"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Sembilan
Drtdd… drtdd… drtd…
‘Siapa sih yang meneleponku?’ Alisha merogoh sakunya, karena dia menyimpan ponselnya disaku.
‘Oh? Bapaknya si anak yang telepon rupanya.’
‘Pasti dia mau menanyakan kabar anaknya. Lebih baik aku ubah ke VC.’
Rupanya Sadewa mau menerima video call darinya.
“Hallo…” dalam posisi berbaring, Alisha menunjukan wajahnya dan wajah Anisha yang sama-sama tidur di tempat tidur, di kamar Anisha.
“Apa yang kau lakukan di sana?”
“Anakmu tidur, jadi aku mengantarnya ke tempat tidur. Dia tidur nyenyak sekali kan? Oh ya, aku juga sudah kasih makan siang. Dia gak rewel kok, anteng banget malah.”
Jelas sekali Sadewa melihat wajah puterinya yang tidur miring menghadap Alisha sambil memegang tangan ‘Mama’ nya itu.
“Dari jam berapa dia tidur?”
“Mmm… setengah jam mungkin? Aku juga jadi ikutan tertidur di sini. Tapi, aku akan pindah sekarang-
“Jangan!”
“Sshh… sshh…” Alisha menenangkan Anisha yang bergerak karena terkejut. Dia juga memarahi Sadewa yang tiba-tiba berteriak.
“Aku bilang, kau tetap saja di sana. Tidur saja disana selama dia tidur.”
“Oke, oke. Jadi, apa ada lagi yang ingin kau bicarakan?”
“Tidak ada.”
“Ya sudah kalau begitu. Aku mau tutup teleponnya dulu ya.”
Klik!
‘Ya ampun, apa dia gak bisa lembut dikit gitu? Dia tutup teleponnya duluan.’
Karena sudah mendapat ijin, dan masih mengantuk, Alisha pun berbaring lagi untuk tidur. Dia memeluk Anisha.
*
“Iya Kak, aku baik-baik saja. Semuanya lancar.” Alisha sedang berbicara dengan Fabian dari telepon.
“Nanti, kalau ada waktu, aku akan kesana. Bagaimana kabar Mira dan kakak ipar?”
“Semua baik, kecuali Mira. Dia terus menangis dan merengek minta kau pulang. Kau tahu sendiri, dia selalu menempel padamu.”
“Jadi, apa aku yang salah Kak?”
“Ya, makanya, waktu dia lahir, suruh siapa kau langsung menggendongnya, padahal aku ayahnya saja kalah cepat darimu.”
“Pft… itu karena kamu kelamaan diluar. Tapi, kau minta maaf. Dimana dia sekarang?”
“Masih belum pulang dari sekolahnya. Kalau begitu, aku akan tutup teleponnya. Nanti sore atau malam, kalau bisa, bicaralah dulu dengan Mira.”
“Iya Kak, aku janji.”
“Mama! Mama!”
“Alisha, ada suara anak kecil. Kenapa dia memanggilmu, ‘Mama’?”
“Ah…. Bu-bukan kok. Kakak salah dengar-
“Mama! Aku mau mandi sama Mama saja. Gak mau sama mba pengasuh.”
Semakin jelas suara yang Fabian dengar.
“Alisha, jangan berbohong, aku mendengarnya beberapa kali-
“Kakak, nanti saja kita bicara lagi. Aku akan kembali bekerja.”
“Alish! Baiklah, tapi nanti malam, kau harus menjelaskan semuanya padaku.”
“Iya, iya. Bye Kak. Titip salam pada keluarga.” Buru-buru Alisha menutup teleponnya.
‘Astaga, hampir saja aku ketahuan. Tapi, sepertinya nanti malam, aku menonaktifkan ponselku saja dulu.’
“Mama…” Anisha masih memeluk paha Alisha.
“Iya Sayang. Ayo, kamu mau mandi sama Mama? Boleh.”
“Tidak boleh Bu! Maaf, karena saya yang harus melakukannya.” Kata Dewi yang terus mengikuti Anisha.
“Gak mau! Aku gak mau sama mba Dewi!”
“Non, kalau kamu seperti ini, Tuan akan marah padamu. Non Anisha gak mau kan, papanya marah lagi?”
Bibir Anisha manyun dan cemberut. Dia tidak mau papanya, Sadewa marah padanya.
“Dewi, kamu siapkan pakaian ganti Anisha saja. Biar aku yang memandikannya.” Alisha menggendong Anisha.
“Tapi Bu-
“Jangan membantah! Biar aku yang bicara pada Sadewa nanti.” tidak mau mendengar alasan Dewi lagi, mereka berdua pun pergi ke kamar mandi.
