaya redup dari lampu senter mereka menyusuri koridor gelap yang terasa semakin sempit di bawah tekanan waktu. Napas Nafisah terasa semakin berat saat tangannya gemetar, menempatkan lampu terakhir di ujung koridor.
"Aku selesai di sini," bisik Nafisah, tapi suaranya terdengar seperti sebuah doa.
"Sudah siap?" teriak Arka dari ujung ruangan besar yang mereka jadikan pusat komando sementara.
Suara langkah kaki terdengar mendekat.
Nafisah mendongak, matanya membesar. "Mereka datang."
Detik-detik berlalu dengan napas terhenti. Zombie-zombie itu mulai terlihat, bergerak cepat seperti bayangan kelam, mata mereka menyala samar di bawah cahaya bulan yang masuk melalui jendela pecah. Nafisah menggigit bibirnya, tangannya hampir tak mampu meraih saklar lampu darurat.
"Sekarang!" seru Arka.
Kilatan cahaya terang membanjiri koridor saat lampu-lampu darurat menyala serentak, menyinari zombie-zombie yang bergerak maju. Hasilnya langsung terlihat: zombie-zombie itu mulai bergetar, tubuh mereka berbalik dengan gerakan tersendat-sendat, seolah bingung oleh cahaya. Napas Nafisah tercekat. "Berhasil..." bisiknya, hampir tak percaya.
Zombie-zombie itu terhuyung mundur, mengeluarkan raungan rendah yang terdistorsi, mereka tampak tak mampu mendekat. Nafisah tersenyum, sebuah senyum tipis yang penuh kelegaan, sementara Nizam berdiri di sampingnya, memukul lengannya pelan.
"Kau berhasil, Kak," katanya, meski matanya penuh kehati-hatian. "Tapi ini belum selesai."
Arka, yang selama ini menahan ketegangannya, akhirnya bicara. "Kita masih punya waktu. Tapi kita harus bersiap untuk yang lebih besar."
Angin dingin merayap melalui jendela yang rusak, membawa suara jauh dari luar gedung. Nafisah berdiri diam, merasakan ketidakberesan. "Ada yang aneh..." gumamnya. Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara gemuruh yang berat, seolah sesuatu yang jauh lebih besar sedang mendekat.
Delisha, yang tengah memeriksa pintu, tiba-tiba berhenti dan memucat. "Dengar," katanya dengan suara nyaris tak terdengar.
Semua terdiam.
Langkah kaki. Berat, lambat, tapi teratur. Nafisah dan Nizam saling berpandangan. "Itu bukan zombie biasa," Nafisah berbisik, tenggorokannya terasa kering.
"Apa lagi ini? Apa kita masih bisa bertahan dari ini?" pikir Arka, tapi dia menyembunyikan rasa takutnya di balik sikap tegas.
"Kita harus bergerak lebih cepat. Mungkin ini yang lebih kuat—yang disebut dalam catatan itu," kata Nizam, suaranya rendah tapi penuh ketegangan.
Semua orang membeku, merasakan ketakutan yang menggigit tulang. Langkah kaki itu semakin dekat, suaranya semakin berat dan menggema di seluruh gedung. Nafisah menelan ludah, matanya berlari ke arah jendela yang gelap.
"Jika mereka berhasil masuk... kita tidak akan punya kesempatan kedua," ujar Jasmine dengan suara pelan, tapi wajahnya mencerminkan rasa takut yang dalam.
"Kita harus siapkan suara keras," kata Arka akhirnya, menguatkan tubuhnya. "Bersiaplah. Apa pun yang datang, kita hadapi bersama."
Ketegangan semakin menebal. Suara langkah kaki itu kini begitu dekat, seakan-akan berada tepat di balik dinding. Nafisah meraih tangan Nizam, dan dengan suara bergetar, dia berbisik, "Kita akan selamat, kan?"
Namun, sebelum Nizam sempat menjawab, dinding itu retak, dan sesuatu yang besar, jauh lebih besar dari zombie biasa, mulai mendorong masuk.
Wajah mereka semua memucat.
*****
Seno berdiri di sudut ruangan gelap yang diterangi cahaya lampu darurat, memandangi tumpukan persediaan makanan yang mulai menipis. Wajahnya tampak tegang, matanya tak bisa berpaling dari deretan kaleng yang hanya tersisa beberapa. Napasnya berat, seolah setiap tarikan adalah pengingat akan waktu yang semakin sedikit. Masagena berdiri di sampingnya, memegang botol air terakhir dengan ekspresi yang sama-sama muram.
"Kita kehabisan," kata Seno dengan suara parau, menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. "Air ini… makanan ini… tidak akan bertahan lebih dari tiga hari lagi."
