Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17.
Makan siang di lakukan oleh Fadila dan teman-temannya di salah satu restoran mewah. Tetapi mereka tidak menggunakan ruang privat, Fadila tidak mau di ruangan privat agar anaknya dapat melihat keramaian.
Dan terbiasa dengan banyaknya orang-orang di sekitarnya. Selain membiasakan anaknya berbaur dengan yang lain, juga lebih mudah bersosialisasi nantinya.
"Anan mau makan apa, Nak?" Tanya Fadila pada Anan yang sedang duduk di pangkuan Arnan.
Sejak tadi anak itu tidak mau lepas dari Arnan, hingga Fadila hanya bisa membiarkan hal itu. Dari pada anaknya menangis seperti tadi.
"Ayam goleng cama ketang goleng, cama ec klim. Mau ini juga." Fadila nelihat apa yang di tunjuk anaknya.
"Pasta?" Anan menatap maminya serius.
"Pata?" Polos Anan menirukan ucapan Fadila.
"Bukan pata, Nak. Tapi pasta, Pas ta." Fadila mengeja cara pengucapannya.
"Paceta," ucap Anan yang mengundang senyum dan tawa para orang dewasa di sekitarnya.
"Terserah kamu lah, Nan." Pasrah Dwi sembari tersenyum.
Fadila menggeleng melihat anaknya yang malah ikutan tertawa bersama yang lain. Padahal dirinya yang di tertawakan, tapi malah bocah itu ikut tertawa juga.
Akhirnya Fadila memesankan apa yang Anan mau. Dirinya sendiri hanya memesan jus saja, nantinya sisa makanan Anan yang tak habis akan di habiskan dirinya.
Setelah semuanya selesai memesan, pelayan pergi meninggalkan meja yang lebih banyak orang itu.
"Kamu cuma pesen minum saja? Kenapa gak pesan makanan juga?" Tanya Arnan penasaran, karena Fadila tidak memesan makanan untuk dirinya sendiri.
"Kalau aku pesan makanan, nanti gak ada yang habisin makanannya Anan kalau gak di makan semua." Fadila menjawab dengan santai.
"Kenapa harus menunggu sisa makanannya, Anan? Pesan saja lagi yang kamu mau, aku yang bayar nanti." Arnan menawarkan diri.
"Bukan masalah bayarannya, Mas. Nanti mau di kemanain sisa makanannya Anan kalau gak habis?" Tanya Fadila.
"Ya di buang," sahut Arnan enteng.
"Gak baik buang-buang makanan. Apa lagi makanan itu kita beli dengan mahal, lebih baik di makan dari pada di buang. Sia-sia di bayar mahal kalau begitu," kata Fadila.
Arnan menatap Fadila serius.
"Gak perlu berhemat cuma untuk makanan saja, kalau ada uang apapun bisa di beli."
Fadila menatap Arnan yang masih setia memangku Anan.
"Memang uang bisa untuk beli apapun, tapi alangkah lebih baiknya kalau kita beli sesuatu sesuai yang kita butuhkan saja. Bukan beli sesuatu sesuai keinginan apa lagi ikutin tren."
Arnan semakin merasa kagum dengan Fadila yang di nilainya cukup dewasa dalam berpikir. Jarang sekali ia menemui wanita yang berpikiran terbuka seperti Fadila ini.
Fix, harus ku dapatkan maminya Anan sebelum di ambil yang lain, batin Arnan.
Saat es krim milik Anan datang, Fadila tak membiarkan anaknya memakan es krim sendiri. Fadila menyuapi Anan agar tak belepotan saat makan.
Fadila hanya tak mau harus repot membersihkan pakaian mahal Arnan jika sampai terkena noda es krim.
Hingga makanan pesanan mereka datang dan di hidangkan.
"Sama Mami dulu ya, Nak. Daddy mau makan dulu." Fadila mengambil Anan dari pangkuan Arnan.
Untung saja anak itu tidak menolak di ambil dari daddynya. Anan sedang sibuk dengan es krimnya yang sudah di pegang sendiri oleh anak itu.
Arnan hanya melihat saja apa yang di lakukan Fadila. Begitu telatennya wanita itu mengurus sang anak. Bahkan tanpa merasa jijik mengelap mulut Anan yang belepotan dengan jari tangannya sendiri.
"Makan dulu, Nan. Nanti di lanjut makan es krimnya." Fadila menegur Anan yang masih asik makan es krim dan mengabaikan makanan di meja.