‘Akh.. aku gak kuat lagi menghadapi mama palsu itu. Sampai kapan sih dia ada di sini?’
‘Kalau kayak gini terus, nona Miranda dan tuan Sadewa, tidak bisa menikah.’
Di dalam kamar mandi, betapa hebohnya mereka berdua, Alisha dan Anisha. Busa shampoo dikepala mereka berdua, tinggi seperti memakai sanggul. Dan, mereka juga berendam didalam bath up yang penuh dengan busa sabun.
“Mama, Mama, busanya wangi sekali.” Katanya, dia meletakan busa berwarna merah muda dikedua telapak tangannya.
“Jangan sampai masuk kedalam hidungnya ya. Biar gak perih.” Alisha juga sambil menggosok punggung Anisha dari belakang.
“Mama, aku suka sekali mandi dengan Mama.”
“Oh ya? Memangnya kalau sama mba Dewi gimana?”
Anisha geleng kepala, “Gak enak. Punggungku sakit ketika dia menggosoknya.”
“Loh? Kalau kamu gak nyaman, kenapa gak bilang sama papa kamu?” Alisha memiringkan kepalanya.
Anisha hanya diam dan memainkan busa yang masih ditangannya.
“Mulai sekarang, kalau Anisha gak suka sesuatu, lebih baik Anish katakan saja. Gak baik dipendam sendiri. Orang disekitarmu, yang perduli dan sayang padamu, akan merasa bersalah kalau Anish ternyata gak suka dengan pemberian mereka.”
“Anis… takut.”
“Kenapa? Apa ada yang menyakiti Anish? Bilang saja sama Mama. Biar Mama marahi mereka. Katakan, siapa orang itu?”
Anisha menggelengkan kepalanya, “Enggak. Gak ada Ma.”
‘Sepertinya dia masih belum siap untuk bicara.’
Selesai mandi, Alisha juga yang membantu Anisha berpakaian. Walau disana ada Dewi, tapi dia hanya berdiri dan mengawasinya saja. Membantu mengambilkan apa yang Alisha suruh padanya walau dia mengomel di dalam hati.
“Ada apa, Anis? Kok kamu kayak takut gitu?” ditangannya memegang sisir, dan Anisha sudah duduk didepan cermin meja rias.
“Ma, nanti sisiyl yambutnya pelan-pelan ya Ma.”
“Iya, memangnya ada yang nyisirin kuat?”
Anisha melihat Dewi yang berdiri diujung mereka. Anisha tidak menjawab apapun selain hanya diam, tapi Alisha mulai curiga.
“Sekarang, biar Mama sisir ya. Karena minyak rambutnya juga sudah dioleskan, rambut kamu sangat wangi dan lembut.”
“Beneyan lembut Ma?”
“Iya dong. Nih, coba kamu pegang sendiri.” Dia menuntun tangan Anisha diatas kepalanya, “Wah… iya, lembut banget.”
“Iya kan. Kamu lihat di cerminnya, biar Mama selesaikan menyisir rambut.”
Anisha sangat nyaman. Dia terus melihat Alisha dari cermin yang menyisir rambutnya. Rasanya, dia tidak ingin itu berakhir. Anisha benar-benar sangat menyukainya.
Ceklek!
Mereka bertiga kompak melihat siapa yang masuk ke dalam kamar Anisha.
“Papa?”
“Sayang?”
“Tu-Tuan Sadewa?”
Dalam satu waktu yang sama, Sadewa mendengar tiga sebutan yang berbeda untuknya.
“Kenapa kamu di sini, Alisha?”
“Aku baru memandikan Anisha. Enggak baru banget juga sih, sudah lama.”
Sadewa melihat puterinya yang duduk dipangkuan Alisha, begitu manja tanpa ada jarak atau canggung diantara dua perempuan beda usia itu.
“Papa! Papa sudah pulang? Tumben Papa cepat pulangnya.” Anisha turun dari pangkuan Alisha, dan menghampiri Sadewa. Dia memeluk paha papanya, menonggokan kepala keatas.
“Iya Nak, karena tadi kerjaannya juga sudah selesai.” Dia menggendong Anisha.
“Hmmmm…. Kamu wangi sekali.” Sadewa mencium rambut puterinya.
“Iya kan? Aku olesi minyak rambut juga biar rambutnya tetap lembut.” Alisha juga berdiri dari kursi riasnya, ingin bergabung bersama mereka.
‘Sok akrab banget wanita satu ini. Gak tahu malu.’ Pikir Dewi dalam hati.
‘Kalau Nona Miranda tahu, pasti dia akan marah.’