Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I-itu ...
Setelah Andrian dan Marissa menikah, Andrian memang berusaha untuk tidak memikirkan Yaya sama sekali. Apalagi sekarang ia sudah menikah jadi ia tak perlu kucing-kucingan lagi untuk bertemu ataupun bercinta dengan Marissa sebab kini mereka justru sudah tinggal bersama. Untuk sementara mereka tinggal di rumah orang tua Andrian. Itu permintaan Nurlela sendiri. Apalagi rumah Marissa kini sedang direnovasi agar lebih luas. Apartemen Andrian sudah dijual. Itu atas ide Marissa yang tidak ingin tinggal di tempat dimana Andrian dan Yaya pernah hidup bersama. Meskipun mereka tak sampai melakukan hubungan suami istri, tapi Marissa tetap merasa cemburu karena ia yakin di sana banyak kenangan antara Andrian dan Yaya. Andrian yang tak ingin memperpanjang masalah pun memilih menjual apartemennya dan uangnya digunakan untuk membiayai renovasi rumah Marissa.
"Sa, lusa Mama mau kondangan di gedung, tapi Mama nggak ada baju yang cocok untuk kondangan ke sana. Mama boleh 'kan ke butik kamu siang ini?" ucap Nurlela membuat Marissa seketika gugup.
"Duh, sayang sekali Ma, gaun terbaru di butik udah pada di booking pelanggan. Adanya stok lama semua. Nggak bagus. Nggak cocok untuk Mama. Apa kata orang kalo liat Mama pake gaun model lama," ujar Marissa dengan memasang ekspresi merasa bersalah.
Nurlela menghembuskan nafas kasar. "Yah, jadi gimana dong? Ah, gini aja, kamu kasi Mama uang aja biar Mama beli bajunya di butik lain! Kamu 'kan menantu kesayangan Mama. Pemilik butik juga. Apa kata orang kalo Mama yang seorang mertua pemilik butik besar malah nggak pake baju biasa aja." Nurlela berusaha membujuk.
"Kan nggak ada yang tau kalau aku itu menantu Mama?"
"Kata siapa? Kan para tetangga pada tau. Mama malu lah, Sa, kalau pake baju kondangan itu-itu aja," ujar Nurlela memasang wajah sedih.
Marissa menghembuskan nafas pelan. Ia akhirnya mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dalam dompetnya dan menyerahkannya pada Nurlela.
Nurlela awalnya sumringah, namun saat melihat jumlahnya, wajahnya tiba-tiba ditekuk.
"Lho, Sa, kok cuma 500 ribu sih? Mana cukup. Baju di butik kamu akan rata-rata di atas satu juta. Masa' kamu suruh Mama beli baju 500 ribuan? Kamu taulah gimana kualitas baju seharga itu," ketus Nurlela kesal.
"Maaf, Ma, bukan nggak mau kasi, tapi uang cash aku cuma segitu," ucap Marissa dengan memasang wajah meyakinkan.
"Ya udah, transfer aja 'kan bisa. Bisa ke rekening Mama, ke dana, OVO, pake Qris juga bisa. Zaman sekarang tuh nggak usah pusing-pusing. Nggak ada cash, bisa transfer. Sebentar, Mama kirim nomor rekening Mama. Kalo kamu mau kirim pake dana atau OVO, pake nomor Mama yang biasa."
Tring ...
Sebuah pesan berisi deretan angka yang merupakan nomor rekening Nurlela masuk ke ponsel Marissa. Tak punya pilihan lain, akhirnya Marissa pun mentransfer sejumlah uang pada sang ibu mertua.
"Nah, gitu dong! Makasih ya, Sa. Kamu memang menantu terbaik Mama. Nggak kayak si karyawan restoran itu. Untung aja udah Rian lepehin tuh anak. Kalo nggak, ih, males banget punya menantu cuma keset kaki orang. Padahal anak dokter pun." Nurlela berujar sok. Dia lupa, padahal Andrian pun tak jauh berbeda. Ia pun hanya seorang karyawan divisi, bukan pemilik usaha alias pengusaha.
...***...
"Muka kamu kenapa ditekuk gitu?" tanya Andrian saat keduanya sama-sama berjalan menuju mobil mereka masing-masing.
"Tau ah! Lagi kesel," ketus Marissa.
"Kesal kenapa?"
Mata Marissa memicing. Ia ingin menceritakan perihal ibunya yang meminta uang seenaknya saja. Namun hal itu ia urungkan. Ia tak mau Andrian jadi ilfil padanya hanya karena ibunya yang meminta uang.
