Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan yang Memuncak
Hari pameran semakin dekat, dan ketegangan di antara Keisha, Raka, dan Andi semakin nyata. Setiap kali mereka berkumpul untuk berdiskusi, suasana menjadi semakin kaku. Keisha berusaha menjaga suasana tetap ceria, tetapi dia bisa merasakan pergeseran di antara keduanya, terutama saat Raka sering melontarkan sindiran kepada Andi.
“Jadi, Andi, sepertinya kamu sangat bersemangat tentang tema keintiman. Apakah itu karena kamu ingin menunjukkan dirimu sebagai ‘ahli’?” Raka berkata dengan nada sinis saat mereka merencanakan layout pameran.
Andi mengangkat alisnya, tampak tidak terpengaruh. “Aku hanya ingin menampilkan karya yang bisa menyentuh orang. Seni adalah tentang emosi, Raka, bukan sekadar penampilan.”
Keisha berusaha mengalihkan perhatian mereka. “Bagaimana kalau kita fokus pada karya kita dan apa yang ingin kita sampaikan? Mari kita bicarakan tentang bagaimana kita bisa mempresentasikan setiap karya dengan cara yang menarik.”
Namun, saat diskusi berlanjut, Keisha merasa frustrasi. Raka tampak semakin defensif, sementara Andi tidak mau kalah. Dia mengingatkan diri untuk tetap tenang, tetapi saat mereka melanjutkan, sebuah ide melintas di pikirannya.
“Bagaimana jika kita mengadakan sesi pemotretan di studio?” Keisha tiba-tiba mengusulkan. “Kita bisa menciptakan atmosfer yang kita inginkan untuk menunjukkan karya seni kita.”
Raka terlihat ragu. “Pemotretan? Seperti apa yang kamu maksud?”
“Ya, kita bisa menciptakan situasi di mana karya kita terintegrasi dengan suasana intim. Misalnya, mengundang beberapa model untuk berpose dengan karya kita, sehingga bisa menciptakan interaksi,” jawab Keisha.
Andi tersenyum, menyukai ide itu. “Itu bisa jadi menarik! Kita bisa bermain dengan pencahayaan dan cara pengambilan gambar untuk menekankan emosi.”
Raka masih tampak ragu, tetapi dia akhirnya setuju. “Baiklah, mari kita coba. Tapi kita perlu memastikan bahwa itu tidak melewati batas yang kita sepakati.”
Keisha merasa lega. “Sempurna! Mari kita atur jadwal pemotretan. Aku tahu tempat yang bisa memberikan suasana yang tepat untuk ini.”
Hari-hari berlalu, dan mereka mulai mempersiapkan pemotretan. Keisha berusaha untuk tetap positif, meskipun dia merasakan ketegangan yang terus meningkat antara Raka dan Andi. Saat mereka tiba di studio, suasana di dalamnya tampak gelap dan dramatis, menciptakan nuansa yang tepat untuk eksplorasi keintiman.
“Wow, tempat ini luar biasa,” kata Andi, mengamati setiap sudut studio. “Kita bisa melakukan banyak hal di sini.”
Raka mengangguk, tetapi wajahnya tampak tegang. “Ayo kita mulai sebelum suasana berubah menjadi canggung,” ujarnya, mencoba mengendalikan situasi.
Keisha mengatur model dan mulai menjelaskan konsep yang mereka inginkan. “Kita ingin menangkap esensi dari keintiman dan koneksi. Jadi, silakan berinteraksi satu sama lain dan bawa perasaan itu ke dalam gambar.”
Setelah beberapa pengambilan gambar, suasana mulai membaik. Raka mulai merasa lebih nyaman, tetapi Keisha bisa merasakan bahwa dia tetap waspada terhadap Andi.
Saat sesi pemotretan berlangsung, Keisha merasakan momen-momen intim di antara model, dan dia tidak bisa mengabaikan betapa menariknya interaksi itu. Dia berusaha menciptakan suasana yang bebas, di mana model bisa mengekspresikan diri mereka tanpa merasa tertekan.
“Keisha, lihat! Kita bisa mendapatkan shot yang bagus di sini,” teriak Andi, menarik perhatiannya.
Keisha berjalan ke arahnya dan melihat betapa dinamisnya interaksi model-model itu. “Ya, itu sempurna! Teruskan seperti itu!” ucapnya, merasa terinspirasi.
Saat mereka menyelesaikan sesi pemotretan, Raka terlihat semakin gelisah. “Keisha, kita harus menjaga hal-hal tetap profesional,” katanya, nada suaranya tegas.
“Raka, ini adalah seni. Kita harus membiarkan perasaan itu muncul,” balas Keisha, berusaha mempertahankan suasana.
