Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Sabar.
Papa Hanggar dan Bang Rama duduk menunduk di hadapan Mama Arlian dan Dilan. Jika biasanya Bang Rama akan beradu mulut, kali ini dirinya diam seribu bahasa perkara Cahyati.
"Sebegitu kurangnya Mama sampai Papa......"
"Nggak, Ma..!!! Demi Allah..!!"
Sekarang Bang Rama ikut ketar ketir melihat Dilan yang terus menangis sesenggukan.
"Dia hanya bercanda."
"Panggil yang benar...!! Bagaimana Dilan harus percaya sama Abang kalau Papa sendiri yang mengatakannya." Ucap kesal Dilan.
Papa Hanggar dan Bang Rama pun saling lirik.
"Jangan saling meminta dukungan..!!" Kata Mama Arlian menggelegar.
Baru kali ini Bang Rama melihat sorot mata marah Mama Arlian.
"Itu.. anu....." Bang Rama sampai mati kutu di hadapan Mama Arlian.
"Anu apa????? Jangan banyak alasan..!!!!!!!"
Bang Rama langsung terdiam. Tapi melihat Dilan menangis hatinya pun tidak tega.
"Abang dan Cahyati hanya beberapa kali bertemu dan sekedar kenal saja. Saat itu ada acara panggung hiburan dan Abang sebagai pihak keamanan. Papa pasti mengetahui karena Papa pembina utama." Kata Bang Rama menjelaskan.
Baru saat itu Mama Arlian dan Dilan sedikit melandai.
Bang Rama memegang tangan Dilan. "Abang sudah bilang. Abang tidak akan berbagi hati. Kenapa masih tidak percaya."
"Siapa yang bisa percaya. Dilan ini janda."
"Kalau Abang naksir janda, kamu mau apa?????"
Seketika Dilan terdiam. Papa mengajak Mama Arlian ke kamar tengah dan Bang Rama menggendong Dilan masuk ke kamar depan.
"Dilan bisa jalan sendiri..!!" Tolak Dilan.
"Oya??? Bagaimana Abang harus percaya sama kamu?" Bang Rama membalikan ucapan Dilan.
Tak ada lagi sikap berontak dari Dilan. Wajahnya masih mendengus kesal tapi juga bersandar pada dada bidang Bang Rama. Kini Bang Rama paham bahwa Dilan masih begitu membutuhkan dirinya.
"Jadii.. siapa Papa akan memberinya nama?" Tanya Dilan lirih.
Bang Rama cukup terhenyak, ada ulas senyum menghias wajahnya. Terbersit kelegaan atas pengakuan yang sebenarnya tidak juga harus di akui.
"Gama Rudha Pancanaka. Kamu suka???" Bang Rama balik bertanya.
"Suka."
"Semoga selalu kokoh, tegak berisi dalam sikap, mempergunakan apa yang ada dalam diri sebaik mungkin." Kata Bang Rama.
"Aamiin..!!!" Jawab Dilan.
Perlahan Bang Rama merebahkan Dilan. Istri kecilnya masih memercing kesakitan. Bang Rama menoleh dan Dilan masih memegang lengannya dengan kuat.
Kedua bola mata itu saling menatap. Bagai ada dorongan, Bang Rama mencondongkan tubuhnya berniat mengecup bibir Dilan tapi kemudian Papa Hanggar tidak sengaja menuju ke kamar.
"Ram..!!!!!!!" Papa Hanggar cukup kaget dan menghentikan langkahnya. Beliau pun berbalik badan dan pergi tanpa kata.
Dilan gugup dan mendorong dada Bang Rama tapi Bang Rama tidak peduli akan hal itu. Ia melanjutkan 'hasratnya'.
"Baaang.. pintunya masih terbuka." Kata Dilan.
"Mau di tutup pintunya??? Apa kamu sudah siap kalau Abang sampai khilaf??" Tanya Bang Rama menggoda Dilan.
Dilan memalingkan wajahnya. Entah apa yang di rasakannya saat ini. Bang Rama cukup gemas melihat tingkah polos Dilan. Sungguh saat ini tidak ada keinginan apapun dalam benak Dilan kecuali sehatnya sang istri. Kelahiran Rudha membuat Bang Rama sangat cemas dan ketakutan. Bagaimana tidak.. jeritan kesakitan Dilan, cengkeraman tangan, tangis hingga luka yang di alami Dilan membuat perasaan Bang Rama begitu tersayat tidak tega.
Inginnya sebagai seorang pria mendadak luntur, hasratnya memudar mengingat betapa 'tubuh kecil' mampu berjuang antara hidup dan mati demi nyawa kecil yang juga harus menghirup nafas dunia.
"Cepat sehat ya, dek..!!" Ucap Bang Rama tulus.
Dilan mengangguk pelan tapi tetap tidak berani menatap mata Bang Rama.
"Raaamm.. sudah atau belum??" Tanya Papa Hanggar yang ternyata sejak tadi menunggu di luar kamar.
"Ada apa sih?" Respon Bang Rama lumayan jengah.
"Pinjam sarung..!!" Kata Papa Hanggar.
"Untuk sholat sudah ada dua di meja samping lemari. Apa masih kurang?" Jawab Bang Rama.
"Bukan untuk sholat."
"Laaah......." Sepersekian detik kemudian Bang Rama mulai tersadar. "Please, brooo. Sudah tanya sarung aja. Jam berapa ini???"
Kening Papa Hanggar berkerut, sebenarnya beliau memang hanya ingin memakai sarung agar lebih santai tapi ternyata putranya itu berpikiran lain. Senyum nakalnya pun menyuarakan keusilannya.
"Yaaa.. mau bagaimana lagi. Ada rejeki di depan mata masa di tolak. Mumpung Mama yang minta.. gass donk..!!" Jawab Papa Hanggar setengah meledek.
Bang Rama mendengus kesal karena masa tunggunya masih satu bulan lagi.
.
.
.
.