Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 : Nyaris Terkepung
Matahari bersinar terik di atas jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta. Cahaya matahari memantul dari aspal hitam yang hampir berkilauan karena panas, membuat udara di sekitar tampak bergetar. Suasana jalan tol begitu hening, tetapi keheningannya terasa seperti bom waktu yang siap meledak.
Raisha menggenggam erat setir mobilnya. Matanya lurus menatap jalan di depan, penuh kewaspadaan. Suara mesin mobil yang halus membuat ketegangan di dalam kabin semakin terasa. Ia tahu, waktu tidak berpihak pada mereka.
Arya, yang duduk di kursi penumpang, sibuk memantau perangkat kecil yang menampilkan grafik gelombang kendali di layar. Tangan kanannya bergetar samar saat ia menunjuk ke layar. “Raisha, gelombang kendali meningkat cepat. Semakin dekat. Kita mungkin masih diincar.”
Raisha tetap fokus. Keringat membasahi pelipisnya, tetapi ekspresinya tidak berubah. “Aku sudah menduganya. Kita harus sampai ke bandara sebelum terkepung.” Suaranya terdengar datar, tetapi penuh tekad.
Udara dalam mobil mendadak terasa lebih panas ketika suara dengungan rendah mulai terdengar, seperti lebah raksasa yang mendekat dari kejauhan. Arya mendongak melalui jendela, matanya menyipit menahan pantulan sinar matahari.
“Apa itu?” tanyanya, meskipun firasat buruk sudah mengendap dalam hatinya.
Raisha melirik kaca spion. Wajahnya mengeras saat melihat bayangan hitam melayang rendah di belakang mobil mereka. “Drone,” gumamnya, penuh kewaspadaan. Sebuah drone hitam dengan desain ramping melayang-layang seperti predator, lampu merah kecil di bawahnya berkedip-kedip, jelas sedang memantau target.
Arya mulai panik. “Dengungannya semakin keras! Apa kita tidak bisa mempercepat?” Matanya bergerak cepat antara layar di tangannya dan drone yang semakin mendekat.
Raisha menghela napas berat, lalu menekan beberapa tombol di dashboard. Layar navigasi di tengah dashboard menampilkan jalur alternatif, tetapi jalur itu lebih sempit dan penuh tikungan tajam.
Raisha segera mengatur mode otomatis. Roda kemudi di depan Raisha mulai bergerak sendiri. Sementara itu, Raisha membuka laci dashboard, mengeluarkan sebuah pistol kecil berwarna hitam dengan peredam yang sudah terpasang.
Arya melongo. “Apa kau benar-benar akan menembaknya?”
“Kita tidak punya pilihan,” jawab Raisha tegas. “Jika drone itu memantau kita lebih lama, kita mungkin dalam bahaya. Kita mungkin tidak akan sampai ke bandara.”
Ia membuka jendela sedikit, membiarkan angin panas siang menerobos masuk ke dalam kabin. Raisha mengangkat pistol, membidik drone yang terus mendekat.
Tembakan pertama meleset, hanya mengenai udara kosong. Drone itu dengan cekatan melakukan manuver tajam, menghindari peluru. Suaranya kini menggema lebih keras, seolah mengejek usaha Raisha.
Arya menoleh cepat ke Raisha. “Kau yakin bisa mengenainya? Ini bukan target diam!”
Raisha tidak menjawab, tangannya tetap stabil meskipun mobil terus bergerak dengan kecepatan tinggi. Dengan tenang, ia menunggu drone mendekat lebih jauh. Dor! Peluru kedua menghantam baling-baling kanan drone. Mesin drone mulai berputar liar, lalu jatuh menghantam jalan dengan suara keras, memantul beberapa kali sebelum hancur berantakan.
Arya menghela napas lega. “Kau luar biasa.”
Namun, Raisha tidak merespons pujian itu. Matanya tetap tertuju ke kaca spion, penuh kewaspadaan. “Mereka tidak akan berhenti. Ini baru permulaan.”
Benar saja, beberapa detik kemudian suara mesin berat menggema dari kejauhan. Arya menoleh ke belakang, wajahnya pucat saat melihat sebuah mobil hitam besar muncul di jalan tol. Kendaraan itu melaju dengan kecepatan tinggi, lampu depannya yang terang menyilaukan mata meskipun di siang hari.
Di belakang kemudi, seorang pria berperawakan besar tampak memancarkan aura intimidasi. Arya mengenali pria itu.
“Dia lagi!” Arya berseru, suaranya penuh kekhawatiran. “Bagaimana dia bisa menemukan kita secepat ini?”
