Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26 : Tertahan Batas
Langit-langit perpustakaan tampak tinggi, melengkung dan serasa magis. Cahaya dari lampu gantung kuno menyorot lembut meja kayu besar di tengah ruangan, membantu menerangi cahaya alami perpustakaan yang tidak begitu terang.
Debu-debu kecil tampak beterbangan, berkilauan seperti partikel emas di udara, setiap kali mereka menggerakkan buku atau kertas.
Perpustakaan ini, yang pernah menjadi tempat favorit kakek Raisha untuk membaca dan menulis, kini berubah menjadi panggung di mana misteri besar perlahan diungkap. Hanya saja jawabannya masih seperti bayangan yang melintas di tepi pandangan mereka, sulit ditangkap.
Semuanya masih seraya jauh dan buram. Meski sebuah tanda kecil mulai terlihat. Tetapi kemana tanda itu memandu mereka, belum ada kepastian tentang itu.
Raisha duduk bersandar di kursinya, tangan kirinya memegang kalung dengan kotak metal kecil yang menggantung di lehernya. Jemarinya secara naluriah menyusuri ukiran di permukaannya, menyentuh kata-kata yang terukir di sana, sambil membacanya dengan teliti lewat kaca pembesar.
The function of knowledge for the brain.
Kalimat yang terukir di kotak metal itu kini terasa menampar. Ternyata memang tampak berbeda. Membuat pikiran Raisha mendapatkan tantangan jauh lebih besar daripada sebelumnya. Ukiran kalimat itu kini seperti bisikan yang terus memanggilnya untuk mencari jawaban dengan cara yang benar-benar berbeda.
“Ya, kamu benar, aku melihatnya. Ini memang berbeda,” ucap Raisha dengan suara tegang.
Arya, yang duduk di seberangnya, bersandar ke meja dengan satu tangan menyangga dagunya. Matanya menatap ke arah buku yang kini tak lagi terbuka. Buku itu tertutup, memperlihatkan jilid bergambar ilustrasi otak dengan judul tertera di atasnya.
The Function of Knowledge for The Brain
Arya menatap ke arah buku itu, namun jelas pikirannya berada di tempat lain. Berkelana ke samudera intelektual yang jauh ke dalam pikirannya yang seolah penuh dengan alat-alat canggih untuk menguraikan kerumitan di hadapan dirinya.
Seperti Raisha, Arya pun tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi ruangan, seolah-olah setiap benda di sana sedang menunggu mereka, dan tak sabar untuk menyaksikan mereka akhirnya memecahkan rahasia yang tersembunyi itu.
“Kurasa… kalimat itu bukan judul buku,” kata Arya akhirnya, memecah keheningan yang seolah membungkam mereka berdua. “Atau mungkin saja, kalimat itu menyiratkan dua hal sekaligus,”
Raisha mendongak, alisnya berkerut. “Apa maksudmu? Bukan judul buku, dan bahkan… menyiratkan dua hal sekaligus?”
Arya menunjuk kalung Raisha. “Kita perhatikan lagi dengan teliti. Di satu sisi, ini mungkin sama dengan judul buku ini, dan bisa jadi memang berkaitan dengan judul buku ini, tapi… di sisin lain, ini bisa dikatakan bukan judul buku.”
“Oh ya?” Raisha tampak menyipitkan mata. Gadis itu belum sepenuhnya mengerti.
“Ya, Judul buku biasanya menggunakan huruf kapital di setiap kata, kecuali kata sambung. Tapi kalimat ini hanya menggunakan huruf kapital di awal saja, dan diakhiri dengan titik. Menurutku kalimat ini, juga merepresentasikan sebuah pernyataan, bukan semata-mata judul buku.”
“Sebuah pernyataan…” bisik Raisha.
Dengan bantuan kaca pembesar, Raisha menatap ukiran kalimat itu cukup lama, mencoba mencerna makna di balik untaian kata yang terangkai. Perlahan, ia menghela napas sambil terus menatap ukiran di kotak metal kalungnya, matanya memperhatikan setiap detail huruf yang tergores di sana. Ia merasa seolah kalimat itu bergerak di pikirannya, mencoba menjelaskan sesuatu yang tak terjangkau.
“Aku belum memahami apa pun,” katanya perlahan, “Menurutmu, apa yang ingin disampaikan oleh pernyataan ini? Atau… apa yang harus kita lakukan untuk bisa memahaminya?”
Arya terdiam sejenak. Ia memejamkan mata, mencoba mengatur pikirannya. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Kalimat ini pasti memiliki makna. Tidak mungkin kakekmu menuliskan sesuatu yang tidak memiliki arti. Pertanyaannya adalah, apa maknanya?”
Raisha menghela napas, merasa sedikit tertekan.
“Kita harus akui, bahwa tadi ketika kita membuka buku kakekmu dan mencoba mencari enam digit yang mungkin merupakan kunci pembuka kotak metal kalungmu, itu adalah cara yang terlalu pintas. Kakekmu pasti tak akan melakukan kecerobohan seperti itu. Lagi pula dengan kita mencari langsung enam digit angka itu, bukankah kita justru melewati huruf acak di atas pernyataan itu? Arya mengeluarkan secarik kertas coretannya yang dia bawa di saku bajunya.
“Kita tak mungkin melewatkan kode-kode ini, kan?”
d p s f k r j y b o s j s g d p c o g v z f i w f y
Raisha menatap tulisan kode itu. Itu adalah salinan kode-kode acak yang Arya contek dari ukiran di atas kalimat pernyataan misterius itu tadi di kotak metal kalung Raisha.
