Cassandra Magnolia Payton, seorang putri dari kerajaan Payton. Kerajaan di bagian utara atau di negeri Willems yang dikenal dengan kesuburan tanahnya dan kehebatan penyihirnya.
Cassandra, gadis berumur 16 tahun berparas cantik dengan rambut pirangnya yang diturunkan oleh sang ayahanda dan mata sapphiernya yang sejernih lautan. Gadis polos nan keras kepala dengan sejuta misteri.
Dimana kala itu, Cassandra hendak dijodohkan dengan putra mahkota dari kerajaan bagian Timur dan ditolak mentah-mentah olehnya karena ia ingin menikah dengan orang yang dicintainya dan memilih kabur dari penjagaan ketat kerajaan nya dengan menyamar menggunakan penampilan yang berbeda, lalu pergi ke kekerajaan seberang, untuk mencari pekerjaan dan bertemulah dengan Duke tampan yang dingin dan kejam.
Bagaimana perjalanan yang akan Cassandra lalui? Apakah ia akan terjebak selamanya dengan Duke tampan itu atau akan kembali ke kerajaan nya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon marriove, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XXXI. Kesalahpahaman Menguntungkan
Alaric membawa tubuh lemas Cassa dalam dekapannya, melawan rasa sakit dan lelah yang membebani tubuhnya sendiri. Setiap langkah terasa berat, namun dia tetap memaksa dirinya maju. Napasnya tersengal, tubuhnya hampir roboh, tetapi matanya tetap terpaku pada gadis yang terbaring di lengannya. Di belakangnya, Jasver, Christina, Nathanio, Kael, Jezgar, dan bahkan Kenzo mengikutinya dengan cemas, semua diam dalam kekhawatiran.
Sesampainya di kamar Cassa, Alaric mendekati ranjang dengan hati-hati. Dengan perlahan, dia menurunkan tubuh gadis itu, memastikan setiap gerakan lembut agar tidak menambah rasa sakit yang mungkin dirasakan Cassa. Tangan mungilnya yang menggantung di sisi ranjang segera digenggam oleh Alaric. Hangat, meski begitu kecil dan rapuh di antara jemarinya. Dia menatap wajahnya yang pucat, matanya terpejam dalam lelah yang begitu dalam.
“Cassie…” bisiknya pelan, suara itu lebih seperti doa daripada panggilan.
Jasver dan Christina sudah kocar-kacir memanggil pelayan, memerintahkan mereka untuk membawa air, selimut tambahan, atau apapun yang mungkin dibutuhkan. Jezgar berdiri di sudut ruangan, wajahnya penuh rasa khawatir, sementara Nathanio, Kenzo dan Kael bergantian mencoba menenangkan suasana yang mulai tegang.
Namun, Alaric yang sudah memaksakan dirinya terlalu lama akhirnya menyerah. Rasa pusing yang berputar-putar di kepalanya menjadi tak tertahankan, tubuhnya yang semula tegap kini mulai merosot. Sebelum siapapun bisa bergerak, dia jatuh pingsan di lantai.
“Duke!” Nathanio berseru, langsung melangkah maju untuk membopong majikannya. Kekhawatiran di ruangan itu meningkat, kini bukan hanya Cassa yang menjadi pusat perhatian.
“Bawa dia ke kamar tamu,” perintah Jasver cepat. Nathanio mengangguk, mengangkat tubuh Alaric yang terasa berat.
“Kenapa mereka berdua seperti ini?” gumam Kael, nada suaranya penuh kebingungan dan kecemasan yang sulit ia sembunyikan.
Tabib istana datang tak lama setelah itu. Dia memeriksa Cassa dan Alaric secara bergantian. Setelah beberapa saat, dia akhirnya mengumumkan, “Tidak ada yang salah dengan mereka. Mereka hanya kelelahan yang sangat parah, terutama Duke Hexton. Dia memaksakan diri hingga tubuhnya tidak sanggup lagi.”
Jasver menghela napas lega, “Syukurlah. Baiklah, semuanya kembali ke kamar masing-masing. Biarkan mereka beristirahat,” meski masih diliputi kecemasan, semua orang hanya menurut saat diperintah oleh Jasver.
Namun, sebelum meninggalkan kamar putrinya, Jasver mendekati ranjangnya. Dia menatap wajah Cassa dengan sendu, rasa bersalah dan kasih sayang bercampur menjadi satu. Perlahan, dia mengecup kening putrinya cukup lama, seolah ingin menyampaikan permintaan maaf dan doa sekaligus. Dengan berat hati, dia akhirnya meninggalkan kamar itu, membiarkan Cassa beristirahat dalam damai.
***
Keesokan harinya, sinar matahari menyusup melalui celah tirai. Cassa membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa lemah, tetapi jauh lebih baik dibandingkan semalam. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati Christina, Jezgar, dan Kenzo sudah duduk di sana, jelas menunggunya bangun.
“Pagi,” sapa Kenzo lembut.
“Pagi,” gumam Cassa pelan, mencoba tersenyum. Namun, pikirannya langsung terpaku pada satu hal. Biasanya dia selalu ada didekatnya, lalu sekarang dia dimana? “Duke Alaric mana?” tanyanya tiba-tiba.
