Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 04 - Akan Kuhabisi
Tanpa menjawab, Ervano berlalu keluar segera. Seolah mengerti dengan isi hati Haura yang tidak ingin dilihat wajahnya, pria itu hanya meninggalkan bathrobe yang tadi dia berikan kepada Haura.
Cukup lama Haura hanya terpaku menatap benda itu. Jiwanya yang seakan tercabik-cabik masih tak kuasa untuk bangkit.
Fakta bahwa dirinya tidak lagi suci membuat Haura merasa hina. Tak pernah Haura kira bahwa dia akan berakhir dalam dekapan pria tak berhati yang semalam menatapnya bak wanita penggoda.
"No, Haura, tidak ada gunanya menangis sekarang!!" Sembari disertai helaan napas panjang, Haura menyeka kasar air matanya dan mencoba turun dari atas tempat tidur.
Persetan dengan rasa perih dan sakitnya. Jika boleh jujur saat ini Haura merasa seperti remuk, lelah luar biasa. Namun, dia tidak sudi terus berada di kamar Ervano lebih lama.
Tanpa memedulikan rasa sakit, Haura bergegas memunguti pakaiannya yang tergelak tak karu-karuan di atas lantai. Dia tidak butuh kerapian, tidak juga peduli cantik atau tidaknya karena tujuan saat ini hanyalah enyah dan angkat kaki dari tempat terkutuk itu.
Jika pengantin yang baru menikah mungkin akan berhati-hati dalam melangkah, Haura justru sebaliknya. Tidak ada celah untuk tubuhnya bermanja-manja, bahkan dia sampai melangkah cepat sewaktu keluar dari kamar Ervano.
Tidak selesai di sana, walau dalam keadaan murka wanita itu masih bisa berpikir jernih dan mencari ponselnya yang semalam juga Ervano lemparkan sembarang arah.
Mata tajam Haura terfokus mencari keberadaan ponselnya saja. Sedikit pun dia tidak peduli akan kehadiran Ervano yang sibuk menyiapkan sarapan untuknya.
Usai menemukan ponsel dan tasnya, Haura semakin mempercepat langkah. Namun, tepat di depan pintu, langkah wanita itu seketika terhenti tatkala seseorang mencekal pergelangan tangannya.
Tidak kasar seperti semalam, tapi cukup kuat sampai ketika dihempas juga masih bisa bertahan.
"Mau apa lagi?"
"Biar saya antar," ucap Ervano masih konsisten dingin, tidak ada hangat-hangatnya sama sekali.
Mata Haura semakin tajam, memberanikan diri demi membuat Ervano mengerti semarah apa dirinya kini. "Apa yang saya ucapkan tadi rasanya cukup jelas, apa perlu diulang?"
Ervano bergeming, genggaman tangannya mulai melemah dan sekali hempas terlepas begitu saja. Meski tanpa kata, Ervano masih membukakan pintu dan mempersilakan Haura keluar.
Begitu mendapatkan lampu hijau, Haura berlalu pergi dengan perasaan hancur yang tak bisa dia definisikan. Matanya kembali mengembun, pandangan Haura sampai tidak jelas.
Bahaya sekali sebenarnya dia mengemudi dalam keadaan begini. Ingin sekali dia menghubungi Ray - sang kekasih, atau mungkin kakaknya.
Namun, sekali lagi Haura masih bisa berpikir dan sama sekali tidak memiliki keberanian menghubungi mereka. Bahkan, setelah ini rasanya Haura tidak sanggup memperlihatkan wajah di hadapan orang-orang terdekatnya.
Jangan tanya bagaimana Haura bisa fokus di jalanan, sepanjang perjalanan dia hampir dua kali menabrak trotoar. Walau sebenarnya dia terlihat tenang, tapi kepalanya berisik sekali.
Berbagai pertanyaan mengitari kepalanya. Jika diucap, mungkin tidak akan selesai dalam waktu satu jam.
Sekecewa apa kedua orang papa dan mama nanti? Semarah apa kedua kakaknya? Sesakit apa Ray andai tahu apa yang telah terjadi padanya.
Mungkinkah Ray akan menganggap hina dan membuangnya begitu saja? Hendak bagaimana caranya meminta maaf pada Ray yang selalu dia minta menjaga kepercayaan jika sedang berpisah?
Sungguh, kepala Haura sampai seperti akan pecah rasanya. Terlalu lama berpikir, ternyata kini dia sudah tiba di kediaman utama.
