Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13: Ketika Kebenaran Terungkap dan Pertarungan Dimulai
Ruri baru saja selesai memasukkan laporan penelitiannya ke panitia kompetisi. Dia merekomendasikan bahwa kompleks perumahan tersebut tidak benar-benar berhantu, melainkan kesalahan dalam desain rumah yang memungkinkan burung gagak bersarang di dalam atap. Celah atap yang gelap dan semak-semak yang tumbuh terlalu lebat membuat perumahan itu terlihat menyeramkan, tetapi dengan memotong semak-semak dan memperbaiki atapnya, masalah itu bisa teratasi.
Pagi itu, Ruri duduk di ruang tamu sambil membaca koran yang melaporkan perbaikan kompleks perumahan berdasarkan sarannya. “Akhirnya mereka memotong semak-semak dan memperbaiki atap,” gumam Ruri pelan, cukup keras untuk didengar oleh Carlos yang duduk di sebelahnya.
"Jadi, tim lawan akhirnya mengundurkan diri, ya?" tanya Carlos sambil tersenyum dingin, lalu berbisik dalam hatinya, Tentu saja tidak sesederhana itu. Dia tahu betul bahwa sebenarnya itu memang rumah berhantu, dan semua makhluk astral di sana telah dibasmi oleh makhluk misterius yang selalu bersama Akasha. Tapi bagaimanapun, perbaikan atap tetap penting.
Carlos mengingat bagaimana dirinya berperan besar dalam melindungi Ruri tanpa dia sadari. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, puas karena berhasil melindungi tanpa harus terlibat langsung dalam urusan manusia biasa. Ruri yang melihat senyum Carlos langsung salah paham, mengira Carlos sedang memikirkan hal-hal aneh tentang dirinya.
"Jangan pikir yang macam-macam!" Ruri berteriak, mukanya memerah. “Kita ini tidak pacaran!”
Carlos menatap Ruri dengan wajah datar, tanpa menanggapi. Wajah dinginnya membuat Ruri semakin salah tingkah. Dia segera berdiri, berpura-pura mengecek jemuran di luar, padahal sinar matahari masih terik. "Aku... lihat dulu apakah jemurannya sudah kering," katanya gugup, sambil berjalan ke arah teras.
Carlos mengikuti Ruri dengan langkah tenang, matanya memperhatikan setiap gerakan gadis itu. Ketika Ruri membuka kulkas dan mengambil es krim, Carlos tiba-tiba bergerak cepat dari belakangnya, mencoba menggigit es krim yang baru saja dicicipi oleh Ruri. Ruri tersentak, menghindar dengan wajah semakin memerah. “Hei! Jangan makan es krimku! Itu... itu sama saja dengan ciuman tak langsung!” teriak Ruri, semakin gugup.
Carlos hanya menyeringai, tidak mengatakan apa-apa, terus mendekat seolah-olah seekor kucing yang mengejar mangsanya. Ruri mundur, tetapi langkahnya terhenti ketika Carlos tiba-tiba memeluknya dari belakang. Tubuhnya yang dingin namun hangat terasa begitu dekat, napasnya menyentuh lembut telinga Ruri, membuatnya semakin salah tingkah.
Namun, kedamaian itu langsung hancur ketika sebuah suara nyaring dan bernada tinggi kembali terdengar.
“Waduuuh, astaga! Lagi-lagi anak muda zaman sekarang! Apa-apaan sih mesra-mesraan di luar ruangan?!” suara ibu-ibu itu, yang sudah sangat dikenal Ruri, memecah ketenangan sore.
Ruri berbalik cepat, melepaskan pelukan Carlos, wajahnya merah padam. “Ibu! Ini tidak seperti yang ibu pikirkan!” Ruri akhirnya berani melawan, meskipun dia sendiri masih merasa gugup dan canggung.
Inilah ibu-ibu yang sama lagi. Yang selalu muncul di momen paling nggak tepat.
“Bu... ini cuma makan es krim kok,” kata Ruri sambil mencoba tenang, walau mukanya sudah merah padam. “Nggak ada yang mesra-mesraan di sini.”
Si ibu melipat tangan di dadanya dan mendengus dengan gaya dramatis. “Hah! Es krim katanya? Kalau cuma es krim, kenapa harus berdiri deket-deket begitu? Aduh, kayaknya kalian ini lupa ya, ada aturan nggak tertulis soal sopan santun di depan umum! Kalau mau makan es krim sambil pelukan, ya di dalam rumah aja!”
Ruri terperangah, dan kali ini dia tidak bisa menahan emosinya. “Bu, seriusan, ini nggak seperti yang ibu bayangkan.”
“Oh iya? Pasti alasan klasik ‘kami cuma teman’ ya?” si ibu menyela dengan nada skeptis, matanya menyipit curiga. “Ah, sudah banyak cerita kayak gini di TV. Jangan kira ibu nggak tau modus-modus kalian anak muda! Awalnya es krim, nanti apa? Milkshake?”
