Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Empat - Lebih Mementingkan Orang Lain
Amara terbangun dari tidurnya, entah kenapa dia sudah berada di kamar dan dia hanya sendiri di dalam kamarnya, tidak ada Alvaro sama sekali. Mungkin Alvaro sedang di ruang kerjanya, pikir Amara.
Amara beranjak dari tempat tidurnya, dia langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri, karena tadi belum bersih-bersih saat pulang. Dia benar-benar ngantuk dan lelah sekali, bahkan sampai tak sadar kalau sudah sampai rumah, dan sekarang juga sudah hampir pukul sepuluh malam.
Setelah selesai dengan urusannya di kamar mandi dan berganti pakaian, Amara langsung pergi ke ruang kerja Alvaro. Namun di dalam sana sepi, tidak ada Alvaro, entah ke mana perginya suaminya malam ini. Amara yang merasa lapar akhirnya pergi ke dapur, untuk mengambil makanan. Untung saja makanan masih ada, Bi Asih sudah pasti memasak untuknya, sepertinya Varo juga sudah makan malam tadi, karena ada piring kotor dan lauk sudah terlihat diambil sebagian.
Amara melihat Bi Asih yang juga pergi ke dapur, untuk membersihkan dapur sebelum dia istirahat.
“Bu baru bangun?” tanya Bi Asih.
“Iya, Bi. Capek sekali aku, sampai gak sadar sudah ada di kamar,” jawab Amara. “Oh iya, Bi, bapak di mana, ya?” tanya Amara.
“Bapak keluar dari jam tujuh, habis makan malam langsung keluar lagi, gak tahu mau ke mana, katanya penting, dan terlihat gugup,” jawab Bi Asih.
“Ya sudah, Bi, nanti saya telefon bapak saja. Bibi istirahat saja gih,” ucap Amara.
“Baik, Bu. Setelah bereskan ini saya istirhat,” jawab Bi Asih.
Amara sudah tidak ada nafsu makan sedikit pun saat mendengar suaminya pergi dari tadi. Amara yakin suaminya pasti menemui perempuan itu dan anak kecil itu di rumah sakit. Sudah pasti perempuan itu meminta suaminya ke rumah sakit dengan alasan anaknya rewel, maunya dengan Alvaro saja. Benar-benar wanita berkepala ular, memanfaatkan anaknya agar dekat dengan Alvaro. Amara yakin kalau urusan anak kecil itu, Varo tidak mungkin menolaknya.
Kadang Amara berpikir, bolehkah diriya sedikit egois untuk meminta semua perhatian suaminya?
^^^
Alvaro menatap ponselnya yang berdering. Sudah pukul jam sepuluh malam, ia baru sadar sudah selarut itu, dia menemani Alea yang dari tadi rewel di rumah sakit.
“Lea, om angkat telepon dulu, ya?” ucap Alvaro. Alea mengangguk, dan dia langsung keluar ruangan, duduk di kursi tunggu lalu menerima telefon dari Amara.
“Halo, Ra? Aku minta maaf sekali, aku gak sempat pamit kamu, aku gak mau ganggu tidur kamu, Ra.”
“Mas di mana? Apa di rumah sakit menemani Alea?”
“I—iya, maaf, tadi Cindi menelefon aku, Alea sangat rewel, maunya aku di sini.”
“Ada Cindi juga?”
“Ada di dalam. Aku di luar menerima telefon kamu.”
“Oh ya sudah, aku mau bilang saja, besok aku mau pergi dengan teman-teman aku pulang kerja, mau nonton.”
“Ke mana? Sama siapa saja? Ada cowoknya?”
“Ada, dengan kakaknya Dewi.”
“Aku gak izinin kamu!”
“Kenapa? Mas sendiri saja mudah menemui wanita lain di belakang aku? Kenapa aku gak boleh pergi dengan kakak laki-lakinya Dewi? Aku gak berdua, ada Dewi juga?”
“Aku di sini menemani Alea saja, Ra!”
“Aku gak masalah, Mas! Lakukanlah semaumu, Mas! Aku juga akan melakukan apa yang aku mau!”
“Mas akan pulang sekarang!”
“Sekarang kamu bilang, pasti besok baru sampai rumah!”
“Sekarang, Ra!”
“Buktikan saja! Kamu paling gak bisa meninggalkan anak kamu itu! Anak gak jelas asal-usulnya!”