Masagena hanya mengangguk, matanya kosong, memandangi kaleng-kaleng itu seolah sedang melihat nasib buruk yang tak bisa dihindari. "Tiga hari," ulangnya pelan, hampir tidak percaya. "Ini mimpi buruk. Bagaimana kita bisa bertahan dengan ini?"
Suasana ruangan terasa semakin berat, udara pengap dengan ketegangan. Di luar, suara zombie berderak-derak, menyeret kaki mereka yang berat di trotoar, menciptakan pemandangan yang semakin mencekam.
Kelompok berkumpul di ruang tengah. Gathan duduk dengan tangan menyilang, ekspresi kerasnya tak berubah meski situasi semakin genting. Jasmine berdiri di dekat jendela, sesekali melirik ke luar dengan penuh kewaspadaan, seolah menunggu sesuatu yang lebih buruk.
"Kita harus tetap di sini. Gedung ini masih relatif aman," Gathan berkata tegas. "Keluar sekarang? Itu bunuh diri. Ada zombie di mana-mana!"
Seno menggeleng, matanya menyala dengan tekad. "Kalau kita tetap di sini, kita akan mati kelaparan. Apakah itu lebih baik?!" suaranya meninggi, menggema di ruangan yang sunyi.
Jasmine memandang ke arah Gathan, wajahnya penuh kebingungan. "Kita bisa menemukan jalan lain. Mungkin ada makanan di lantai-lantai lain yang belum kita jelajahi. Atau mungkin kita bisa membuat jebakan untuk mengalihkan zombie-zombie itu."
"Tidak ada jaminan," balas Seno, wajahnya mengeras. "Dan kalau mereka berhasil masuk? Kita tak punya cukup tenaga untuk bertahan lama."
Masagena menatap Seno, lalu beralih ke yang lain, suara getar di tenggorokannya tak bisa ia sembunyikan. "Seno benar. Kita harus bergerak. Setiap menit yang kita tunggu hanya akan memperburuk keadaan. Zombie-zombie itu... mereka semakin banyak."
Keheningan jatuh di antara mereka. Semua orang terdiam, tercekik oleh dilema yang menggantung di atas kepala mereka. Napas mereka terdengar jelas dalam ruangan yang semakin panas oleh ketegangan.
"Jadi, kau ingin kita mati di luar sana?" tantang Gathan, suaranya penuh cemooh. "Karena begitulah rasanya jika kita nekat keluar sekarang."
Seno menatap tajam ke arah Gathan, kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. "Aku lebih memilih mati mencoba daripada duduk di sini, menunggu mereka menerobos dan memakan kita hidup-hidup."
Jasmine akhirnya melangkah ke depan, suaranya pelan namun tegas. "Kita harus mengambil risiko, Gathan. Kalau tidak, kita semua tahu apa yang akan terjadi."
Gathan menarik napas panjang, jelas kecewa, tapi akhirnya dia mengalah. "Baiklah. Tapi kalau kalian keluar, pastikan kalian tidak kembali dalam keadaan mati."
Seno dan Masagena bersiap-siap dengan senjata seadanya—sebatang pipa besi dan obeng besar yang mereka temukan di ruangan peralatan. Keduanya saling pandang sebelum melangkah ke pintu depan.
"Jangan lakukan hal bodoh," kata Gathan tajam. "Kita butuh kalian kembali."
Masagena menarik napas panjang, tubuhnya bergetar halus di bawah beban tanggung jawab. "Kami akan baik-baik saja," jawabnya meski suaranya terdengar jauh dari yakin.
Begitu mereka melangkah keluar gedung, angin malam yang dingin menyambut mereka dengan aroma busuk yang menusuk hidung. Di kejauhan, suara erangan zombie terdengar samar, semakin mendekat.
Mereka berdua berjalan perlahan, mengendap-endap di antara reruntuhan kota yang hancur, mencoba tidak menarik perhatian. Tetapi, ketika mereka mencapai tikungan jalan utama, pemandangan yang menanti mereka membuat darah mereka membeku.
Ratusan zombie berkeliaran di jalanan, memenuhi seluruh area seperti lautan mayat hidup. Mata Seno membelalak, tubuhnya seolah tertancap di tanah.
"Astaga..." gumamnya nyaris tak terdengar. Tangannya yang menggenggam erat pipa besi mulai berkeringat.
Masagena berdiri di sampingnya, wajahnya memucat, tubuhnya mulai bergetar. "Ini... jauh lebih buruk dari yang kita kira."
Namun, sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, salah satu zombie menggerakkan kepalanya, mengendus udara, dan matanya yang hampa berbalik ke arah mereka. Seno dan Masagena saling pandang, ketakutan mulai menjalar.
"Masagena... kita harus lari," bisik Seno dengan suara tegang. Tapi sebelum mereka bisa bergerak, seluruh kerumunan zombie itu mulai bergerak serentak, mengarah langsung ke tempat mereka berdiri.
Dan di saat itu, mereka tahu, tak ada lagi jalan kembali.