Raisha menekan pedal gas lebih dalam, mempercepat laju mobil mereka. “Ini bukan kebetulan. Dia pasti punya alat deteksi dan menggunakan drone untuk memberikan koordinat.”
Mobil hitam itu mendekat dengan cepat, hingga hampir sejajar dengan mobil Raisha. Tiba-tiba, mobil itu bergeser, mencoba menabrak sisi mobil mereka. Raisha dengan cekatan memutar kemudi, menghindari tabrakan. Ia mengerem mendadak, membuat mobil hitam itu melesat terlalu jauh ke depan. Namun, kendaraan itu segera berbelok tajam, kembali mengejar mereka.
“Arya, pegang apa saja,” seru Raisha dengan nada mendesak. “Ini akan sedikit kasar!”
Raisha membelokkan mobil ke jalur alternatif yang lebih sempit. Jalan itu dipenuhi pembatas beton yang memisahkan jalur, membuat setiap belokan menjadi lebih berbahaya. Ban mobil mereka hampir menyentuh pembatas jalan, tetapi Raisha tetap tenang, fokus pada setiap tikungan tajam.
Mobil hitam di belakang tidak menyerah. Pengemudinya mulai membunyikan klakson keras, seolah mencoba mengintimidasi Raisha dan Arya. Kendaraan besar itu tetap mengejar dengan agresivitas yang mengerikan, membuat jarak antara mereka semakin pendek.
Saat gerbang bandara mulai terlihat di kejauhan, Arya menunjuk ke layar di tangannya. “Raisha, lihat ini! Gelombang kembali semakin meningkat.”
Raisha melirik sekilas ke layar, lalu mengarahkan pandangannya kembali ke jalan. “Kita hampir sampai. Bersiaplah. Ini belum selesai.”
Mobil mereka akhirnya meluncur melewati gerbang masuk bandara. Namun, ancaman belum benar-benar berakhir. Mobil hitam itu masih membuntuti, dan dari kejauhan, dua drone baru terlihat melayang rendah, siap memantau pergerakan mereka.
Raisha memacu mobil lebih cepat, berharap bandara menjadi tempat yang cukup ramai untuk melindungi mereka. Tapi ia tahu, harapan itu bisa dengan mudah menjadi jebakan lain. "Arya, bagaimana gelombang kendali itu di sini?"
“Ada sedikit penurunan,” teriak Arya.
Raisha dan Arya berhasil memasuki area bandara, tetapi mereka tahu tidak ada waktu untuk bersantai. Mobil mereka berhenti mendadak di zona darurat, menghasilkan suara decitan keras. Raisha membuka pintu dengan cepat, melompat keluar dengan gerakan lincah. Arya mengikuti, napasnya tersengal-sengal. Mereka membawa tas ransel masing-masing.
“Ke mana sekarang?” tanya Arya, mencoba mengatur napas di tengah ketegangan yang menghimpit.
“Hanggar 7,” jawab Raisha tegas tanpa ragu. “Jet supersonik NIMBIS ada di sana.”
Mereka berlari melintasi area parkir menuju pintu masuk terminal. Matahari siang yang terik membuat keringat mengalir deras di wajah mereka, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Arya melirik alat deteksi gelombang di tangannya, grafiknya perlahan bergerak, menandakan aktivitas gelombang kendali yang semakin meningkat.
“Cepat, Arya!” desak Raisha sambil menoleh ke berbagai arah memastikan orang-orang di sekitar mereka belum terpengaruh.
Mereka memasuki koridor terminal yang dingin dengan pendingin udara yang kontras dengan panas di luar. Suasana terlihat normal; penumpang berjalan santai membawa koper, beberapa duduk membaca koran, sementara suara pengumuman penerbangan bergema lembut di udara.
Namun, Raisha tidak mempercayai apa pun. Mata tajamnya memindai setiap sudut, sementara Arya terus memandangi layar alat deteksinya.
“Raisha,” suara Arya penuh kekhawatiran, “grafiknya melonjak lagi.”
Mereka mempercepat langkah menuju arah hanggar, tetapi tiba-tiba Arya berhenti. Ia menunjuk ke depan. “Lihat itu...”
Di terminal utama, sekelompok orang yang tadinya tampak seperti penumpang biasa kini berdiri diam, tubuh mereka kaku seperti boneka. Kepala mereka perlahan berputar, mata kosong menatap langsung ke arah Raisha dan Arya.
Raisha mendesis pelan. “Oh, tidak... gelombang kendali mulai menguasai mereka.”
Tanpa peringatan, orang-orang itu mulai bergerak. Langkah pertama mereka lambat dan tersendat, tetapi segera menjadi lebih cepat dan terkoordinasi.
