Zaky Wijaya diantara dua wanita bernama Zaskia dan Shannon. Kia sudah dikenal sejak lama dan disayangi laksana adik. Shannon resmi menjadi pemilik hati dalam perjumpaan di Bali sebelum berangkat ke Zurich.
Hari terus bergulir seiring cinta yang terus dipupuk oleh Zaky dan Shannon yang sama-sama tinggal di Swiss. Zaky study S2 arsitektur, Shannon bekerja. Masa depan sudah dirancang namun komitmen berubah tak sejalan.
"Siapanya Kia?" Tanya Zaky dengan kening mengkerut. Membalas chat dari Ami, sang adik.
"Katanya....future husband. Minggu depan khitbah."
Zaky menelan ludah. Harusnya ikut bahagia tapi kenapa hati merasa terluka.
Ternyata, butuh waktu bertahun-tahun untuk menyimpulkan rasa sayang yang sebenarnya untuk Kia. Dan kini, apakah sudah terlambat?
The romance story about Kia-Zaky-Shannon.
Follow ig : authormenia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selayang Pandang
Jangan hanya memandang kehidupan Zaky dan keluarganya saat ini yang sudah mapan dan sejahtera. Keluarga sakinah yang menjadi impian dan dambaan setiap orang di luar sana yang melihatnya. Namun ingat pula kondisi dulu bagaimana keluarga mereka begitu bersahaja.
Sejak tidak ada Ayah sebagai kepala keluarga, Ibu menjadi single parent yang melanjutkan peran ganda tentunya tanpa diiringi keluhan. Anak-anak menjadi terbiasa mandiri dan berhemat serta bergaya hidup sederhana yang penting bisa bersekolah tinggi. Hingga kakak pertama bernama Puput menikah dengan orang Jakarta keturunan Ciamis, menjadi pintu pembuka naiknya taraf kesejahteraan sebab kakak ipar membantu perekonomian keluarga termasuk membantu biaya pendidikan ketiga adik Puput.
Zaky adalah pribadi yang tidak melupakan purwadaksi alias jati diri. Tampan, dompet aman, ekonomi mapan, karir cemerlang, tidak membuatnya angkuh dan besar kepala. Ia tetap menunduk ke bawah untuk melihat masih banyak orang yang tidak beruntung seperti dirinya. Membuatnya menjadi pribadi yang pandai bersyukur. Tentunya sifat itu tertanam pada semua anak-anak Ibu Sekar sebab sang Ibu yang selalu mengingatkan untuk tetap bergaya hidup sederhana. Hemat daripada hedon.
Pun keputusan Zaky untuk membantu keluarga Kia adalah keputusan yang dirasa benar. Kia adalah teman sebangku Ami selama tiga tahun di SMA. Menurut adiknya yang selalu bercerita itu, Kia satu-satunya murid kurang mampu di kelasnya yang masuk ke SMA swasta favorit itu dengan jalur beasiswa prestasi. Anaknya baik dan pendiam serta sedikit minderan hanya karena teman sekelas diantaranya merupakan anak pejabat, dokter, pengusaha tekstil, dan lain-lain. Sementara Kia hanya anak penjual nasi goreng. Ami sering membantunya baik dengan cara memberi tumpangan mobil, traktir jajan, termasuk memberi uang jajan pada dua adiknya Kia. Jadi peran Zaky membantu Kia sebenarnya adalah melanjutkan kebiasaan Ami.
Hal esensial yang pernah dilakukannya dan memberi kepuasan pada diri yaitu bisa membantu Kia mendapatkan beasiswa dari Adyatama Group. Beasiswa penuh hingga semester akhir. Meski berjarak jauh sebab Zaky kuliah sarjana archi di Singapura, komunikasi dengan Kia dan kedua adiknya tetap terjalin dengan baik dan wajar. Ia sudah menganggap tiga bersaudara itu sebagai adiknya. Apakah kebaikan Zaky hanya pada Kia bersaudara? Tentu tidak. Dan tak perlu orang lain tahu bagaimana tangannya selalu terulur membantu yang membutuhkan tanpa perlu diekspos.
"Aa bakal lama kuliah di Zurich?" Tanya Daffa yang baru paham usai mendengarkan penjelasan Zaky jika acara makan siang ini adalah acara perpisahan sebelum berangkat ke Swiss.
"Dua tahun, Daf. Sesuai program magister. Tapi kalau ada peluang kerja yang menjanjikan di sana, ya bakal tinggal lebih lama tapi untuk hal itu sih masih conditional."
"Bakalan gak pulang-pulang kayak Bang Toyib gitu, A'?" Riva mengomentari dengan mulut penuh makanan.
Zaky tertawa. "Jadi Bang Toyib dulu 2 tahun, barulah pulang kampung. Kalian belajar yang baik ya. Kalau bisa jangan dulu pacaran. Fokus belajar dan berprestasi. Biar bisa kuliah dengan beasiswa seperti Teh Kia."
