"Ingat Queensha. Aku menikahimu hanya demi Aurora. Jadi jangan pernah bermimpi jika kamu akan menjadi ratu di rumah ini!" ~ Ghani.
Queensha Azura tidak pernah menyangka jika malam itu kesuciannya akan direnggut secara paksa oleh pria brengsek yang merupakan salah satu pelanggannya. Bertubi-tubi kemalangan menimpa wanita itu hingga puncaknya adalah saat ia harus menikah dengan Ghani, pria yang tidak pernah dicintainya. Pernikahan itu terjadi demi Aurora.
Lalu, bagaimana kisah rumah tangga Queensha dan Ghani? Akankah berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama?
Setelah menjemput Aurora, Queensha meminta mang Aceng mengantarkannya terlebih dulu ke indekos untuk mengambil pakaian ganti, alat make up, skin care dan tak lupa satu bingkai foto yang selalu menjadi teman setia di saat rasa rindu menghampiri.
"Kakak Cantik, apa itu foto Papa dan Mama, Kakak?" Jari telunjuk milik gadis kecil bermata bulat menunjuk pada bingkai foto yang hendak Queensha masukan ke dalam tas ransel miliknya. Mulai malam ini, ia akan tinggal di tempat kerjanya yang baru.
Queensha tersenyum manis dan berkata dengan lemah lembut. "Benar, Sayang. Ini Papa dan Mama kakak."
Aurora kembali bertanya saat mata bulatnya melihat iris coklat Queensha berkaca-kaca. "Kenapa Kakak bersedih? Apa karena Papa dan Mama Kakak sedang pergi jauh ke luar negeri seperti Mamaku?"
"Pergi jauh? Memangnya Mama kamu ke mana, Sayang?" Queensha belai helaian rambut beraroma khas anak-anak dengan lembut. Ia baru menyadari jika sejak kemarin siang hingga tadi pagi tak melihat kehadiran ibu kandung Aurora di rumah tersebut. Yang ada hanya Ghani serta kedua asisten rumah tangga, Tina dan Ijah.
"Kata Papa, Mama sedang bekerja di luar negeri. Tapi dari aku kecil sampai sekarang, Mama enggak pernah pulang padahal aku kangen banget sama Mama, Kak," jawab Aurora polos. Ia sama sekali belum mengerti jika ibu dan ayahnya telah meninggal dunia lima tahun silam.
"Ya udah, enggak apa-apa. Nanti Aurora bisa minta Papa untuk membawa pulang Mama ke rumah. Sekarang Aurora bangun dulu yuk, kita harus segera kembali ke rumah sebelum Papa memarahi kakak karena membawamu pergi terlalu lama."
Tanpa diperintah untuk kedua kali, Aurora bangkit dari pangkuan Queensha. Ia ulurkan tangan ke depan hendak membantu sang baby sitter berdiri. Si cantik jelita bermata sipit menerima uluran tangan itu dan keduanya berdiri bersisian.
Queensha pandangi kamar indekos yang selama bertahun-tahun menjadi tempat berlindung dari udara dingin dan teriknya sinar mentari dengan lekat. Ia menyapu seisi ruangan sebelum akhirnya meninggalkan kamar tersebut dan pindah ke rumah mewah milik keluarga Wijaya Kusuma.
Semoga ini adalah awal kebahagiaanku, batin Queensha. Lalu ia memasang tas ransel tersebut di punggung kemudian menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya.
Masa sewa Queensha masih tersisa dua minggu lagi. Oleh karena itu, ia belum ingin menyerahkan kunci kamar tersebut. Ia menunggu waktu tepat untuk mengangkut beberapa barang penting sekalian berpamitan kepada pemilik indekos serta teman-teman di sekitar kamarnya.
"Ini kamarmu." Tina membukakan sebuah kamar di paviliun belakang rumah mewah tersebut. "Lalu, di pojokan sana adalah kamar mandi yang bisa kamu pakai. Selain itu, paviliun ini pun dilengkapi dapur mini lengkap dengan lemari pendingin. Jadi, kamu ataupun saya dan Ijah, bisa menggunakannya secara bersamaan."
"Masuk dan beristirahatlah. Pukul empat sore, kamu bertugas kembali memandikan Neng Rora dan mengantarkannya pergi ke sekolah TPA. Ingat, jangan sampai kelupaan!"
Queensha mengulum senyum di bibir. "Iya, Mbak Tina, tenang aja. Aku enggak akan ceroboh seperti kemarin siang."
Tina meninggalkan Queensha seorang diri di kamar tersebut. Ia kembali ke dapur, mengerjakan pekerjaan rumah yang sempat terhenti karena diminta Ghani mengantarkan Queensha ke kamarnya.