Mereka saling berpandangan sejenak sebelum Christina menjawab, “Dia sedang tidak enak badan, sayang.”
Cassa tertegun. Matanya membulat, rasa tidak percaya memenuhi wajahnya, “Duke itu? Sakit? Kalian tidak bercanda kan? Duke Alaric yang kejam itu sakit?” tanyanya dengan nada hampir mengejek, tapi jelas ada kebingungan di baliknya.
Kenzo mendesah berat, “Sandra, kamu masih lemah. Jangan terlalu banyak bertanya. Kamu butuh istirahat.”
Tapi, seperti biasa, Cassa keras kepala. Dia mendorong selimutnya, mencoba bangkit dari tempat tidur, “Aku hanya ingin melihat Aric. Aric yang bawa aku ke sini kan? Jadi aku harus memastikan bahwa dia baik-baik saja.”
Christina dan Kenzo segera berusaha menghentikannya, tapi Cassa tidak peduli, “Kalian kalau ingin marah, silakan. Tapi aku tetap akan ke kamarnya!”
Setelah perdebatan kecil yang melibatkan tatapan memohon dari Cassa, mereka akhirnya menyerah. Dengan langkah hati-hati, Cassa menuju kamar tamu tempat Alaric berada, meskipun tubuhnya sendiri belum sepenuhnya pulih.
Saat tiba di depan pintu, dia merasa sedikit gugup. Tapi rasa penasaran mengalahkan semuanya. Dia membuka pintu perlahan, dan pemandangan yang ia lihat membuat hatinya mencelos.
Alaric terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat dan keringat membasahi dahinya. Meskipun terbaring, sosoknya tetap memancarkan aura tenang, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—kelemahan yang tak pernah Cassa bayangkan.
“Kenapa dia bisa seperti ini? Sakitnya bersamaan denganku..” pikir Cassa, hatinya dipenuhi campuran rasa bersalah dan kebingungan. Dia mendekat pelan, duduk di kursi di samping ranjangnya. Untuk pertama kalinya, Cassa melihat Alaric sebagai seseorang yang rapuh, bukan sosok duke yang selalu terlihat tak terkalahkan.
Cassa menatap Alaric yang terbaring diam di hadapannya. Hatinya terasa kacau melihat kondisi lelaki itu, "Kenapa menyebalkan sekali saat melihatnya terbaring lemah seperti? Entah kenapa, aku lebih suka saat dia menjadi Duke yang menyebalkan," pikirnya. Jujur, dia lebih suka jika Alaric bangkit dan mengganggunya seperti biasanya daripada terbaring lemah tanpa daya.
Perlahan, dia duduk di tepi ranjang Alaric, tubuhnya masih kaku karena perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyerangnya. Pandangannya turun ke tangan Alaric yang lebih besar dibandingkan miliknya. Ragu-ragu, dia mengulurkan tangan mungilnya dan menggenggam tangan lelaki itu. Dingin, hampir seperti es.
“Dingin sekali,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
“Dasar bodoh…” bisiknya lagi dengan suara lebih pelan, sembari mulai menyalurkan sihir penghangatnya. Energi hangat mengalir melalui telapak tangannya, perlahan meresap ke tubuh Alaric. Dia tidak yakin apakah itu akan cukup membantu, tapi dia tetap melakukannya, berharap sedikit saja kehangatan itu bisa membuat Alaric lebih baik. Jika Cassa tahu, bahwa kondisi Alaric karena takdir sepertinya dan juga karena telah mengalirkan sihirnya ketubuhnya.
Namun, sebelum dia merasa cukup, suara ibunya memanggil dari luar kamar, “Putriku, keluar sebentar. Ibu ingin bicara padamu.”
Cassa menghela napas, "Tunggu sebentar," jawabnya. Dia bersiap bangkit, tapi tiba-tiba sebuah tangan besar mencengkeram pergelangannya.
“Eh?!” seru Cassa terkejut. Cengkeraman itu membuat keseimbangannya goyah. Tanpa sengaja, tubuhnya limbung dan jatuh tepat di atas Alaric.
“Huh…” napasnya tercekat. Posisi mereka terlalu dekat. Dada bidang Alaric yang kokoh terasa di bawah tubuhnya, dan aroma maskulin dari tubuhnya menyeruak begitu kuat, membuat pikiran Cassa menjadi kosong. Harum itu—campuran kayu cendana dan rempah-rempah yang memabukkan—menyelimuti seluruh indranya.
Cassa mencoba bergerak, tapi tubuhnya terasa kaku. Aroma Alaric membuatnya kehilangan kendali, "A-aku… Bagaimana ini?" pikirnya, menahan diri agar tidak panik.
Di saat yang sama, tangan besar Alaric perlahan bergerak, mengelus lembut rambut emas Cassa. Gerakan itu membuat tubuhnya merinding.
“Cassie,” suara Alaric terdengar serak, tapi hangat. Mata kelamnya yang biasanya tajam kini dipenuhi kelembutan. Pandangannya seperti menelusuri setiap detail wajah Cassa, membuat gadis itu semakin salah tingkah.
