"Cuma karna I-Phone, kamu sampai rela jual diri.?" Kalimat julid itu keluar dari mulut Xander dengan tatapan mengejek.
Serra memutar malas bola matanya. "Dengar ya Dok, teman Serra banyak yang menyerahkan keperawanannya secara cuma-cuma ke pacar mereka, tanpa imbalan. Masih mending Serra, di tukar sampa I-Phone mahal.!" Serunya membela diri.
Tawa Xander tidak bisa di tahan. Dia benar-benar di buat tertawa oleh remaja berusia 17 tahun setelah bertahun-tahun mengubur tawanya untuk orang lain, kecuali orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Serra keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai kaos over size milik Xander. Dia seharian belum mandi karna sejak pagi menghadiri acara kelulusan di sekolahnya, lalu pergi bersama dengan tiga sahabatnya sampai sore. Begitu sampai di apartemen Xander, Serra langsung pamit untuk membersihkan diri dan meminjam baju Xander karna dia tidak membawa baju ganti.
Sementara itu, Xander tampak sibuk dengan laptopnya. Dia duduk di sofa yang ada di dalam kamarnya. Serra langsung menghampiri Xander dan bergabung di sebelahnya. Serra terlihat leluasa melakukan aktivitas di kamar Xander tanpa canggung. Mungkin karna sejak awal Xander membebaskan Serra keluar masuk di kamarnya.
"Lagi ngapain Dok.?" Tanyanya sembari mendekatkan kepala untuk mengintip layar laptop milik Xander.
"Ngecek perkembangan pasien." Xander menjawab dengan mata yang fokus membaca data riwayat pemeriksaan pasien hari ini. Data itu baru di kirimkan oleh Fira beberapa menit lalu.
Serra mengangguk-anggukkan kepalanya walaupun tidak paham. Dia mengambil ponsel dan memainkannya untuk mengusir kejenuhan sambil menunggu Xander selesai dengan pekerjaannya. Serra terkekeh kecil saat membaca deretan chat di grup bestienya. Ternyata ketiga sahabatnya itu sejak tadi heboh membahas gaya. Mereka juga mengusulkan beberapa gaya untuk Serra agar malam ini bisa memberikan kesan yang tak terlupakan bagi Xander. Marisa bahkan mengirim potongan video agar bisa dipraktikkan oleh Serra.
Mendengar kekehan Serra, Xander reflek menoleh karna penasaran. "Ngetawain apa.?" Tanyanya sambil mengintip layar ponsel Serra. Matanya menyipit ketika melihat ada video seperti itu yang dikirim dalam obrolan grup.
"Temen Serra ngasih rekomendasi gaya Dok. Gayanya aneh-aneh, bikin Serra ketawa. Mana di kasih video beginian." Sahutnya kemudian membuka kembali kiriman video dari Marisa dan menyodorkannya pada Xander.
"Hapus nggak.!" Titahnya tegas. Xander tidak menerima ponsel itu, tidak juga menontonnya meski sedang diputar oleh Serra.
Bibir Serra mencebik sembari menuruti perintah Xander. "Baru sekali di tonton, sudah di suruh hapus aja." Protesnya.
Xander menghela nafas. "Kamu tau nggak dampak nonton film seperti itu.?!" Serunya.
Serra mengangguk cepat. "Tau lah Dok. Yang pertama Serra jadi pengen, yang kedua Serra jadi nambah ilmu. Dan yang paling penting, Dokter bisa Serra pua sin pakai cara-cara yang ada di film itu." Jawabnya enteng.
Xander menepuk jidatnya sendiri. Serra ini benar-benar mengujinya dalam segala hal.
Serra malah tertawa melihat Xander kehabisan kata-kata karna ucapannya.
"Serra nggak pakai baju dalam tau Dok." Tuturnya memberi tau. "Padahal udah siapin di tas, tapi tadi pagi lupa nggak kebawa tasnya."
"Terus.?" Tanya Xander pura-pura bodoh.
Serra memutar malas bola matanya, dia tau Xander tidak sebodoh itu. "Dokter kelamaan ah, nanti Serra keburu ngantuk.!" Gerutunya kemudian berdiri dan langsung naik ke atas pangkuan Xander tanpa aba-aba.
Baju over size yang di pakai Serra otomatis tersingkap ke atas. Xander sampai bisa melihat benda itu yang tidak berbalut apapun jika dia menundukkan kepala. Serra benar-benar tidak memakai penutup bawah dan atas. Tubuhnya benar-benar hanya dibalut kaos over size tanpa apapun lagi.
Serra mendekatkan wajah untuk mencium Xander. Dia berkali-kali lipat lebih agresif dari biasanya, membuat gairah Xander tersulut dengan cepat dan langsung mengimbangi permainan Serra.
Serra meng3rang tertahan di sela-sela ciumannya. Dia bisa merasakan jemari Xander bermain di bawah sana.
Tubuh Serra ikut bergerak seirama dengan ulah Xander. Serra tidak mau kalah, dia menyudahi semua aktifitasnya dan turun dari pangkuan Xander lalu berlutut di lantai, tepat di antara kedua kaki Xander. Tanpa ragu, Serra memberikan permainan yang membuat Xander menge rang.