Queensha menyapu ruangan tersebut. Kamar itu cukup luas, berukuran sekitar 3×4 meter, lengkap dengan pendingin ruangan, lemari pakaian serta satu set meja belajar. Tampaknya sang pemilik rumah sangat mengerti bagaimana memuliakan seseorang yang bekerja di rumah tersebut.
Sore hari menjelang, Queensha segera menjalankan tugas yang diperintahkan Tina kepadanya. Ia pergi ke kamar Aurora untuk membantu gadis kecil itu mandi sebelum pergi ke TPA. Yah, selain membekali Aurora dengan ilmu duniawi, Ghani juga membekali putri tercinta dengan ilmu agama agar keduanya berjalan selaras.
Jemari lentik Aurora mendorong pintu kamar hingga terbuka lebar. Lagi dan lagi ia tersenyum bahagia melihat si kecil Aurora tertidur nyenyak sambil memeluk boneka kesayangan.
Melangkah perlahan, berusaha agar langkah kakinya tidak membangunkan Aurora secara tiba-tiba. Lutut menyentuh lantai, tangan terulur ke depan, menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah.
"Sayang, bangun yuk. Kamu kan harus pergi ke sekolah TPA," kata Queensha lembut. Ia mengusap pipi gembul itu menggunakan ibu jari.
Kelopak mata bergerak, bulu mata lentik pun ikut bergerak secara perlahan. Lambat laun, si pemilik mata bulat membuka matanya yang indah nan jernih. "Mama?"
Satu kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Aurora. Entah kenapa tiba-tiba saja Aurora memanggil Queensha dengan sebutan 'mama' padahal beberapa jam lalu dia masih memanggil wanita itu dengan sebutan 'kakak cantik'.
Queensha mematung di tempat. Jantung terasa berhenti berdekat dan suara tercekat di tenggorokan. Kalimat itu terdengar biasa saja bila orang lain yang mendengarnya. Namun, ... tidak bagi Queensha Azura Gunawan. Ada perasaan bahagia menyelimuti sanubari yang terdalam.
Akan tetapi, kesadaran Queensha kembali ke permukaan saat kepingan kejadian pahit di masa lalu terlintas di benaknya.
"Sayang, ini kakak, bukan Mama. Kamu pasti mimpi bertemu Mama, ya, makanya panggil kakak dengan sebutan mama?"
Tangan mungil Aurora mengucek matanya dan tak lama kemudian kesadaran gadis itu kembali. Ia tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapi.
"Eeh ... Kakak Cantik. Kirain aku, Mama. Benar, Kak. Tadi aku mimpi indah sekali. Dalam mimpiku, Kakak dan Papa jalan bersama aku, kita bertiga bermain ke taman yang banyak bunga-bunganya. Di sana aku bermain sepuasnya dan tertawa bersama Kakak dan Papa. Andai saja Kakak jadi Mama aku, pasti aku senang dan enggak di-bully lagi sama teman-temanku."
Bibir Aurora cemberut. Wajahnya pun berubah murung. "Tapi sayang, Kakak bukan Mama, jadi teman-temanku masih bisa mem-bully aku." Kepala Aurora tertunduk, sepasang matanya yang bulat berkaca-kaca saat mengingat jika hampir semua teman laki-laki di kelasnya merundung gadis itu. Hanya karena tak mempunyai mama, semua teman laki-lakinya mem-bully gadis cantik itu.
Queensha merangkul dan membelai lembut puncak kepala anak asuhnya itu. "Jangan bersedih, mulai sekarang teman sekelasmu enggak akan mem-bully-mu lagi. Kakak akan memberitahu guru di sekolah agar mereka menegur teman sekelasmu untuk tidak mem-bully-mu lagi. Sudah, ya, jangan nangis lagi. Nanti cantiknya hilang loh."
"Sebaiknya sekarang Rora bangun, mandi dan bersiap pergi ke TPA. Malam hari, kakak bacain buku cerita. Kebetulan kakak punya buku yang sangat bagus. Kamu mau mendengarnya?"
"Mau dong, Ka!" jawab Aurora antusias.
"Baiklah, sekarang kamu mandi dulu sebelum Papa pulang dan memarahi kakak seperti kemarin."
Queensha segera menggendong tubuh Aurora dan membawa gadis kecil itu masuk ke kamar mandi. Di sana ia melepaskan pakaian yang membalut tubuh si kecil satu per satu. Tampak Aurora menikmati momen kebersamaan bersamaan baby sitter-nya yang baru.
...***...
😂😂😂
Bahkan lulu sampai memperingati ghani harus menjaga queensha 🤔