"Nggak papa."
"Kalian udah mau berangkat kerja?" tanya Pak Priambodo yang tiba-tiba berdiri di belakang mereka.
Andrian dan Marissa menoleh. Keduanya tersenyum. Namun bila Andrian tersenyum tipis, maka Marissa tersenyum lebar.
"Iya, Pa." Itu suara Marissa. Sementara Andrian diam saja. Memang ia tidak begitu dekat dengan ayah tirinya. Namun ia tidak membencinya juga.
"Kalau begitu, hati-hati di jalan ya." Pak Priambodo tersenyum lebar. Marissa mengangguk. Setelah itu, pak Priambodo pun segera masuk ke dalam mobilnya sebab ia pun akan pergi bekerja.
"Aku berangkat dulu ya, Sayang." Marissa mengecup pipi Andrian. Andrian tersenyum dan balas mengecup bibir Marissa. Tanpa mereka sadari, kegiatan mereka itu menjadi bahan perhatian pak Priambodo yang sudah berada di dalam mobil. Ia memperhatikan interaksi keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan.
...***...
Atas permintaan ibunya, Yaya hari ini datang ke rumah sakit untuk mengantarkan makan siang Danang. Yaya pun rela turun ke dapur sendiri untuk membuatkan makanan spesial untuk sang ayah.
Setibanya di rumah sakit, Yaya berjalan melintasi koridor menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantai dimana ruang kerja sang ayah berada. Baru saja ia masuk ke lift, sebuah suara menarik perhatiannya. Saat wajahnya mendongak, ia sedikit mengerutkan dahi.
"Rayana?"
"Anda?"
"Dokter Elvan. Kau lupa?" Laki-laki itu tersenyum lebar. Mata Yaya pun terbelalak.
"Eh, Anda beneran dokter Elvan? Kenapa Anda berada di sini?" Yaya akhirnya ingat siapa laki-laki itu. Laki-laki itu merupakan dokter di sebuah rumah sakit dimana ia pernah ikut mengantarkan korban kecelakaan beruntun tempo hari.
Dokter Elvan terkekeh. "Aku ada kerjaan sedikit di sini. Dan kamu, kenapa di sini? Ah, kamu pasti ingin membesuk seseorang ya? Keluargamu ada yang sakit?" tanya dokter Elvan tepat setelah pintu lift tertutup.
Yaya menggeleng. "Bukan."
"Oh, teman mungkin? Atau seseorang yang spesial?"
"Em, seseorang yang spesial."
Dokter Elvan tersenyum tipis. Mendengar jawaban Yaya membuatnya sedikit kecewa.
Hening. Beberapa saat kemudian, pintu lift pun terbuka.
"Kau juga ingin ke lantai ini?" Dokter Elvan heran sebab di lantai itu merupakan deretan ruangan dokter yang masuk jajaran petinggi rumah sakit. Rata-rata dokter yang menghuni ruangan itu merupakan dokter senior paruh baya. Dokter Elvan menatap aneh pada Yaya, namun ia tidak menyadarinya.
Yaya mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi."
Dokter Elvan pun mengangguk. Yaya pun segera berlalu dan masuk ke salah satu ruangan. Tujuan Elvan adalah ruangan lainnya. Saat melintasi ruangan yang Yaya masuki tadi, tanpa sengaja ia melihat Yaya memeluk seorang dokter paruh baya. Dokter paruh baya itu mencium puncak kepala Yaya membuat dokter Elvan tersenyum tipis. Ia menggelengkan kepalanya dan segera berlalu dari sana.
...***...
Sore harinya, Yaya tampak sedang dalam perjalanan pulang. Ia mengendarai mobil terbarunya. Saat di lampu merah, ia berhenti . Tanpa ia sadari, mobil Marissa pun berhenti tepat di sampingnya. Marissa melihat mobil mewah Yaya dengan pandangan takjub. Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah Yaya yang saat itu sedang mengenakan kacamata hitamnya. Ia tidak mengenalinya sama sekali.
Namun Yaya yang merasa matanya gatal pun melepaskan kacamata hitamnya. Ia menarik selembar tisu dari atas dashboard dan mengusap matanya. Marissa yang melihat itu sontak saja membelalakkan matanya.
"I-itu ... Yaya?"
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...
emang klu perempuan sama laki dekatan lngsung dibilang ada hubungan..Nethink aja nih
satu keluarga nih dicobain semuaa