Tiba-tiba, Andi menambahkan, “Seni dan kehidupan kadang sulit dipisahkan. Kita harus berani mengeksplorasi keduanya.”
Keisha melihat ke arah Andi, dan untuk sesaat, dia merasakan ketegangan yang sama. “Benar. Dan kadang kita perlu berani mengambil langkah menuju yang tidak nyaman untuk menemukan keindahan.”
Raka menggigit bibirnya, tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya. “Kita harus fokus pada karya, bukan pada emosi kita,” katanya, nada suaranya mulai melunak.
Keisha merasa semakin terjebak dalam perasaan yang rumit. “Kita semua di sini untuk menciptakan sesuatu yang luar biasa. Mari kita gunakan energi ini untuk karya kita,” ujarnya, berusaha meredakan ketegangan.
Setelah pemotretan selesai, mereka duduk bersama untuk melihat hasilnya. Keisha merasakan suasana di antara mereka semakin kaku. “Kita perlu mendiskusikan hasilnya dan bagaimana kita bisa mempresentasikannya di pameran,” katanya, mencoba kembali ke jalur yang lebih positif.
Namun, Raka tiba-tiba bangkit. “Aku rasa aku butuh waktu sendirian,” ucapnya, dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Andi menatap Keisha, dan untuk pertama kalinya, dia melihat keraguan di wajahnya. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya, suara lembutnya penuh perhatian.
Keisha menghela napas. “Aku hanya ingin semua ini berjalan lancar. Aku tidak suka melihat Raka merasa tertekan seperti ini.”
Andi melangkah lebih dekat, “Keisha, kamu tidak bisa mengontrol bagaimana orang lain merasa. Semua orang punya perasaan dan reaksi mereka sendiri. Yang terpenting adalah apa yang kamu rasakan.”
Tatapan Andi penuh harapan, dan Keisha merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. “Aku… aku hanya ingin menjaga semuanya tetap utuh,” katanya, suara serak.
“Kadang untuk menjaga hubungan, kita perlu bersikap jujur. Apa yang sebenarnya kamu rasakan tentang kita?” Andi bertanya, mendekatkan diri lebih lagi.
Keisha menatap Andi dalam-dalam. Dia merasa kebingungan dalam hatinya, tetapi ada sesuatu yang menariknya untuk lebih dekat. “Aku… tidak tahu. Ada sesuatu yang berbeda antara kita, dan itu membuatku bingung,” ucapnya, suaranya bergetar.
Andi tersenyum, tetapi Keisha bisa merasakan ada ketegangan yang mendalam di antara mereka. “Tidak apa-apa untuk bingung. Kadang, kita perlu mengambil risiko untuk menemukan apa yang sebenarnya kita inginkan,” katanya pelan.
Keisha terdiam, memikirkan kata-kata Andi. Saat itu, dia tahu bahwa ketegangan ini akan menjadi titik balik dalam hubungan mereka, dan keputusan yang dia buat akan membentuk masa depan mereka.
Hari-hari berlalu, dan suasana di studio mulai terasa lebih santai. Namun, di dalam hati Keisha, ada ketegangan yang tak kunjung reda. Setiap kali dia bertemu Andi, dia merasa semakin dekat, tetapi ingatan tentang Raka dan komitmennya sebagai istri mengingatkannya akan batasan yang harus dia jaga.
Suatu sore, Keisha dan Andi berada di studio untuk mengedit foto-foto hasil pemotretan. Mereka duduk bersebelahan di meja, suasana yang intim mulai terasa. Keisha berusaha fokus pada layar, tetapi pikirannya melayang.
“Keisha,” suara Andi memecah keheningan, “apa kamu pernah berpikir tentang bagaimana kita bisa membawa pesan karya kita ke level berikutnya?”
Keisha menatap Andi, terjebak antara ketertarikan dan tanggung jawab. “Aku… aku pikir kita harus tetap pada tema keintiman. Itu penting untuk pameran ini.”
Andi mengangguk, tetapi tatapannya tidak mengalihkan perhatian dari Keisha. “Tapi keintiman itu bukan hanya tentang karya seni, kan? Kadang, itu juga tentang hubungan kita.”
Keisha merasakan jantungnya berdegup kencang. “Andi, kita perlu berhati-hati. Aku sudah menikah dengan Raka. Kita tidak bisa melewati batas yang akan merusak segalanya,” tegasnya, berusaha untuk bersikap serius.
Andi terlihat sedikit terkejut, tetapi dia segera merespons. “Aku menghormati pernikahanmu, Keisha. Tapi hubungan kita di sini juga penting. Aku hanya ingin agar kita bisa berkomunikasi lebih terbuka.”
“Ya, tapi ada batasan yang harus kita jaga,” jawab Keisha, suaranya menegaskan.
