"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Harapan
Hujan deras mengguyur tak berhenti, air membasahi tanah yang sudah becek, genangan air di mana-mana. Ryan masih terdiam di sana, tubuhnya nyaris tak bergerak, hanya sedikit gemetar karena dingin. Dari jauh, Hana melihatnya. Perasaannya campur aduk antara cemas dan takut. Sejak tadi, ia mencoba mengikuti Ryan, tapi kehilangan jejaknya saat harus membeli payung.
"Ryan," gumamnya pelan, tak ada yang mendengar selain dirinya. Langkahnya semakin cepat, rasa cemas terus merayap dalam dadanya. 'Apa yang terjadi padanya?' pikir Hana. Ia mempercepat langkahnya, tak peduli bahwa payung yang dibelinya kini terabaikan, tertinggal entah di mana.
Semakin ia mendekat, semakin nyata pemandangan yang membuat hatinya terhenyak. Di sana, di gang sempit dekat jalan utama, Ryan terbaring lemas. Wajahnya pucat, pakaiannya basah kuyup, dan lumpur menempel di mana-mana. Tidak ada teriakan dari Hana, hanya rasa panik yang mengguncang hatinya.
Tanpa pikir panjang, Hana berlari mendekat. Tangannya gemetar saat dia berlutut di samping Ryan. Payung yang seharusnya melindunginya dari hujan, terlupakan. "Ryan..." suaranya hanya bisikan di antara gemuruh hujan yang membanjiri jalanan.
Matanya menyapu tubuh Ryan yang tak berdaya, napasnya tertahan. Ryan masih bernapas, meski terengah-engah. Matanya setengah terbuka, namun pandangannya kabur. "Hana?" gumamnya dengan suara lemah yang hampir tak terdengar di tengah hujan deras.
"Iya, ini aku," jawab Hana cepat, suaranya penuh kekhawatiran yang ia coba sembunyikan. "Kamu terluka. Apa yang terjadi?"
Ryan menggerakkan kepalanya sedikit, mencoba menghindari tatapannya. "Bukan urusanmu..." kata-katanya terdengar samar, seolah ia sedang berjuang untuk berbicara.
Hana mengernyitkan dahi. "Kau perlu bantuan. Biarkan aku membantumu."
Ryan menggertakkan gigi, berusaha bangkit tapi gagal. Tubuhnya tak merespon seperti yang ia inginkan, dan akhirnya, ia menyerah pada gravitasi. Namun, Hana tidak membiarkan dia tetap tergeletak di sana. Ia mencoba membantu Ryan berdiri, walaupun berat, beban tubuh Ryan lebih dari yang ia perkirakan.
"Berhenti," desis Ryan, nadanya tajam namun lemah. "Aku bisa sendiri."
"Jangan bodoh," kata Hana, menarik Ryan berdiri meskipun ia hampir jatuh sendiri. "Kau hampir pingsan."
Ryan menahan diri, mencoba melawan keinginan untuk memaksa dirinya menjauh dari Hana. Ia merasa lemah, terlalu lemah, bahkan untuk sekadar menolak bantuan seseorang yang selama ini hanya bersikap baik padanya. Tetapi di dalam pikirannya, suara-suara menuduh itu tidak mau hilang. 'Kenapa dia harus melihatku dalam keadaan begini?'
Mereka berdiri bersama di bawah hujan, basah kuyup, tanpa payung. Hanya keheningan yang berbicara di antara mereka.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Hana, nadanya berubah lebih lembut, tetapi penuh perhatian.
"Itu bukan urusanmu," jawab Ryan dingin, menatap ke tanah yang basah. Suaranya hampir tenggelam oleh suara air yang menetes dari atap-atap bangunan di sekitar mereka. Ia tahu, jika Hana terlibat lebih jauh, hal itu hanya akan membahayakannya.
Namun, Hana tidak menyerah. "Kau tidak harus menghadapi ini sendirian," ucapnya, suaranya penuh ketulusan yang membuat hati Ryan terasa semakin berat.
"Sudah kubilang, ini bukan urusanmu," desak Ryan, nadanya tajam namun rapuh.
Mereka berjalan bersama, meninggalkan gang itu dalam hening. Hana berjalan di sampingnya, meskipun Ryan berusaha menjaga jarak. Hujan masih turun deras, menciptakan tirai air yang menutupi jalanan sepi. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka, hanya langkah kaki yang terdengar samar di antara tetesan hujan.
Saat mereka tiba di persimpangan, Hana berhenti. "Rumahku di arah sana," ujarnya sambil menunjuk jalan kecil di sebelah kanan. "Kau bisa datang kalau butuh sesuatu."
Ryan berhenti, tapi tak menatap Hana. "Aku akan baik-baik saja," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.
Hana tetap menatapnya, berharap Ryan akan mengatakan sesuatu. Namun, Ryan tetap diam, tak ingin menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Akhirnya, Hana menghela napas. "Ryan, kau tidak sendirian, kau tahu?" Ia mengulurkan tangan, menyentuh kepala Ryan dengan lembut.
