Menikahi Ayah Anak Asuhku
Di sebuah sekolah taman kanak-kanak, seorang anak perempuan berwajah cantik sedang murung di sudut kelas. Aurora, nama anak kecil itu, duduk sambil menopang dagunya dengan muka muram. Dari tadi ia terus diledek oleh teman-temannya.
"Aurora enggak punya Mama," ucap salah satu anak laki-laki berbadan gembul.
"Mamanya udah meninggal ketabrak mobil!" teriak teman yang lainnya.
"Aurora bukan lahir dari Mama, tapi dari batu," ledek temannya yang berkacamata.
Beberapa bocah kecil berusia empat tahun tampak begitu bersemangat meledek si cantik Aurora. Riuh tepuk tangan serta gelak tawa mengiringi candaan mereka. Entah sudah berapa kali Aurora menjadi bahan candaan teman-temannya itu.
Hati Aurora tentu saja sedih karena sejak dulu dia tidak pernah tahu di mana sang mama berada. Setiap kali ia bertanya kepada papanya, laki-laki itu hanya mengatakan mamanya sedang pergi bekerja. Entah sampai kapan sang mama pergi, Aurora pun tidak tahu. Papanya hanya bilang supaya Aurora bersabar.
Sepulang sekolah, Aurora tampak murung. Gadis kecil itu sama sekali tidak mau makan dan minum. Dia hanya berdiam diri saja di ruang tengah, tempatnya biasa bermain.
Ghani, papanya Aurora yang seorang dokter, baru saja pulang dari rumah sakit. Melihat putri kesayangannya murung, ia pun turut bersedih. Pria itu langsung mendekati Aurora dan bertanya dengan lembut.
"Princess-nya Papa, kenapa? Kok, wajahmu cemberut, gitu?" tanya Ghani. Ia belai puncak kepala Aurora yang sedang termenung, duduk di karpet berbulu tebal terbuat dari bahan berkualitas nomor satu.
"Tadi di sekolah Aurora diledekin sama teman-teman," jawab Aurora pendek tanpa menoleh ke arah Ghani.
Ghani mengerutkan kedua alis petanda bingung. "Diledekin kenapa?" tanyanya penasaran sebab selama ini tidak pernah mendengar jika ada teman sebaya Aurora meledeki putrinya itu.
"Karena Aurora enggak punya Mama." Saat mengucap kalimat tersebut, Ghani merasa ada sebuah anak panah yang melesak begitu saja, menancap di jantung hingga membuat jantungnya berhenti berdetak. Pria itu terdiam, tak mengerti harus berkata apa.
Si kecil Aurora membalikan badan saat menyadari telapak tangan Ghani tak lagi mengelus puncak kepalanya. "Papa, bisa enggak Aurora punya Mama? Kenapa Mama enggak pulang-pulang? Kenapa kerjanya lama, Pa? Aurora pengen punya Mama kayak temen-temen yang lain," rajuk Aurora. Bola matanya yang indah mengerjap perlahan.
Ghani menarik napas panjang. Sungguh permintaan Aurora tidak berlebihan, tetapi sangat sulit ia wujudkan.
"Papa, kenapa diam? Aurora cuma mau Mama saja. Bilang sama Mama supaya lekas pulang. Jadi nanti saat berangkat ke sekolah Aurora diantar Mama kayak teman-teman yang lain," ucap Aurora sambil menarik-narik tangan Ghani.
Pria itu tak tahu harus menjawab apa karena cerita yang ia karang tentang mama Aurora adalah sebuah kebohongan belaka. Aurora adalah putri yang ia adopsi saat sedang bertugas di sebuah rumah sakit di daerah Sukabumi, lima tahun lalu. Papa kandung Aurora tewas sesaat setelah kecelakaan terjadi, sedangkan mamanya meninggal dunia beberapa menit setelah melahirkan Aurora.
Ghani mengusap kedua pipi Aurora dengan lembut. Pria dingin yang terkesan cuek tampak begitu hangat apabila di dekat anak kecil, terlebih itu adalah putrinya sendiri.