"Iy, A'. Teteh juga suka bawel ngingetin jangan dulu pacaran. Saat lagi manis mungkin bisa jadi motivasi. Tapi pas putus bisa sakit ati and down. Hah, ganggu fokus belajar aja." Daffa sepertinya setuju dengan saran Zaky.
"Dan juga membuka pintu zina. Hamil duluan. Terus lahiran anaknya dicekik. Ih amit-amit." Celetuk Riva menimpali sambil merindingkan bahu.
Zaky menautkan kedua alisnya. "Riva tahu begitu dari mana?"
"Baca di medsos. Gosip teman di kelas juga. Ada tuh anak SMP yang hamidun."
"Nah itu bahayanya pacaran masa sekolah. Usia masih labil udah cinta-cintaan. Jadinya terdorong nafsu setan. Kalau mau punya pacar nanti kalau sudah punya tujuan pasti. Yaitu mau nikah."
"Berarti Teh Kia belum mau nikah ya. Soalnya belum punya pacar tuh." Riva berbelok pembahasan dan menarik kesimpulan sendiri. Mungkinkah saat ini telinga Kia jadi berdengung?
Zaky terkekeh. "Mungkin Teh Kia fokus tamatin kuliah dulu. Memangnya gak ada cowok yang main ke rumah gitu?"
"Ada sih. Paling A Fadil, A Dani. Tapi itu temannya Teteh. A Fadil teman SMP, kalau A Dani mah tetangga teman main dari kecil." Riva mendominasi dialog dengan Zaky.
"Daf, rencana kuliah dimana?" Zaky beralih menatap Daffa yang sudah selesai makan.
"Pengennya ITB. Doain ya, A'. Kata Teteh, nanti coba daftar beasiswa bidik misi."
"Semoga berhasil, Daf. Nanti kabarin aja kalau misalkan gak lulus bidik misi. Aa bakal bantu daftarin ke beasiswa Adyatama. Asalkan pertahankan prestasi di 5 besar."
"Siap, A'." Daffa mengangguk optimis.
"Aku dong always ranking satu. Gak kayak A Daffa naik turun kayak ayunan."
"SOMBONG." Daffa mencibir.
Membuat Zaky tertawa renyah. Sudah cukup satu jam di restoran, ia mengajak Daffa dan Riva menuju mall. Memberi pilihan barang apa yang ingin dibeli dan benar-benar dibutuhkan. Kedua pelajar itu memilih barang yang sama. Sepatu.
"Aa, mau mampir dulu ke rumah?" Daffa menunggu giliran menyalami Zaky setelah Riva. Bersiap turun dari mobil sebab sudah tiba di depan gang menuju rumahnya.
"Udah sore, Daf. Aa masih ada urusan. Salamnya aja ya. Lagian Mamah Bapak pasti lagi sibuk persiapan buka kan?"
"Iya sih. Hehehe. Aa makasih ya buat traktirannya." Daffa adu tos dengan Zaky. Ajakan bersalaman Zaky selalu begitu.
"Sama-sama. InsyaAllah malam jumat Aa main ke nasgor sekalian pamitan."
"Siap. Ditunggu. Nanti jangan makan dulu ya. Nanti aku bikinin nasgor spesial."
Zaky tersenyum dan mengangguk. "Okay." Ia memberi klakson pada Daffa dan Riva yang berdiri di trotoar sambil melambaikan tangan.
***
Kia segera menjatuhkan tubuh dengan terlentang di kasur busa begitu pintu kamarnya sudah ditutup. Lelah baru pulang dari kampus. Meski demikian, seabrek tugas akhirnya selesai dan besok bisa pulang kampung. Lega.
Inginnya sih mata terpejam namun belum salat Ashar dan memang tak baik tidur sore. Sehingga aksi tidur ayamnya tak tenang. Dengan gerak malas segera menyiapkan handuk dan peralatan mandi. Menyeret langkah ke kamar mandi umum yang jumlahnya ada tiga. Dua diantaranya kosong.
Usai salat, ponsel Kia di atas kasur berbunyi notif pesan. Masih dengan menggunakan mukena, ia membuka pesan dari Daffa.
[Pamer 🤪] Dengan melampirkan foto kaki Daffa dan Riva yang mengenakan sepatu baru.
Langsung saja Kia melakukan sambungan video dan dalam hitungan detik bisa melihat dua wajah adiknya yang terlihat semringah memenuhi layar.
"Itu uangnya dari mana, hei? Jangan cod an mulu atuh." Kia melayangkan protesnya.
"Ini bukan Cod-an kok. Beli di mall dong. Eh gini. Lunch dulu di hotel Seruni terus ke mall." Riva dengan segera membuka sepatu dan mendekatkan logonya ke layar sambil cekikikan.
"Jangan ngehalu. Palingan beli online. Converse kw itu." Kia mencibir. Sama sekali tak percaya.