Ryan meneguk ludah, terkejut oleh sentuhan lembut yang terasa asing baginya. Ia tak ingat kapan terakhir kali seseorang menunjukkan perhatian seperti itu. Tapi perasaan itu, hangat namun menusuk, membuat dadanya terasa semakin sesak.
"Kenapa kau melakukan ini?" bisik Ryan, suaranya hampir hilang di antara suara hujan.
Hana tersenyum tipis, menatapnya dengan penuh ketulusan. "Karena kau tidak harus menghadapi ini sendirian," ulangnya, kali ini lebih pelan.
Ryan merasakan air mata menggenang di matanya. Ia mencoba menahannya, menekan perasaannya agar tidak terlihat lemah di depan Hana. Namun, air mata itu akhirnya jatuh, bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Ia merasa begitu terpuruk, begitu hancur, namun ada sesuatu yang hangat di dalam hatinya, sesuatu yang belum ia sadari sebelumnya.
Mereka berdiri dalam diam, hanya hujan yang terus mengguyur tanpa henti, menyelimuti mereka dalam tirai air yang melenyapkan dunia luar. Ryan tak tahu harus berkata apa, hatinya bergejolak, takut sekaligus berharap.
Ryan mencoba menenangkan dirinya, tapi air mata terus jatuh, bercampur dengan hujan yang masih membasahi wajahnya. Tangisnya tak bisa tertahan lagi, meskipun dia benci terlihat lemah seperti ini. Hana tetap diam di sampingnya, tak memaksa. Ia tahu Ryan butuh waktu.
"Kenapa harus seperti ini?" Ryan akhirnya membuka mulut, suaranya serak, hampir tak terdengar. "Aku... aku hanya ingin melupakan semuanya. Tapi kenapa rasanya makin sulit?"
Hana menatapnya tanpa menginterupsi, membiarkan Ryan berbicara. Dia tahu, di balik sikap dingin dan tertutup Ryan, ada banyak luka yang belum sembuh.
"Aku ingin lari... menjauh dari semuanya. Masa lalu itu, kenapa terus membayangi?" suara Ryan terdengar semakin lirih, seperti berbicara pada dirinya sendiri, bukan kepada Hana.
Tangannya mengepal, kuku-kukunya menekan kuat ke telapak tangan, mencoba menahan rasa sakit. "Aku ingin... melupakan semuanya. Tapi mereka, orang-orang itu, mereka tidak biarkan aku pergi. Aku terus diseret kembali..."
Ryan berhenti, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia menyadari dirinya sudah terlalu jauh membuka luka lama. Dengan cepat, dia menyembunyikan lagi perasaannya yang berantakan. "Lupakan saja," katanya tiba-tiba, suaranya kembali datar. "Itu bukan hal yang penting."
Hana mengerutkan kening, tidak yakin apa yang baru saja ia dengar. "Tapi, Ryan-"
"Sudah cukup," potong Ryan tajam, meski suaranya masih sedikit bergetar. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menghapus sisa air mata yang masih mengalir. "Aku... aku hanya lelah."
Hana menunduk, tak ingin memaksa lebih jauh. Ia bisa merasakan betapa rapuhnya Ryan saat ini, meskipun dia berusaha keras menutupi rasa sakitnya.
Mereka berdiri di sana, terbungkus oleh keheningan yang hanya diisi oleh suara rintik hujan yang mulai mereda. Langit yang sebelumnya gelap perlahan-lahan mulai terbuka. Cahaya matahari sore menerobos awan-awan kelabu, menembus rintik hujan terakhir, menciptakan semburat hangat yang menyinari mereka.
Hana mendongak, matanya mengikuti sinar cahaya yang jatuh tepat di wajah Ryan. Pemandangan itu terasa seperti jeda dalam badai emosi yang barusan terjadi. Cahaya lembut yang menyinari mereka menciptakan kontras dengan kegelapan yang baru saja mereka lewati.
Ryan menatap cahaya itu dengan mata lelah. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. "Hana... terima kasih," ucapnya pelan, hampir berbisik. Ia tak ingin melanjutkan kalimatnya, tapi di dalam hati, ia tahu momen ini tak akan pernah ia lupakan.
Hana tersenyum kecil, samar tapi tulus. "Aku ada di sini," jawabnya dengan lembut.
Hujan kini benar-benar berhenti. Genangan air di tanah memantulkan langit sore yang perlahan mulai memerah. Hana dan Ryan tetap berdiri di sana, membiarkan momen itu berlalu, tahu bahwa di antara derita dan kekacauan, selalu ada momen kecil yang tak terhapuskan.
Bagi Ryan, walau hanya sejenak, ia merasa lebih ringan. Tepat di saat ia hampir tenggelam dalam kegelapan, Hana hadir, memberikan secercah cahaya yang tak pernah ia sangka bisa ia temukan lagi.
...----------------...
susah loh buat adegan ini🤧
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