"Baiklah, nanti Papa akan kasih tahu Mama supaya lekas pulang. Mama kerjanya jauh, Sayang. Ada di luar negeri dan enggak bisa pulang sewaktu-waktu," jawab Ghani. Hatinya seakan diremas tatkala mengucap kalimat tersebut. Ada perasaan berdosa karena lagi dan lagi ia membohongi Aurora. Namun, untuk mengatakan yang sejujurnya, ia tak sanggup.
"Jadi, Mama kerja di luar negeri? Kalau pulang harus naik pesawat, ya, Pa?" Ghani mengangguk mendengar pertanyaan polos putrinya.
"Kalau gitu, kita aja yang jemput Mama ke luar negeri. Aurora juga pingin naik pesawat, Pa, ingin melihat awan-awan dari dekat. Sepertinya indah. Pasti menyenangkan," jawab Aurora dengan antusias.
"Iya, Sayang, nanti Papa akan usahakan supaya kita bisa naik pesawat untuk menjemput Mama Aurora. Berdoa supaya Papa kerjaannya lancar. Jadi bisa menabung untuk pergi ke luar negeri, Sayang."
Sebenarnya Ghani bisa saja pergi ke luar negeri detik itu juga tanpa perlu menunggu tabungannya terisi penuh. Kedua orang tuanya kaya raya, rumah sakit tempatnya bekerja merupakan warisan turun menurun dari mendiang sang nenek. Jadi, sudah bisa ditebak berapa banyak pundi-pundi rupiah yang diperoleh dari rumah sakit. Hanya mengeluarkan uang sekitar 50 juta, bukanlah perkara sulit.
Mata indah yang berubah sendu menatap Ghani dengan lekat. "Emangnya kalau mau ke luar negeri harus punya uang banyak, ya, Pa?"
Ghani tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Aurora. Putri kecilnya itu memang selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang ia sendiri sulit untuk menjawabnya.
Pria itu merangkul Aurora dan membawa tubuh mungil putrinya dalam dekapan. "Iya, dong, kalau naik pesawat itu biayanya mahal. Makanya kita harus rajin menabung. Aurora juga rajin menabung 'kan?" Aurora menjawab dengan anggukan kepala.
Lalu, sesuatu tak terduga terjadi. Aurora melepaskan diri dari pelukan sang papa kemudian berlari ke kamarnya dan keluar lagi dengan membawa sebuah celengan berbentuk ayam.
Gadis kecil itu menyodorkan celengan tersebut kepada Ghani. Dengan polos ia berkata, "Ini, Pa, tabungan Rara diambil saja untuk menjemput Mama biar Mama bisa pulang dan bareng-bareng sama kita."
Ghani sungguh terharu mendengar ucapan putrinya. Dia memang mengajarkan Aurora untuk rajin menabung, tetapi justru dari obrolan mereka Aurora berinisiatif memecah celengannya. Lagi-lagi hal itu dilakukan agar bisa bertemu dengan mamanya.
Dalam hati Ghani menyesali karena cerita yang ia karang menjadi imajinasi tersendiri di benak putrinya. Akan tetapi, jika tidak seperti itu dia sendiri pun kesulitan untuk menjawab pertanyaan Aurora.
"Ya udah, biar penuh dulu celengannya, baru nanti kita buka. Kalau sekarang belum cukup, Sayang. Aurora makan dulu, ya, biar cepat gede. Kalau cepat gede dan sehat, nanti Mama pasti senang ketemu Aurora. Apalagi putri Papa ini sangat cantik." Jari telunjuk Ghani menoel ujung hidung si cantik.
Ghani tidak tahu lagi caranya untuk meredam keinginan Aurora yang ingin segera bertemu dengan mamanya. Memberitahu yang sebenarnya? Rasanya Ghani tak sanggup. Bagaimana ia tega memberitahu jika sebenarnya kedua orang tua Aurora sudah meninggal dunia.