Andi terdiam sejenak, lalu berkata, “Kadang aku merasa kita punya koneksi yang lebih dari sekadar rekan kerja. Mungkin kita bisa menjelajahi itu sedikit lebih dalam.”
Keisha merasakan gelombang ketidaknyamanan. “Andi, ini bukan hanya tentang kita. Ada Raka yang harus aku pikirkan. Dia suamiku, dan aku tidak ingin menyakiti perasaannya.”
Andi menghela napas, seolah mengerti beban yang ada di bahunya. “Aku mengerti. Tapi apa kamu yakin perasaanmu tidak sedikit terpengaruh oleh situasi yang kita hadapi sekarang?”
Keisha tidak bisa menjawab langsung. Dia merasa bingung antara apa yang diinginkannya dan apa yang seharusnya dia lakukan. “Aku… tidak tahu. Aku hanya merasa terjebak,” katanya, suaranya bergetar.
Andi mengulurkan tangannya, menyentuh lengan Keisha. “Kita semua punya dilema, Keisha. Tapi kadang kita perlu mengeksplorasi apa yang sebenarnya kita rasakan, bahkan jika itu menakutkan.”
Keisha merasakan sentuhan hangat Andi, dan sejenak dia terhanyut dalam perasaannya. Namun, suara hatinya berteriak mengingatkannya tentang Raka. “Andi, aku harus pergi,” ujarnya cepat, menarik tangannya kembali.
Andi terlihat kecewa, tetapi dia tidak memaksakan diri. “Baiklah. Tapi ingat, aku di sini jika kamu ingin bicara.”
Keisha beranjak pergi dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa dia harus menetapkan batasan yang jelas, tetapi ketertarikan dan kedekatannya dengan Andi terus menggoda hatinya.
Saat dia kembali ke rumah, suasana di dalamnya terasa tenang. Raka sedang duduk di sofa, membaca buku, tampak tidak terganggu oleh rutinitas sehari-hari. Keisha duduk di sampingnya dan berusaha tersenyum.
“Hai, sayang. Bagaimana harimu?” tanya Raka, meletakkan bukunya.
“Baik-baik saja. Sedikit sibuk dengan persiapan pameran,” jawab Keisha, berusaha terdengar santai.
Raka mengangguk. “Bagus. Kita perlu meluangkan waktu untuk bersantai setelah pameran ini selesai. Bagaimana kalau kita pergi berlibur?”
Keisha tersenyum, tetapi hatinya merasa berat. “Itu ide yang bagus. Kita memang perlu waktu bersama.”
Saat malam tiba dan Raka tertidur, Keisha terjaga, memikirkan kata-kata Andi dan betapa pentingnya batasan dalam hidupnya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus membiarkan perasaannya mengaburkan kenyataan.
Dia mengeluarkan ponselnya dan menulis pesan kepada Andi.
“Maafkan aku jika aku terlalu jauh. Aku ingin kita tetap fokus pada karya dan menjaga batasan yang ada. Mari kita lakukan ini dengan cara yang benar.”
Keisha menekan tombol kirim, berharap bisa menenangkan hatinya. Dia tahu keputusan ini penting, dan dia bertekad untuk menjaga pernikahannya dengan Raka tetap utuh.
Tetapi, saat dia mencoba untuk tidur, bayangan Andi tetap menghantui pikirannya. Keduanya terjebak dalam ketegangan yang tidak bisa dihindari, dan Keisha tahu, jalan yang harus dia pilih akan menentukan arah hidupnya ke depan.
---
Keisha tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Andi. Setiap kali dia berada di studio, setiap tatapan dan senyuman Andi terasa semakin memabukkan. Dia berusaha fokus pada pekerjaan, tetapi pikirannya kembali melayang. Ketika Raka mengajaknya berlibur, Keisha merasa bersalah.
Sore itu, saat Keisha berada di studio dengan Andi, suasana di antara mereka terasa lebih tegang dari biasanya. Andi baru saja mengunggah beberapa foto hasil pemotretan mereka, dan banyak orang memberikan pujian. Keisha berusaha tersenyum, tetapi hatinya tidak sepenuhnya berpartisipasi.
“Keisha,” Andi memecah keheningan, “aku tahu kita sudah membahas batasan, tetapi aku merasa ada sesuatu yang lebih di antara kita. Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa ini hanya tentang pekerjaan.”
Keisha menatap Andi, jantungnya berdegup kencang. “Andi, aku… Aku tidak bisa mengabaikan Raka. Dia suamiku, dan aku tidak ingin menyakiti dia atau menghancurkan hubungan kami.”
Andi melangkah lebih dekat, suaranya lembut namun penuh tekad. “Tapi kadang-kadang, kita perlu mengeksplorasi perasaan kita, Keisha. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Hidup ini terlalu singkat untuk menahan diri.”