“Kita sudah mencoba beberapa kali cara pintas untuk menentukan enam digit yang benar dengan melewatkan pemecahan kode ini, dan kurasa itu salah besar,”
“Jadi, maksudmu kalimat pernyataan ini mengacu pada pemecahan 26 huruf acak itu?”
“Kurasa iya. Sekarang tak ada pilihan lain, selain memandu langkah kita untuk menggali makna dari kalimat pernyataan itu yang sekiranya dapat kita gunakan untuk memecahkan kode 26 huruf acak di atasnya,”
“Ya Allah, Ya Tuhanku… tapi… bagaimana mungkin?” tanya Raisha, gugup. “Bagaimana caranya?”
“Aku juga tidak tahu,” jawab Arya pelan. Suaranya terdengar berat, seolah merasakan beban yang sama dengan Raisha. “Tapi... coba pikirkan. Kalimat ini berbicara tentang fungsi pengetahuan bagi otak. Mungkin kita perlu melihatnya sebagai metafora, bukan sesuatu yang literal.”
“Metafora?” Raisha mengulang, mencoba mengikuti alur pikiran Arya.
“Ya, sebenarnya aku belum yakin, tapi…” Arya melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih yakin. “Mungkin ini sama seperti ketika kita memahami... fungsi motivasi bagi jiwa. Atau... seperti nasi dan roti bagi tubuh kita, atau….”
Raisha terdiam, mencoba memahami. Kalimat itu bergema di benaknya, namun semakin ia mencoba memahami, semakin ia merasa tersesat. Namun tiba-tiba, sesuatu dalam kata-kata Arya menyentuh sesuatu dalam dirinya, dan mereka berdua pun berbicara hampir bersamaan.
“Makanan!”
Mata mereka saling bertemu, dan untuk sesaat, ada kilatan pengertian di antara mereka. Tapi hanya sesaat. Karena setelah itu, kebingungan kembali menyelimuti.
“Makanan...” Raisha mengulang kata itu, suaranya nyaris berbisik. “Kalau begitu, apa maksudnya? Makanan untuk otak? Pengetahuan adalah makanan untuk otak?”
“Mmm… tapi sepertinya bukan begitu cara menyusun pengertian untuk mengambil makna dari pernyataan ini. Kamu hanya perlu mengulang pernyataan tadi dan menjawabnya, The function of knowledge fo the brain. Fungsi ilmu pengetahuan bagi otak, jawabannya satu kata, makanan,”
“Jadi intinya adalah makanan, kan?”
“Mmmm…. ya! Mungkin,”
“Makanan bagi otak, kan?”
“Bisa jadi,” jawab Arya.
“Iya dong, berarti jawabannya 'pengetahuan' kan?"
“Kurasa bukan, karena dengan menjawab bahwa itu ‘pengetahuan’ hanya akan membuat semua ini berputar-putar tak berujung,”
“Ini membingungkan, kalau begitu apa kalau bukan pengetahuan?” tanya Raisha mulai jengkel.
“Aku hanya yakin ini ada dua sisi, seperti kalimat itu, bisa berfungsi sebagai judul buku bisa berfungsi sebagai pernyataan yang bukan judul buku,” ujar Arya.
“Oh tidak, ini rumit….” Keluh Raisha sambil memegang kepalanya. “Waktu kita tidak banyak di sini,”
Arya mengangguk pelan, namun ekspresi wajahnya tetap penuh keraguan. “Baiklah, kalau kita melihatnya dari sudut pandang metafora, makanan itu tidak hanya berarti sesuatu yang kita makan. Makanan adalah apa pun yang memberi nutrisi. Kata-kata motivasi adalah makanan bagi jiwa, pengetahuan adalah makanan bagi otak. Tapi... ya oke, aku akui ini semua masih terlalu abstrak. Bagaimana kita menerjemahkan ini ke dalam sesuatu yang konkret?”
Raisha memandangnya dengan tatapan putus asa. “Aku tidak tahu, Arya. Aku benar-benar tidak tahu. Kalau memang itu jawabannya, lalu apa langkah selanjutnya? Kita tidak punya petunjuk lagi.”
Arya menggosok dagunya, mencoba menemukan pegangan di tengah kekacauan ini. “Raisha, aku harus katakan ini, bahwa sepertinya... teka-teki ini memang akhirnya bersifat pribadi. Sesuatu yang untuk seterusnya hanya kamu yang tahu jawabannya. Mungkin ini sudah mencapai batasnya, kecuai kamu mungkin bisa mengingat sesuatu untuk memperjelas semua yang masih samar ini,”
Raisha terdiam, menatap Arya dengan mata yang mulai memerah. “Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Karena...” Arya ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Karena itu cara terbaik untuk menyembunyikan sesuatu. Membuat teka-teki yang jawabannya hanya diketahui secara pribadi oleh orang tertentu. Kalau ini adalah bagian dari rencana kakekmu, dan dia ingin memastikan tak ada orang lain yang dapat memecahkannya, dia pasti memutuskan untuk menyusunnya dengan cara yang hanya kamu yang bisa menyelesaikannya.”
“Tapi aku tidak tahu apa-apa!” seru Raisha, suaranya bergetar. “Aku sudah mencoba memikirkannya dari semua sudut, tapi aku tidak pernah berhasil. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.”
Keheningan kembali melingkupi mereka. Hanya suara jarum jam yang terdengar, seperti penanda waktu yang terus berjalan tanpa peduli pada kebingungan mereka.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!