Ruri seketika tersedak. “Ibu, ini beneran cuma es krim, nggak ada hubungan sama milkshake! Lagian milkshake apa hubungannya?”
“Ah, sudah jangan berdalih di depan ibu, Nak. Ibu ini udah pengalaman!” ibu itu menggeleng-geleng penuh drama, seakan tahu segalanya. “Zaman dulu juga ada yang bilang begitu, tau-tau...” dia menggerakkan tangannya seperti sedang menggambarkan sesuatu yang sangat besar, “...mereka malah jadi pasangan bulan madu!”
Carlos yang sedari tadi diam hanya melirik dengan tatapan datar seketika tawanya meledak mendengar ucapan si ibu itu.
“Bu, sumpah... Itu tidak benar...!”
“Ya ya, ngomong apa aja. Ibu buru-buru mau masak, mesti ke warung sebelah segera... "
Ibu-ibu itu terdiam sejenak, sebelum wajahnya mengeras.
Ruri hendak membalas lagi, tapi tiba-tiba ibu-ibu itu terdiam. Wajahnya berubah pucat dan dengan gemetar ia menunjuk ke belakang Ruri. Ruri merasa sesuatu yang aneh, namun sebelum sempat dia berbalik,
“Awas, di belakangmu!” seru ibu itu dengan suara gemetar. Namun belum sempat seruan ibu itu berakhir, Carlos sudah bergerak lebih cepat.
Ruri berbalik dan terkejut mendapati Aditya, dengan potongan kayu besar di tangannya, siap menyerang. Dia mendekat dengan wajah yang penuh kemarahan dan kebencian. Tapi sebelum Aditya bisa melayangkan kayunya ke arah Ruri, Carlos dengan sigap menangkap tangan Aditya, meskipun tangannya terluka dan berdarah akibat hantaman tersebut.
___
Kilas Balik - Sehari Sebelum Kunjungan Ruri di Rumah Angker
Aditya, yang sombong dan merasa dirinya lebih unggul, memimpin timnya dengan penuh arogansi. Dia memandang rendah Ruri dan asal-usulnya yang sederhana. “Dia cuma orang kampung! Tidak pantas bersaing dengan kita,” cibir Aditya kepada timnya. Dia bahkan menghina latar belakang keluarga Ruri, mencela bahwa Ruri hanya yatim piatu yang tidak punya masa depan. Niat jahatnya untuk menjatuhkan Ruri semakin dalam ketika dia mulai merencanakan untuk menyebarkan rumor negatif tentangnya di media sosial.
Namun, niat buruk Aditya ternyata mengundang kehadiran makhluk yang lebih berbahaya dari sekadar hantu. Asap hitam pekat tiba-tiba muncul dan merasuki tubuh Aditya, membuatnya kehilangan kesadaran. Sementara itu, timnya yang lain mulai dihantui oleh ketakutan mereka sendiri, membuat suasana semakin mencekam.
___
Carlos, yang menyadari ada yang tidak beres dengan Aditya, langsung bertindak. Pertarungan singkat namun sengit pun terjadi. Meskipun Aditya memiliki kekuatan luar biasa karena dirasuki, Carlos mampu menanganinya dengan tenang dan cepat. Dengan sekali tebasan, kayu di tangan Aditya terlepas dan jatuh ke tanah. Carlos mendorong Aditya hingga terjatuh, lalu menundukkan kepalanya, memeriksa keadaan pria yang kini pingsan.
Ruri segera menghampiri Carlos yang terluka. “Carlos, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya khawatir, melihat tangan Carlos yang berdarah.
Sebelum Carlos bisa menjawab, ibu-ibu yang menyaksikan kejadian itu segera berteriak. "Aduh, astaga! Ini nggak bisa dibiarkan! Harus lapor polisi!" Suara ibu-ibu itu tiba-tiba terdengar keras, memecah ketegangan yang baru saja mereda setelah Carlos berhasil menjatuhkan Aditya yang kini terbaring pingsan di tanah.
Ruri yang masih terengah-engah, segera berdiri dengan panik. "Bu, tunggu, jangan lapor polisi dulu!" serunya sambil melangkah cepat menghampiri ibu-ibu yang sudah mengambil ponselnya.
Ibu-ibu itu menatapnya tajam dengan mata melotot, jari-jarinya siap memencet nomor darurat. "Lapor polisi harus! Ini serangan serius! Ada saksi, ada bukti! Jangan main-main soal hukum, Nak!"
"Bu, tolong, dengerin dulu," Ruri mencoba menenangkan dengan suara pelan namun penuh harap. "Ini bukan seperti yang ibu pikirkan. Ini masalah kompetisi penting. Kalau kasus ini sampai tersebar, semuanya bisa hancur, termasuk kesempatan saya."
Si ibu mendengus keras, lipatan di dahinya semakin dalam. "Kesempatan? Kesempatan apa yang lebih penting daripada nyawa kamu? Ini udah keterlaluan, kamu diserang, Nak! Nyawa di atas segalanya!" Ibu itu bersikeras, sementara pandangannya berkali-kali beralih ke Aditya yang terkapar tak sadarkan diri.