Untuk menikah dengan seorang wanita lalu mengatakan bahwa wanita itu adalah mamanya Aurora, tentu saja Ghani tidak mau sebab ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menikahi siapa pun selain wanita yang pernah ia renggut kesuciannya.
Andai saja, aku bisa bertemu dengan gadis itu, aku pasti akan bersimpuh dan meminta maaf kepadanya, batin Ghani.
Ghani bukan pria brengsek yang suka mencuri-curi kesempatan. Apalagi sampai meniduri perempuan yang tidak ia kenal sebelumnya. Ghani sendiri tidak mengerti kenapa malam itu dia menjadi sangat bernapsu. Yang ia ingat hanya berada di atas tubuh seorang perempuan yang terus menangis dan memohon-mohon agar menghentikan aksinya. Mendengar suara rintihan kesakitan justru membangkitkan gairahnya yang semakin tak terbendung.
"Papa, aku mau makan, tapi Papa yang suapin," ucap Aurora, membuyarkan lamunan Ghani.
Ghani mengerjapkan mata beberapa kali lalu tersenyum lebar kepada anak tercinta. "Iya, Sayang. Ya udah yuk, kita ke ruang makan. Mbak Tina udah masak makanan kesukaanmu, tuh." Pria itu mengulurkan tangan, lalu jemari mungil Aurora menyambutnya. Lantas mereka berjalan beriringan menuju meja makan.
"Kayaknya enak kalau kita makan masakannya Mama ya, Pa?" Aurora berceloteh sepanjang jalan. Pembahasannya masih seputar ... mama.
Ghani hanya terdiam mendengar ucapan putrinya. Sepertinya memang Aurora saat ini sedang membutuhkan kehadiran sosok ibu. Jika memikirkan hal itu Ghani jadi merasa frustrasi sendiri.
Apakah aku harus mempekerjakan seorang babysitter untuk menemani Aurora? Agar putriku tidak merasa kesepian karena tak ada sosok ibu di dekatnya? tanya Ghani di dalam hati.
Memang dulu ada seorang babysitter yang membantu merawat Aurora sejak masih bayi, tetapi sudah beberapa bulan ini babysitter itu pulang kampung karena harus menikah. Sejak saat itu Ghani belum berniat untuk mencari babysitter pengganti karena menurutnya Aurora sudah mulai sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah.
"Papa, kenapa diam aja? Ayo, makan. Aku udah lapar." Suara lembut Aurora membuat Ghani kembali tersadar dari lamunannya.
Kini Ghani baru menyadari bahwa ia benar-benar membutuhkan seorang pengasuh untuk Aurora. Meskipun waktunya lebih banyak dihabiskan di sekolah, tetapi dengan jadwal Ghani yang padat di rumah sakit, ia juga tidak bisa setiap saat menemani putrinya itu.
"Aah ... Papa lama deh. Perut aku 'kan udah laper banget, pingin makan ayam goreng. Ayo, aku bantu Papa jalan. Papa pasti capek, 'kan habis kerja?" Lantas, Aurora menggamit lengan Ghani. Laki-laki itu dipenuhi rasa haru karena Aurora telah tumbuh menjadi anak kecil yang peduli dengan sekitar dan juga mempunyai rasa empati yang besar.
"Sabar ya, Sayang, nanti pasti kita akan ketemu Mama. Aurora anak yang baik dan pintar pasti bisa menunggu Mama pulang." Entah kenapa ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Ghani. Tidakkah dia sadar bahwa apa yang baru saja diucapkan justru membuat harapan Aurora akan sosok seorang ibu semakin membumbung tinggi?
"Aurora pasti mau menunggu Mama pulang, Pa." Gadis kecil itu mendongakan kepala hingga mempertemukan dua netra. Aurora pun mencoba tersenyum manis supaya Ghani tidak merasa sedih.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Yuli Silvy
lngsung mampir ksni Thor🤭
2023-12-02
1
Tien Ensoe
kira2 siapa yg di perkosa ghani
2023-09-24
0
Dessy Widya Dellyar
mampir
2023-09-05
0