“Raisha, mereka seperti... zombie,” bisik Arya dengan wajah ngeri.
“Kita harus pergi sekarang!” seru Raisha.
Raisha berlari, sementara Arya berusaha untuk tidak keluar dari radius dua meter di dekat Raisha.
Orang-orang yang dikendalikan itu kini bergerak dengan tujuan yang jelas: menangkap Raisha dan Arya. Tangan-tangan mereka terulur, mencoba meraih kedua pelarian itu.
Mereka seperti tidak terpengaruh kaung Raisha, mungkin karena terlalu banyak. Raisha segera menyembunyikan rapat kalungnya di balik jaket hoodie. Dia merasa mereka semua mengincar kalung Raisha.
Tangan-tangan kembali menggapai-gapai dengan liar. Raisha menghindar dengan cekatan, menabrak koper yang terguling, sementara Arya nyaris terjatuh saat seorang pria berbadan besar mencoba mencengkramnya.
“Jangan berhenti!” Raisha berteriak sambil menarik Arya yang mulai kehabisan tenaga.
Mereka akhirnya sampai di sebuah pintu darurat di sisi terminal. Raisha mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga, dan keduanya melesat keluar ke area terbuka. Udara panas kembali menyapa mereka, tetapi mereka tidak peduli. Di depan, Hanggar 7 terlihat, dan di dalamnya, sebuah jet supersonik putih mengilap berdiri megah.
“Cepat, Arya!” Raisha memacu langkahnya, menarik Arya yang mulai tertinggal.
Di dekat tangga masuk jet, dua orang berdiri. Pilot dan kopilot terlihat terhuyung-huyung, tubuh mereka lemas seperti akan ambruk.
“Raisha…” Pilot itu memanggil dengan suara lemah, nyaris tak terdengar.
Raisha segera menghampiri mereka, memegang bahu pilot untuk menstabilkan tubuhnya. Seketika, pilot serta kopilot mulai terlihat lebih siuman.
“Mereka terpapar gelombang kendali itu,” ujar Raisha cepat. Ia memandang Arya dengan serius. “Kita harus pergi sekarang sebelum mereka ke sini.”
Arya menoleh ke belakang. Dari arah terminal, orang-orang yang sudah dikendalikan mulai keluar satu per satu. Jumlah mereka semakin banyak, membentuk gelombang manusia yang bergerak seperti mesin. Mata mereka kosong, tetapi langkah mereka penuh kepastian.
“Raisha, mereka mendekat. Cepat naik ke pesawat!” Arya berteriak panik.
Raisha mendorong pilot dan kopilot untuk segera naik ke tangga pesawat. Ia melirik ke arah kerumunan yang sudah berada kurang dari lima puluh meter dari mereka. Tangan-tangan mereka terulur, suara langkah kaki mereka bergema di area hanggar yang kosong.
“Arya, bantu aku menaikkan pintu tangga!” Raisha memerintah.
Keduanya menarik tangga lipat pesawat, membuatnya mulai tertutup. Namun, tepat sebelum pintu sepenuhnya tertutup, salah satu dari mereka yang dikendalikan berhasil meraih bagian bawah tangga. Ia memanjat dengan cepat, gerakannya tidak seperti manusia biasa.
Raisha dengan sigap menendangnya. Tendangannya mengenai pundak orang itu, membuatnya terjatuh kembali ke bawah. Namun, lebih banyak lagi yang mencoba memanjat.
“Nyalakan mesin. Kita harus segera lepas landas!” teriak Raisha kepada pilot yang mulai menyiapkan sistem penerbangan.
Jet mulai bergerak perlahan menuju landasan. Namun, saat itu, drone besar terlihat di langit, melayang rendah dengan suara dengungan yang memekakkan telinga. Lampu merah di bagian bawahnya berkedip, jelas-jelas sedang memanatau mereka.
Arya menatap Raisha, wajahnya pucat. “Apa kita bisa melarikan diri dari ini?”
Raisha menggenggam kalung peraknya dengan erat, matanya penuh determinasi. “Kita tidak punya pilihan. Kita akan berhasil.”
Mesin jet meraung keras, mengguncang udara di dalam hanggar. Pintu logam besar di depan mulai bergerak, terbuka perlahan, tetapi di luar, situasi semakin memburuk.
Suara dengungan drone memenuhi udara, semakin keras, semakin dekat. Kini, puluhan drone bermunculan, terbang rendah di sekitar jet, masing-masing dengan lampu merah berkedip.
Raisha meraih pistol dari sabuknya, membuka jendela kecil di kokpit, dan membidik dengan presisi. “Arya, pastikan alat deteksi gelombang tetap aktif!” serunya di tengah suara mesin yang menderu.