Butuh beberapa waktu untuk Haura bisa turun. Sudah tentu dia harus memastikan keadaan aman atau tidaknya sebelum itu.
Jangan sampai Abimanyu - saudaranya melihat dirinya yang pulang dalam keadaan kacau begini.
Setengah berlari Haura masuk dan bergegas naik ke kamarnya. Rasa ngilu dan perih di bagian bawah sama sekali tidak dia indahkan, terserah sekalipun berda-rah atau semacamnya.
Begitu berhasil masuk ke dalam kamar, tanpa mengunci pintu Haura berlari ke dalam kamar mandi dan mengurung diri di sana.
Tubuhnya yang dirasa amat kotor dan menji-jikan itu dia biarkan merasakan dingin di bawah guyuran air. Sekaligus, dengan cara ini dia bisa puas menangis.
Sudah lama dia menahan air mata, dada Haura sampai sakit membayangkan kehancurannya. Hendak menyalahkan siapa Haura juga bingung, karena di sini penyebabnya adalah dia.
Jika saja dia tidak menerima saran Andita untuk memberikan obat laknat itu ke dalam minuman Ervano, mungkin hal semacam ini tidak akan terjadi.
Sekarang, hendak bagaimana dia menghadapi hari-harinya ke depan? Bagaimana jika yang terjadi tadi malam justru berakibat fatal? Andai kata sampai hamil hancur sudah dan bisa dipastikan dia akan gila.
"A-aku tidak mau ... aku tidak mau!! Aku tidak mau ... Papa Haura harus bagaimana!!"
Haura meraung dalam kesunyian. Setelah sejak tadi hanya sekadar dipikiran, pada akhirnya dia menyerah dan kata papa terlontar dari bibirnya.
Kembali Haura memukul-mukul tubuhnya sendiri, cukup lama dia lakukan sampai akhirnya lelah sendiri. "Maaf, Pa, Ma, aku membuat kalian berdua kecewa."
.
.
"Haura!!"
"Heuh?" Tubuh Haura terperanjat tatkala mendengar seseorang memekik pasca pintu kamar mandi terbuka.
Dia yang tadi lelah, mendadak panik tatkala Abimanyu mendekat dan mendekap erat tubuhnya. Saat itu pula, tangis Haura benar-benar pecah.
Dapat Haura lihat seberapa panik dan takutnya Abimanyu saat ini. "Apa yang terjadi? Katakan padaku ... kamu kenapa? Hah? Sayang, Haura ... hei, jawab aku!! Kamu kenapa?!!"
Secara beruntun Abimanyu melayangkan pertanyaan. Tak ada yang mampu Haura jawab, dia masih terus menangis dan meluapkan kesedihan dalam dekapan saudara kembarnya.
Ingin sekali dia mengadu, sungguh. Bahkan, satu kejadian pun takkan dia lupakan, semua akan dia adukan kepada Abimanyu, tapi tidak untuk sekarang.
"Coba jawab, kamu kenapa? Bilang, Ra."
"A-abim aku ...." Penuh keraguan untuk Haura mengungkapkan kebenarannya, demi apapun dia juga takut sampai Abimanyu marah dan petakanya semakin besar.
"Cepat katakan, kamu kenapa? Hem?"
"Aku baik-baik saja, hanya jatuh tadi."
"Jatuh apa yang begini, Haura?!" sentak Abimanyu tanpa basa-basi menyentuh noda merah yang ada di leher dan dadanya.
Mata tajam pria itu semakin menyala, sudah tentu kemarahannya tengah di ubun-ubun. "Katakan padaku siapa? Sejauh apa dia melakukannya? Hah? Jawab!!"
Haura tidak lagi bisa berbohong, Abimanyu lebih dahulu bisa menyimpulkan apa yang terjadi padanya.
"Siapa orangnya, Haura? Ray kah?" tanya Abimanyu menatap kecewa Haura.
"Bukan ... bukan Ray."
"Lalu siapa? Katakan cepat, Haura!!" bentak Abimanyu lagi semakin mendesak Haura untuk mengaku segera.
"Ervano," jawab Haura pelan, hampir berbisik karena lidahnya seolah lesu untuk menyebut nama itu.
"Apa? Ervano?"
Haura mengangguk, sontak rahang Abimanyu mengeras dengan tangan yang kini mengepal dengan kuat-kuat.
"Badjingan!! Akan kuhabisi nyawanya hari ini juga!!"
"Abimanyu jangan!"
.
.
- To Be Continued -