“B-bangun! Kamu bau karena belum mandi!” Cassa akhirnya bersuara, mencoba melepaskan diri. Namun, Alaric justru tersenyum, senyum yang membuat darah Cassa terasa mendidih karena kesal sekaligus malu.
Tangan Alaric melingkar di pinggangnya, membuat Cassa semakin sulit bergerak, “Jangan bangun dulu, Cassie..” ucapnya pelan, suaranya terdengar dalam dan menenangkan.
“Aric! Lepaskan aku! Aku takut dikira melakukan hal aneh-aneh denganmu,” Cassa berusaha meronta, tapi pelukan Alaric justru semakin erat.
Namun, yang lebih mengejutkan adalah tanda di tangan Cassa yang tiba-tiba memancarkan cahaya lembut. Cahaya itu menarik perhatian Alaric. Matanya melirik tanda itu, lalu kembali menatap Cassa dengan penuh cinta.
"Gadisku memang yang paling manis,” gumamnya dengan senyum semakin lebar.
Cassa memicingkan mata, “Apa maksudmu? Dan kenapa kau senyum-senyum seperti orang gila?!”
Alaric tidak menjawab. Dia hanya menatap Cassa dengan tatapan yang sulit diartikan, senyumnya semakin lebar, seolah menemukan sesuatu yang sangat berharga.
“Duke jelek!” seru Cassa kesal, mencoba bangkit lagi. Tapi tangan lelaki itu tetap melilit pinggangnya, membuatnya terjebak dalam posisi itu.
“Kenapa aku harus melepaskan kamu, hm?” Alaric bertanya santai, meskipun tubuhnya jelas masih lemah, “Kamu terlihat nyaman di sini.”
Wajah Cassa memerah, “Aku tidak nyaman! Ini hal yang sangat menyebalkan!”
“Tapi aku suka,” jawab Alaric singkat. Tatapan matanya semakin dalam, membuat Cassa semakin gugup.
Cassa tidak tahu lagi harus berkata apa. Tanda di tangannya yang terus bersinar, ditambah dengan Alaric yang tersenyum penuh arti, membuat segalanya terasa semakin aneh. Di antara kebingungannya, Cassa hanya bisa berharap seseorang datang untuk menyelamatkannya dari situasi yang benar-benar tidak masuk akal ini.
Christina dengan sabar menunggu diluar, namun sang putri tidak menunjukkan tanda-tanda untuk keluar kamar. Ada apa? Christina akhirnya memutuskan untuk masuk bersama Jezgar di sampingnya, berharap agar sang putri baik-baik saja didalam sana.
*Ceklek
Pintu terbuka membuat Cassa yang sedang berada diposisi tidak aman terbelalak, menatap sang Ibu yang sudah terkejut begitu pula dengan Jezgar. Jezgar langsung marah dan menarik Cassa ke pelukannya, "Apa yang kau lakukan, Cassa?!"
"T-tidak, aku tidak melakukan apa-apa Kak! Percayalah padaku! Ibu percaya padaku.." Cassa memelaskan wajahnya, menatap Jezgar dan Christina secara bergantian. Alaric hanya menatap mereka dengan penasaran? Kenapa dengan mereka?
"Kau meremehkan penghilatanku, Adik? Kakak tidak mau, kalian harus bertunangan daripada kalian akan melakukan hal-hal yang lebih dari ini?!, " ucap Jezgar yang sudah dipastikan tidak ingin ditolak.
"A-apa.. Kalian hanya salah paham!"
"Ya, benar yang dikatakan oleh Jezgar. Ibu akan memberi tahu pada Ayahmu, tenang saja sayang." Christina bergantian memeluk putrinya yang masih terkejut. Menurutnya keputusan ini sudah besar apalagi melihat tingkah laku mereka yang sudah seperti saat ini.
"DUKE JELEK, KENAPA KAU SELALU SAJA MEMBUATKU KESAL?!"
Alaric mencoba untuk bangun dari ranjang, lalu mata tajamnya ke arah Cassa yang sedang berkacak pinggang. Oh astaga, dia begitu menggemaskan! Pose marah macam apa itu? Terlihat sangat menggemaskan.
"Memangnya kenapa hm? Aku tidak paham."
"Ck, jangan pura-pura bodoh! Kita akan ditunangkan karena kau yang menarikku diatas tubuhmu!"
"A-APA?! Baguslah."
"APA MAKSUDMU SIALAN?!"
"AKU MENCINTAIMU CASSIE"
"AKU TIDAK MENDENGARNYA!!"
Jezgar dan Christina hanya menatap datar mereka berdua, lalu pergi meninggalkan mereka tanpa berpamitan. Membiarkan mereka berdua daripada tertular penyakit gila.
...— Bersambung —...
Misal.
"Kakak, kau sudah gila, ya? Apa perlu kupanggilkan seorang tabib?" tanya Cassandra BLA BLA BLA.
Debutante. Ini kata asing, kan? bukan kata dari KBBI atau serapan?
Kalo iya, harusnya menggunakan font italic (miring) sebagai kata asing.