Arya sibuk dengan alat deteksi, memeriksa grafik yang terus melonjak. “Gelombangnya meningkat lagi! Mereka mencoba memperkuat gelombang!”
Raisha melepaskan tembakan pertama. Sebuah drone meledak di udara, mengeluarkan percikan api dan serpihan logam. Namun, dua drone lain langsung menggantikannya, bergerak lebih cepat dan lebih agresif.
“Terlalu banyak!” Raisha mengisi ulang senjatanya dengan gerakan terlatih. Ia menembak lagi, menjatuhkan satu drone lainnya, tetapi jumlah mereka terus bertambah. “Arya, kita harus segera keluar dari sini, drone berikutnya sepertinya dilengkapi senjata!”
Di luar, situasi tidak kalah mengerikan. Orang-orang yang dikendalikan oleh gelombang mulai mendekat ke arah jet. Tatapan kosong mereka mengarah lurus ke pesawat, langkah mereka mantap seperti robot yang diprogram untuk satu tujuan.
“Raisha, mereka mendekat!” Arya menunjuk ke luar jendela kokpit. Orang-orang itu kini hanya berjarak beberapa meter dari roda jet.
“Pilot, apa mesinnya sudah siap?” Raisha berteriak ke arah kokpit.
“Mesin sudah panas!” Pilot menjawab dengan nada panik.
Jet mulai bergerak perlahan keluar hanggar. Roda-rodanya berdecit di atas lantai beton, melaju menuju landasan pacu. Namun, orang-orang itu tidak peduli dengan suara mesin yang memekakkan telinga. Mereka berlari, tangan terentang, mencoba meraih badan pesawat.
Raisha melompat keluar dari kursi kokpit, meraih senjata laras panjang dari kompartemen senjata darurat. Ia membuka pintu kecil di sisi badan jet dan mulai menembaki kaki para pengejar. Peluru-peluru itu menghantam beberapa dari mereka, membuat mereka terjatuh, tetapi yang lainnya terus maju, tidak terpengaruh rasa sakit atau takut.
Jet mulai melaju lebih cepat, meninggalkan hanggar menuju landasan pacu. Drone-drone di udara mulai menembakkan percikan listrik ke arah pesawat, berusaha merusak sistem elektroniknya. Di dalam kokpit, lampu-lampu indikator mulai berkedip, menandakan adanya kerusakan ringan.
“Pilot, kita tidak punya waktu lagi! Bawa pesawat ini ke udara sekarang!” Raisha memerintahkan dengan nada tajam.
Pilot melakukan serangkaian operasi dan suara mesin semakin meningkat. Pesawat melaju.
Di udara, drone besar yang tampak seperti pesawat tempur mini mulai mendekati jet mereka. Lampu merahnya berkedip lebih cepat, menandakan peluncuran rudal sedang dipersiapkan.
“Raisha, mereka akan menembak kita!” Arya berseru, wajahnya penuh ketakutan.
“Mereka tak ingin kita pergi dari sini,” kata Raisha berusaha menenangkan diri. Dia membidikan senapannya lewat jendela kokpit dan dalam beberapa tembakan, drone-drone besar itu berhasil dijatuhkan.
“Bagus, Raisha!” teriak Arya.
Pesawat melaju semakin cepat. Ketika roda pesawat akhirnya meninggalkan tanah, Raisha melihat ke luar jendela. Para pengejar berhenti di ujung landasan pacu, tubuh mereka membeku seperti patung. Namun, ancaman di udara belum selesai. Rudal melesat dari salah satu drone besar yang tersisa, mengejar ekor jet mereka dengan kecepatan mengerikan.
Raisha berlari ke arah pilot. “Manuver sekarang! Lakukan putaran tajam ke kiri!”
Pilot menarik tuas kontrol, membuat jet miring tajam. Rudal itu melewati pesawat dengan jarak hanya beberapa meter. Raisha menembaknya dari jendela kokpot yang masih terbuka, dan rudal pun meledak di udara. Ledakannya mengguncang kabin, membuat Raisha hampir terjatuh.
Sekali lagi Raisha membidikkan senapannya, dan dalam satu kali tembakan drone besar yang tersisa itu terjatuh.
Tak jauh dari Raisha, Arya segera memerika alat deteksi gelombang.
“Gelombangnya melemah,” Arya melaporkan dengan lega, meskipun suaranya masih bergetar.
Raisha duduk di kursi penumpang, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia menatap Arya dengan tatapan serius. “Ini belum selesai. Kita baru saja lolos dari perangkap pertama mereka.”
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!