Makin lama, kegiatan mereka semakin pa nas. Serra mendominasi permainan dan Xander diminta untuk nikmati saja.
...*****...
Serra memandangi wajah Xander yang terlelap. Sekarang baru pukul 4 pagi, tapi Serra tiba-tiba terbangun setelah mimpi buruk. Dia bermimpi Xander meninggalkannya dan memilih wanita lain untuk dinikahi.
"Ini gara-gara aku belum siap pisah dari Dokter Xander." Gumamnya lirih. Sebenarnya pindah ke luar kota tanpa memberi tau Xander adalah keputusan yang berat, namun Serra merasa perlu sadar diri bahwa ada ataupun tidak ada dirinya di hidup Xander tidak akan berarti apa-apa. Jadi memberitahu Xander pun percuma. Apalagi sejak awal Xander sudah ingin mengakhiri kesepakatan, Serra saja yang terus memohon agar diberi waktu lebih lama untuk berada di samping Xander. Jadi kedekatan ini atas keinginan Serra, bukan Xander.
Serra membenarkan selimutnya sampai sebatas leher, dia mengeratkan pelukannya pada Xander dsn mencoba untuk memejamkan mata lagi.
"Aku harap ada bayi kita di dalam perutku. Setidaknya jika pria tua itu datang lagi dan memaksaku menjadi pendonor, aku punya alasan kuat untuk menolaknya." Gumamnya dalam hati.
Sebenarnya tujuan Serra buka hanya untuk menghindari donor sumsum. Serra sudah terobsesi pada Xander dsn ingin memiliki keturunan Xander. Tidak peduli meski harus berjuang sendiri, setidaknya bisa membawa bagian dalam diri Xander.
...*****...
Serra beranjak dari kamar pukul 5 pagi. Tadi saat terbangun, dia sudah mencoba untuk tidur lagi, tapi kedua matanya tidak bisa diajak kerja sama. Mungkin juga karna banyak pikiran, membuat Serra kesulitan tidur lagi. Padahal tubuhnya terasa remuk karna semalaman melakukan pergulatan panjang dan melelahkan dengan Xander.
Di luar kamar, Serra mengerjakan apapun yang bisa dia kerjakan. Ini hari terakhirnya dia di apartemen Xander. Kedepan Serra tidak yakin apakah dia bisa datang ke apartemen ini lagi atau tidak. Serra bahkan ragu dia bisa bertemu dengan Xander di masa depan.
Selesai membereskan ruang tamu dan ruang keluarga, Serra menyempatkan diri membuat sarapan. Dia menata sandwich dan teh panas setelah 30 menit berkutat di dapur. Hanya itu bahan makanan yang bisa Serra olah menjadi sarapan. Beberapa potong buah juga sudah tersaji.
Serra beranjak ke kamar untuk membangunkan Xander. Sekarang baru pukul 6 lewat. Tapi Xander harus segera bersiap karena semalam mengatakan akan pergi ke rumah sakit pukul 8 pagi.
"Dari mana Om tau Serra ada disini.?"
Sayup-sayup Serra mendengar Xander bicara dengen seseorang setelah membuka pintu kamar dengan perlahan. Serra memilih berdiri di tempat karna mendengar namanya di sebut-sebut dalam obrolan.
"Saya belum bicara dengan Serra soal itu, lagipula usianya belum genap 18 tahun." Ujar Xander memberi tau.
"Saya turut sedih mendengarnya, semoga Zayn bisa melewati masa kritisnya." Lirihnya tampak sendu.
Di balik pintu, Serra hanya mematung dengan air mata yang mulai membanjiri pipi. Tiba-tiba banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Bagaimana bisa Xander mengenal Papa kandungnya dan berhubungan baik. Dan dari obrolan itu, Serra bisa mengambil kesimpulan jika Papanya meminta bantuan pada Xander.
Serra buru-buru menjauh dari kamar Xander dan kembali ke dapur. Dengan perasaan kecewa, Serra menghapus kasar air mata di pipinya.
"Apa dia sengaja membuatku dekat dengannya agar bersedia menjadi pendonor untuk Zayn.?" Lirihnya.
"Kamu disini rupanya,," Xander tiba-tiba datang dan mengacak pucuk kepala Serra, lalu menarik kursi untuk duduk di sebelahnya.
Serra tersenyum kaku. "Serra baru selesai membuat sarapan." Ujarnya.
Xander mengangguk dan mengambil teh hangatnya untuk di minum.
"Saya sudah pesan baju ganti untuk kamu, mungkin sebentar lagi datang."
"Makasih Dok. Nanti Serra langsung pulang saja, nggak perlu di antar."
Xander menoleh, dia heran karna Serra tiba-tiba berubah pikiran. Padahal semalam Serra sendiri yang minta di antar pulang.
"Saya masih bisa mengantar kamu sebelum ke rumah sakit." Kata Xander setelah melirik jam.
"Serra ada urusan setelah ini. Nggak apa-apa, Serra bisa pulang pakai taksi."
Xander tidak mendebat lagi karna Serra bersikeras tidak mau di antar. Dia enggan memaksanya.