Di balik kehidupan mereka yang penuh bahaya dan ketegangan sebagai anggota organisasi rahasia, Alya, Alyss, Akira, dan Asahi terjebak dalam hubungan rumit yang dibalut dengan rahasia masa lalu. Alya, si kembar yang pendiam namun tajam, dan Alyss, yang ceria serta spontan, tak pernah menyangka bahwa kehidupan mereka akan berubah drastis setelah bertemu Akira dan Asahi, sepupu yang memimpin di tengah kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azky Lyss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Pertemuan tak Terduga
Setelah kejadian malam itu, Asahi dan Alya kembali ke rutinitas mereka sehari-hari. Meski luka di lengan Asahi sudah sembuh, perasaan di antara mereka mulai terasa berbeda. Ada sesuatu yang tak terucap, sesuatu yang tumbuh di bawah permukaan dari setiap percakapan ringan dan setiap tatapan yang tak sengaja tertangkap.
Suatu pagi, saat matahari baru mulai naik, Akira menyatukan mereka semua di ruang latihan. Kali ini, suasananya lebih santai dibandingkan dengan intensitas misi yang mereka jalani sebelumnya. Di tengah kesibukan organisasi, hari ini mereka diberi waktu untuk sedikit beristirahat. Namun, Akira tidak membiarkan mereka sepenuhnya bersantai. Dia selalu punya ide untuk membuat hari lebih "produktif".
“Kita akan mengadakan sesi latihan tanding pagi ini. Bukan sesuatu yang serius, hanya untuk menjaga reflek tetap tajam,” katanya sambil tersenyum kecil.
Alya melirik ke arah Asahi, mencoba membaca ekspresinya. Namun, Asahi hanya mengangkat bahu dan tersenyum tipis. “Aku sudah lama ingin meninju sesuatu. Latihan ini akan jadi momen yang menyenangkan.”
Akira menyiapkan ruangan latihan yang penuh dengan teknologi terbaru. Sistem sensor dan simulasi virtual berfungsi untuk memantau dan meningkatkan setiap gerakan mereka, membuat mereka selalu waspada.
Alya mengambil posisi di sisi ruangan, mengamati persiapan. Hari ini dia tidak ikut bertanding, hanya mengawasi dan memastikan semua berjalan lancar. Ada sesuatu yang menarik saat melihat Akira dan Asahi berdiri berhadapan. Mereka berdua memiliki gaya bertarung yang berbeda: Akira yang selalu tenang dan mengandalkan otak serta perencanaan, sementara Asahi lebih impulsif dan mengandalkan kekuatan serta insting.
“Siap?” tanya Akira, memasang kuda-kuda.
Asahi mengangguk tanpa bicara, senyumnya makin lebar. Detik berikutnya, pertempuran dimulai. Kedua sepupu itu bergerak cepat, hampir tak terlihat oleh mata biasa. Mereka menggabungkan kekuatan fisik dengan strategi yang cermat, membuat pertandingan semakin menarik.
Sesekali, Asahi melancarkan serangan yang kuat, namun Akira dengan cerdas menghindari setiap pukulan, membalas dengan gerakan yang halus namun tajam. Suara tawa dan sesekali ejekan ringan terdengar di antara mereka, membuat suasana terasa lebih hidup.
“Kau terlalu lambat, Asahi!” seru Akira sambil menghindari sebuah tendangan.
“Dan kau terlalu banyak berpikir!” balas Asahi dengan cepat.
Alya memperhatikan dengan cermat, senyum kecil menghiasi wajahnya. Dia menyadari betapa dalam ikatan antara kedua sepupu ini. Meskipun mereka bertarung, ada rasa saling percaya yang terjalin di antara setiap serangan dan pertahanan.
Namun, di satu titik, Asahi mulai melambat. Luka lamanya meski kecil, masih sedikit terasa ketika ia memutar lengannya untuk menyerang. Akira segera menyadari hal itu dan menghentikan gerakannya.
“Kau masih belum sepenuhnya pulih, Asahi,” kata Akira, nada suaranya sedikit lebih serius.
“Aku baik-baik saja,” jawab Asahi, mencoba menyangkal, meskipun Alya bisa melihat raut wajahnya yang menunjukkan ketidaknyamanan.
Alya tak tahan lagi untuk hanya diam di tempatnya. Dia mendekati mereka berdua, tatapannya terfokus pada Asahi. “Kau harus istirahat,” katanya tegas. “Jangan memaksakan diri.”
Asahi, yang biasanya keras kepala, kali ini merasa sedikit terkalahkan. Dia mendesah dan menatap Alya dengan senyum setengah hati. “Kau benar. Aku tak ingin membuat masalah lagi.”
Sikap tegas Alya membuatnya sedikit tersipu, tapi dia tidak menunjukkan perasaannya dengan jelas. Dia hanya memandang Alya sesaat, lalu berbalik dan mengangkat tangannya menyerah. “Baiklah, aku istirahat.”
Akira tertawa kecil sambil melangkah mundur. “Sepertinya Alya yang benar kali ini,” katanya. “Istirahatlah sebentar, kita lanjutkan lagi nanti.”
Asahi berjalan menuju pinggir ruangan, sementara Alya masih memperhatikannya dari kejauhan. Mereka berdua duduk bersebelahan di lantai ruang latihan, tanpa banyak kata. Namun, di antara keheningan itu, ada rasa saling memahami yang tumbuh, meskipun belum ada yang benar-benar diucapkan.
“Mungkin aku memang terlalu ceroboh,” kata Asahi akhirnya, memecah keheningan.
Alya melirik ke arahnya, menahan senyum. “Setidaknya kau mengakui. Itu kemajuan besar,” jawabnya setengah bercanda.
Asahi tertawa pelan, menggosok lengan yang sedikit terasa nyeri. “Aku tidak terbiasa mengandalkan orang lain.”
Alya tidak langsung menanggapi, tapi tatapannya tetap tenang. “Kita tidak bisa selalu melakukan segalanya sendiri, Asahi. Terkadang, menerima bantuan adalah bagian dari menjadi kuat.”
Meskipun kata-kata itu terdengar sederhana, ada makna yang lebih dalam di baliknya. Asahi, yang biasanya berani dan penuh percaya diri, untuk sesaat merasakan bahwa di balik kerasnya kehidupan mereka, selalu ada ruang untuk saling menjaga. Dan meskipun perasaan itu belum diungkapkan secara jelas, kedekatan mereka semakin terasa.
Mereka duduk di sana, tanpa tekanan organisasi, tanpa bayang-bayang tugas yang berat. Hanya dua orang yang, meski enggan mengakuinya, mulai membangun sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan. Saling berbagi keheningan, seolah kata-kata tidak lagi diperlukan.