Keisha merasakan ketegangan di antara mereka. “Kita memang perlu berbicara, tetapi kita harus menemukan cara yang benar. Kita tidak bisa melewati batasan ini.”
“Kenapa kita tidak meluangkan waktu untuk diri kita sendiri? Mungkin kita bisa pergi ke suatu tempat, hanya berdua,” usul Andi, matanya berbinar penuh harapan.
Keisha merasa terjepit antara dua dunia. Dia tahu Andi mungkin menawarkan sesuatu yang berbeda, tetapi ada komitmen yang harus dia jaga. “Aku… aku tidak yakin itu ide yang baik,” katanya pelan.
“Kenapa tidak? Kita sudah cukup dekat, dan aku merasa kita bisa membuat momen ini berarti. Cobalah untuk membayangkannya,” kata Andi, mendekat lagi, suaranya bergetar lembut.
Keisha merasa sulit untuk bernapas. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, antara hasrat dan tanggung jawab. Dia berusaha mengingat semua kenangan indah bersama Raka, tetapi saat Andi mendekat, ingatan itu mulai kabur.
“Keisha, aku ingin tahu apa yang kamu rasakan. Apa kamu tidak merasakan ketertarikan yang sama?” tanya Andi dengan nada mendesak.
“Kalau kamu tanya, ya, aku merasakan ketertarikan itu. Tapi kita harus sadar bahwa ini adalah jalan yang berbahaya. Kita harus tahu di mana batasnya,” jawab Keisha, berusaha tetap tenang.
“Jadi, kita tidak bisa meluangkan waktu untuk satu sama lain? Hanya sekali?” Andi menegaskan, tatapannya intens.
Keisha menghela napas. “Andi, aku harus pulang. Raka pasti sudah menunggu,” katanya, berbalik untuk pergi.
“Keisha, tunggu! Kenapa kita tidak bisa mencoba? Aku yakin kita bisa menemukan cara untuk menjaganya tetap rahasia,” Andi berusaha meyakinkan.
“Tidak!” Keisha membalikkan badan, suaranya tegas. “Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang perasaan Raka. Dan aku tidak ingin membuatnya terluka. Aku tidak bisa melakukan ini.”
Andi terlihat terpukul. “Tapi kita punya kesempatan ini. Aku tidak ingin menyesal nanti.”
“Dan aku tidak ingin menyesal karena melewati batas yang seharusnya tidak kita lewati. Aku sudah membuat pilihan untuk bersamanya,” jawab Keisha, matanya berbinar dengan ketegasan.
Keisha meninggalkan studio, merasakan beban yang berat di dadanya. Ketika dia pulang, suasana di rumah terasa hampa. Raka sedang duduk di ruang tamu, tampak asyik dengan permainan videonya. Dia menyapa Keisha dengan senyum, tetapi Keisha merasa tidak nyaman.
“Hai, sayang. Kamu pulang lebih cepat,” kata Raka, menyalakan lampu. “Bagaimana hasil pemotretan hari ini?”
“Baik, kami mendapatkan beberapa foto yang bagus,” jawab Keisha, berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa berat.
“Baguslah. Aku pikir setelah pameran ini, kita perlu merayakan. Mungkin pergi ke tempat makan favoritmu?” Raka mengusulkan.
Keisha menatap Raka, merasakan rasa bersalah yang menyelimuti hatinya. “Iya, itu ide yang bagus,” katanya sambil berusaha mengalihkan pikirannya dari Andi.
Malam itu, Keisha terbaring di tempat tidur, tidak bisa tidur. Kenangan tentang Andi dan percakapan mereka terus menghantui. Dia tahu dia harus menetapkan batasan, tetapi perasaan yang tumbuh di dalam dirinya tidak bisa diabaikan.
Raka meraih tangan Keisha, membangunkannya dari lamunan. “Kamu baik-baik saja, Keisha? Kamu terlihat cemas.”
“Ya, aku hanya… memikirkan banyak hal,” jawabnya, berusaha tersenyum.
Raka menariknya lebih dekat. “Ingat, kita bisa membicarakan apa saja. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu.”
Keisha menatap Raka, melihat kejujuran dalam matanya. Dia menyadari bahwa dia harus berjuang untuk menjaga hubungan mereka tetap kuat. “Aku tahu, Raka. Terima kasih sudah selalu mendukungku.”
Mereka berdua terbaring di sana, saling menghangatkan hati, tetapi Keisha tahu bahwa dilema ini belum sepenuhnya teratasi. Saat tidurnya tak kunjung datang, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga komitmennya dan berfokus pada cinta yang telah dia bangun bersama Raka, meskipun godaan dari Andi selalu menggoda di balik pikirannya.