Ruri mengangkat tangannya dengan putus asa. "Bu, saya tahu, ini berbahaya. Tapi kalau kasus ini dilaporin ke polisi dan media tahu, nama saya dan reputasi kompetisinya bisa hancur! Saya udah berjuang keras sampai tahap ini, bu. Ini satu-satunya harapan saya buat masa depan."
Si ibu mengerutkan alisnya, masih terlihat skeptis. "Harapan apa? Masa depan apa? Apa kamu pikir kompetisi lebih penting daripada keselamatan kamu sendiri?"
"Ini soal hidup saya, bu!” suara Ruri pecah, menunjukkan betapa beratnya beban di hatinya. "Saya dari kecil udah yatim piatu, dan ini satu-satunya cara saya buat keluar dari semua masalah hidup saya. Hadiah kompetisi ini bisa mengubah segalanya. Saya nggak punya kesempatan kedua."
Ibu itu tampak tersentak sejenak, wajahnya perlahan melunak mendengar kata-kata Ruri. Tapi, tetap saja, ia masih bersikeras. "Tapi hukum tetap hukum, Nak. Serangan itu tetap harus dilaporin! Kamu nggak bisa seenaknya ngebiarin orang jahat kayak dia lolos!"
Carlos, yang sejak tadi sibuk mengikat Aditya dengan tali jemuran, tiba-tiba melirik ke arah mereka dengan tatapan dingin. "Kalau ibu nggak keberatan, kita bisa selesaikan ini tanpa melibatkan polisi... setidaknya, lapor ke panitia dulu. Biar mereka yang putuskan tindakan selanjutnya."
Ibu itu terdiam sejenak, matanya beralih dari Ruri ke Carlos, lalu kembali ke Aditya. "Lapor ke panitia?" tanyanya dengan nada ragu.
"Iya, bu. Panitia yang punya kewenangan soal kompetisi ini. Kalau kita lapor ke mereka, semua bisa ditangani tanpa harus bikin geger media. Lagian, kita nggak tahu seberapa parah sebenarnya masalah ini. Panitia yang akan menentukan langkah selanjutnya." Carlos menjelaskan dengan tenang, meskipun suaranya tetap tegas dan dingin.
Ruri mengangguk cepat, mencoba meyakinkan si ibu lebih lanjut. "Betul, bu. Panitia pasti akan menangani ini dengan benar. Saya mohon, kasih saya kesempatan. Jangan sampai masa depan saya hancur cuma gara-gara satu kejadian ini."
Ibu itu tampak berpikir keras. Sesaat kemudian, ia menghela napas panjang, lalu melipat tangannya di dada. "Baiklah, saya nggak janji, tapi... kalau panitia bisa menangani ini dengan benar, saya nggak akan lapor polisi."
Ruri tersenyum lega, air mata hampir mengalir di sudut matanya. "Terima kasih, bu. Terima kasih banyak."
Si ibu masih menatap Aditya yang terikat di tanah dengan curiga, lalu menatap Ruri lagi. "Tapi inget, Nak. Kalau kejadian ini malah bikin masalah lebih besar, saya bakal lapor ke polisi. Jangan sampai kamu main-main."
"Saya janji, bu. Saya akan pastikan semuanya beres," Ruri berkata dengan penuh keyakinan, meskipun di dalam hatinya masih tersisa sedikit kekhawatiran.
Carlos mengikat simpul terakhir di tali jemuran, memastikan Aditya terikat erat. Ia kemudian berdiri di samping Ruri, menatap si ibu dengan tatapan datar. "Yuk, kita masuk. Kita bahas ini lebih tenang di dalam rumah. Panas di luar." katanya tanpa ekspresi.
Ibu itu masih mendengus, tapi kali ini dia mengikuti mereka masuk ke dalam rumah.
___
Kejadian tadi sore membuat Ruri begitu tercengang. Mengapa sampai ada peserta lain yang hendak mencelakainya. Apakah dia marah karena timnya mengundurkan diri sehingga dia harus turut mundur dari kompetisi? Tapi memangnya Itu salahnya? Tidak, apakah perlu sampai melakukan hal seekstrim itu? Semakin Ruri memikirkan tindakan Aditya, Ruri semakin tidak mengerti.
Malam Itu, Ruri duduk sendirian di teras atas rumah yang reot. Angin malam berhembus pelan, membawa serta beban di hatinya yang semakin terasa berat. Carlos muncul, berjalan dengan tenang mendekatinya. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk di samping Ruri.
"Aku lelah, Carlos..." gumam Ruri dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. “Semua ini... kompetisi, tekanan, hidupku... Aku hanya ingin keluar dari semua ini, dari kemiskinan, dari rasa takut ini...”
Air mata mulai mengalir di pipi Ruri. Carlos, tanpa banyak berkata, merangkulnya dengan hangat, memberikan ketenangan yang hanya bisa dirasakan oleh Ruri. Dalam keheningan malam, Ruri menemukan kedamaian di dalam pelukan Carlos.