"Ec klim belum abis, Mi." Anan menunjukkan mangkuk es krim yang masih ada isinya.
"Nanti lagi, makan dulu ayam gorengnya." Bujuk Fadila yang tak juga di hiraukan oleh Anan.
"Anan!" mendengar daddynya memanggil, anak itu menoleh.
"Nanti lagi makan es krimnya ya ,Nak." Bujuk Arnan sembari mengambil mangkuk es krim Anan pelan.
Anan diam dan malah menyerahkan mangkuk es krim begitu saja pada Arnan.
"Kalau Anan gak mau makan ayam gorengnya, untuk Mama sajalah." Dwi mengulurkan tangannya hendak meraih ayam goreng kesukaan Anan.
"Jangan, Ma! Tu aku punya." Anan tidak terima.
"Anan, makan es krim saja. Ayam gorengnya untuk, Mama." Dwi kembali menggoda bocah menggemaskan itu.
"Kalau gitu pastanya untuk, Buna." Sinta ikutan mengulurkan tangannya hendak mengambil piring pasta di depan Fadila.
Hal yang sering mereka lakukan kalau Anan sulit makan dan hanya fokus pada satu hal saja.
"No no no." Anan mengibaskan kedua tangannya melarang Dwi dan Sinta.
"Kalau gak mau makanannya di ambil, harus di makan. Kasihan nanti makanannya kalau di biarkan, nanti makanannya bisa nangis karena Anan gak mau makan dia." Bujuk Fadila sembari menyerahkan mengurangi porsi pastanya.
Setelah menyisihkan sedikit pasta dan ayam goreng untuk Anan. Fadila menaruh piring itu di hadapan Anan.
"Ayam goleng na bica angis, Mi? Tapi ndak ada ail matanya?" Tanya Anan melihat maminya.
"Air matanya belum keluar, sayang. Nanti kalau Anan gak makan-makan, baru keluar air matanya." Fadila mengusap kedua tangan Anan menggunakan hand sanitaizer.
Anan terbiasa makan tanpa alat bantu, bocah itu lebih suka makan di kobok langsung dengan tangan.
"Jangan angis, ya! Aku matan cekalan kamu." Anan meraih mi pasta di piring dan memasukkannya ke dalam mulut.
Robert yang sejak tadi menahan tawa melihat tingkah Anan mengeluarkan tawanya. Meski tidak sampai lepas. Apa lagi kedua pipi bocah itu yang tembem nampak semakin bulat saja.
"Sayang! Nanti Abang mau anak yang seperti Anan, ya?" Pinta Robert pada Sinta.
"Nikah dulu kali, Bang. Baru ngomongin soal anak." Sinta menjawab di sela-sela kunyahannya.
"Iya, maksud Abang nanti kalau sudah nikah." Ralat Robert sebelum mendapat lebih banyak protes dari Sinta.
"Aku duluan nanti yang punya, Rob. Karena 2 bulan lagi aku OTW pelaminan." Devan membanggakan dirinya yang akan lebih dulu punya anak.
"Aku juga 2 bulan lagi OTW pelaminan," ucap Robert yang membuat mereka semua menatap heran pria itu.
"Maksud Abang, apa?" Tanya Sinta dengan tatapn tajamnya.
"2 bulan lagi kan kita OTW pelaminan, Yang. Buat ngucapin selamat untuk mereka berdua. Kalau gak ke pelaminan, gimana kita mau ngucapin selamatnya? Gak mungkinkan kita teriak-teriak dari bawah pelaminan? Malu yang ada."
Sinta mencebik mendengar ucapan Robert yang selalu ada saja. Untung sayang, batin Sinta.
"Iya juga, ya. Kalau kita gak ke pelaminan, gimana mau ucapin selamat?" Jack yang sejak tadi diam membenarkan ucapan Robert.
Yang lain hanya pura-pura tidak dengar saja dengan apa yang di ucapkan Robert dan Jack.
Arnan sendiri memang tidak perduli dengan yang lainnya. Karena saat ini seluruh perhatiannya sudah tercuri oleh ibu dan anak di sampingnya.
Fadila dengan cekatan mengurus makan Anan sembari menyuapkan sisa pasta yang ada di piring lain.
Tanpa sadar Arnan tersenyum menatap Fadila yang begitu lembut memperlakukan Anan.