"Ori, Teh. Nih liat struknya. Punyaku harganya 610 ribu. Punya Riva 530 ribu. Jadi ceritanya kita tadi dijemput A Zaky ke sekolah. Terus diajak makan di hotel Seruni. Abis itu diajak ke AP. Disuruh pilih barang yang dibutuhkan. Ya kita kompak pilih sepatu. Jadi ini teh dalam rangka acara perpisahan karena A Zaky mau ke Swiss lanjutin S2." Panjang lebar Daffa menjelaskan.
"A Zaky gak masalah sama harganya kok, Teh. Emang A Zaky yang pilihin merk Converse. Oh ya tadi bungkusin juga makanan dari Seruni buat Mamah sama Bapak." Riva tak kalah antusias menerangkan.
Sumpah demi apa. Sedari tadi tubuh merasa lelah serta otak mumet. Namun begitu nama Zaky disebut dengan penjelasan demikian, mendadak timbul semangat dan tenaga. Rencana pulang besok pagi dimajukan menjadi malam ini selepas Magrib. Banyak bus malam tujuan Tasik yang masih berseliweran.
Kia tiba di rumahnya pukul sebelas malam. Hampir bersamaan dengan Bapak dan Daffa yang pulang dari kios nasgor.
"Teteh...katanya mau pulang besok? Kenapa gak bilang kalau jadinya pulang malam ini. Kan Daffa bisa jemput ke pool." Bapak masih terheran mendapati Kia yang membukakan pintu lalu mencium tangannya.
"Hehe. Berubah pikiran, Pak. Udah konfirmasi kok sama Mamah."
"Iya tapi chat nya baru kebuka jam sembilan. Soalnya tadi Mamah ketiduran. Udah, yang penting Kia sampe rumah dengan selamat." Mamah mengerti dengan kekhawatiran yang tersirat di wajah Bapak.
"Aku duluan tidur ah, ngantuk." Daffa meninggalkan ruang tengah menuju kamar mandi. Membersihkan diri bersiap tidur. Ia hanya sesekali membantu Bapak sampai larut malam. Lebih sering membantu sampai jam sembilan saja agar besoknya di sekolah tidak mengantuk.
"Zaky baik banget ya. Ngajak adik-adikmu makan di hotel terus bungkusin buat Mamah. Terus beliin sepatu mahal. Katanya besok malam jumat mau ke nasgor. Mau pamitan berangkat ke Swiss."
Kia tersenyum mesem mendengar penuturan Mamah dengan intonasi penuh kekaguman. Ia tidak kecewa meski Zaky tidak memberitahukan dulu. Memang sifatnya begitu kalau berbuat baik pada siapa pun. Selalu senyap. Ia tahunya kemudian dari orang yang menerima kebaikan Zaky.
Bahkan Mamang penjual nasi uduk dekat kosannya juga sering bertanya, "Neng, kemana si Aa kasep udah lama gak lihat." Baru tahu seminggu kemudian makna pertanyaan itu. Bahwa Zaky setiap Jumat pagi selalu menyuruh Mamang penjual nasi uduk membagikan 25 bungkus nasi uduk kepada pengemudi ojol atau siapa pun yang melintas di dekat gerobak dan layak diberi. Pembayaran nya lewat transfer.
Bagaimana tidak bertambah kekagumannya terhadap Zaky. Tidak salah keputusannya dulu memilih menyimpan rasa dengan rapi sebab susah merealisasikan kata 'move on'. Tersiksa? Tidak. Ia mencoba ikhlas menerima fakta kalimat 'kamu seperti adik bagiku'. Menjadi alarm uang terus terngiang. Namun ia merasa masih ada asa yang menyala selama Zaky belum menunjukkan atau memperkenalkan perempuan calon pendamping hidup.
"Teteh mau makan nggak? Masih ada lauk pemberian Zaky. Mamah angetin dulu ya."
Kia terjaga dari lamunan yang tersamarkan dengan cara menatap ponsel. Tadinya ingin memberi kabar kepada Zaky jika dirinya sudah pulang ke Tasik. Dipikir ulang. Lebih baik memberi kejutan dengan datang ke Ciamis besok. Jadilah terhanyut dalam lamunan.
"Nggak, Mah. Masih kenyang. Mau tidur aja capek bin ngantuk." Kia beranjak menuju kamar. Ada Riva yang sudah terlelap sambil memeluk guling. Hanya ada tiga kamar di rumahnya itu. Ia berbagi tempat tidur dengan sang adik bungsu.
zaky sedekat itu sama ibu. gak pakai malu merayu istri di hadapan ibu. love love buat semua.
vcs gak perlu setiap hari biar ada kangen2 yg menggigit gitu.
lanjut lagi merencanakan acara resepsinya. ok... lanjutkan.
bapaknya Kia juga sehat terus ingatan pak Idrus kembali pulih.
abis itu aku ditarik ke kmr /Smile//Shy//Shhh//Smirk//Applaud/