Sambungan telepon terputus sepihak. Alvaro meremas rambutnya, dia yakin Amara kembali marah padanya. Alvaro langsung masuk ke dalam ruangan Alea, dan berusaha pamit pada Alea untuk pulang.
“Sayang, Om pamit pulang, ya?” ucap Alvaro mendekati Alea, dengan bicara pelan.
“Gak mau! Om gak boleh pulang! Om di sini saja, jangan pulang, jangan sama tante Amara! Dia itu jahat, om!” teriak Alea.
“Lea, Tante Amara itu baik, gak jahat, Sayang?”
“Gak, dia jahat! Om di sini saja!”
“Iya, Sayang. Om Varo gak akan pulang kok. Dia akan menginap di sini menemani kamu,” ucap Cindi membujuk Alea dan memberikan isyarat pada Alvaro, supaya dia mengikuti rencana dirinya.
“Iya, Om akan menemani Alea malam ini, tapi om mau tanya sama Alea, jawab jujur, ya?” ucap Alvaro, dan dijawab Anggukkan kepala oleh Alea.
“Kenapa Alea tidak suak Tante Amara? Dan, kenapa Alea bilang tante Amara jahat?” tanya Alvaro.
Cindi yang mendengar itu pun, dia langsung panik sekali. Karena takut Alea menjawab jujur pada Alvaro, bahwa dirinya yang bilang kalau Amara adalah orang jahat yang merebut Alvaro dari Cindi dan dirinya.
“Mana mungkin Alea seperti itu, Mas? Mungkin Alea belum nyaman dengan Amara, kan mereka baru kenal?” ucap Cindi menjelaskan.
“Mungkin saja,” ucap Alvaro membenarkan ucapan Cindi.
“Ya sudah yuk, Tuan Putri nya Om harus bobo, ini sudah malam,” ucap Alvaro membujuk Alea, supaya dia mau tidur.
^^^
Amara menatap nanar suaminya yang baru saja pulang. Alvaro yang bilang akan segera pulang, namun membuat Amara menunggu selama dua jam. Amara kira suaminya akan langsung pulang, seperti yang ia bilang di telepon tadi, tapi kenyataannya Alvaro tidak kunjung pulang sampai dua jam lamanya.
Begitu susahnya Alvaro meninggalkan merka? Kenapa sekalian tidak besok pagi saja pulangnya? Menginap menemani mereka saja di sana yang sangat membutuhkan dirinya?
“Maafkan aku, Ra. Tadi aku sudah berusaha membujuk Alae, tapi dia malah menangis, dan tidak memperbolehkan aku untuk pulang. Jadi aku harus menemani dia sampai dia tidru dulu,” jelas Alvaro pada Amara.
“Kenapa gak sekalian nginep saja, Mas? Dia kan lebih membutuhkan kamu di sana? Membutuhkan sosok ayahnya di sampingnya,” ucap Amara dengan tenang.
Saat tadi menelefon Alvaro, Amara hanya ingin memastikan keegoisannya, apa dia bisa egois dengan membuat Alvaro berada di sisinya, dan lebih mementingkan dirinya daripada Alea dan Cindi? Walaupun Amara tahu, tidak mudah bagi Alvaro untuk meninggalkan Alea dan Cindi begitu saja. Amara tahu jika Alvaro pasti akan lebih memilih Alea daripada dirinya. Amara sangat kecewa sekali malam ini. Lagi dan lagi, ia dibuat kecewa oleh laki-laki plin-plan tak berpendirian itu.
“Kamu jangan salah paham, Ra. Aku hanya menemani Alea di sana, tidak lebih,” ucap Alvaro dengan mendekati Amara, akan tetapi Amara yang sudah malas dengan suaminya itu lebih memilih membaringkan tubuhny membelakangi Alvaro.
“Iya aku paham! Sudah istirahat, ini sudah malam. Aku juga masih ngantuk banget!” ucap Amara, dia memilih tidur lagi, karena memang kantuknya kini menyapa lagil. Entah kenapa Amara akhir-akhir ini merasakan cepat ngantuk, lelah, dan cepat lapar.
“Ya sudah kita bicarakan besok lagi,” ucap Alvaro menyerah. Karena percuma saja di menjelaskan pada Amara, kalau Amara saja tidak mau mendengarkan penjelasannya.
Amara sudah memantapkan hatinya, mungkin saran dari Dewi itu akan berlaku padanya. Biar saja, suaminya saja egois, lebih mementingkan orang lain daripada dirinya?