Hanya karena dipuji ketampanannya oleh seorang wanita, Miko justru menjadi target perundungan sang penguasa kampus dan teman-temannya.
Awalnya Miko memilih diam dan mengalah. Namun lama-kelamaan Miko semakin muak dan memilih menyerang balik sang penguasa kampus.
Namun, siapa sangka, akibat dari keberanian melawan penguasa kampus, Miko justru menemukan sebuah fakta tentang dirinya. Setelah fakta itu terungkap, kehidupan Miko pun berubah dan dia harus menghadapi berbagai masalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan Dan Ego
Terkejut, itulah yang terlihat pada raut wajah dua orang, begitu mendengar pertanyaan dari anak muda yang baru membuka matanya. Mereka tak menyangka kalau anak muda itu melempar pertanyaan yang membuat William dan Seruni bingung untuk menjawabnya.
"Bu..." si anak muda kembali bersuara. "Apa benar dia ayahku?"
"Bukan," jawab Seruni.
"Ya!" William pun ikut bersuara dan mereka menjawab secar bersamaan.
Mata Seruni membulat, menatap tajam pada pria yang saat ini beranjak dari duduknya.
"Aku tadi mendengar semuanya, Bu..." lagi-lagi Seruni terkejut mendengar pengakuan anaknya.
"Jadi, tidak perlu ada yang dirahasiakan lagi bukan?" William bersuara dengan sikap setenang mungkin.
"Harusnya anda tetap pada pendirian anda, Tuan," ucap Miko. Meski suaranya lemah tapi Miko juga tidak bisa menyembunyikan amarahnya.
"Untuk kali ini, tidak akan," William menjawab tegas. "Aku tahu, apa yang ada dipikiranmu. Silahkan kamu marah dan membenciku. Tapi jangan harap aku akan mengabaikan kalian."
Miko tersenyum sinis. "Saya tidak butuh kehadiran anda, seperti anda yang tidak menginginkan kehadiran saya."
William terpaku untuk beberapa saat. Dadanya berdenyut nyeri, mendengar penolakan Miko akan dirinya. Namun seperti biasa, William berusaha tak peduli. William pun tersenyum, menyembunyikan rasa sakit yang dulu juga dirasakan oleh Seruni karena penolakannya.
"Aku tidak peduli, Miko. Tak masalah jika kalian menganggapku tak tahu malu dan tak tahu diri. Namun yang harus kalian tahu, mulai saat ini, kalian adalah keluargaku."
Mata Miko langsung membulat.
"Tidak perlu marah. Saat ini kamu sedang lemah. Nanti jika kamu sudah sehat, kamu bisa ngajak saya bertarung satu lawan satu, oke? Ya sudah, karena kamu sudah tahu, saya mau pulang dulu. Ingat, kalian tidak bisa kabur, karena orang-orang saya, sudah mengepung tempat ini untuk menjaga kalian."
Setelah mengatakan itu, William pun beranjak menjauh, meninggalkan dua orang yang menatapnya tajam.
"Kok bisa sih, ada orang nggak tahu malu seperti itu?" ujar Seruni kesal. "Kamu juga, ngapain diam-diam nguping pembicaraan Ibu?"
"Loh, kenapa aku malah dimarahin?" Miko melayangkan. "Kalau Ibu nggak berteriak, aku juga nggak bakalan bangun dan nggak akan pernah tahu kalau Tuan William itu ayahku."
Seruni mendengus. "Terus kenapa? Apa kamu senang, setelah tahu semuanya?"
"Tergantung ibu," jawab Miko sembari memalingkan wajahnya. "Maaf, gara-gara Miko, Ibu bahkan sampai diusir dari rumah."
Seruni terperanjat. Hatinya seakan tercubit mendengar ucapan anaknya. Seruni terdiam beberapa saat dengan hati yang bergemuruh.
"Ibu mau ke kantin dulu. Ibu lapar," ucap Seruni setelah suasana hatinya membaik. "Teman-teman kamu ada di luar, biar nanti Ibu minta tolong sama meraka buat jagain kamu."
Tanpa menunggu persetujuan Miko, Seruni langsung melangkah meninggalkan sang anak. Seruni hanya ingin menghirup udara segar sekaligus menenangkan hatinya yang kembali kacau.
"Hallo, Mik," sapa Aldo begitu anak muda itu berdiri di tepi brangkar sahabatnya. "Gimana? Kamu udah merasa lebih baik, kan?"
Miko tersenyum. "Cuma luka kecil, nggak masalah," jawab Miko angkuh.
"Cih! Luka kecil," sungut Didi. "Kalau hanya luka kecil, nggak mungkin kamu ada di sini."
Miko sontak cengengesan.
"Tadi ada Tuan William ke sini, kamu lihat tidak?" tanya satu-satunya wanita yang duduk di dekat brangkar sebelah kanan.
Miko hanya mengangguk.
"Ngapain dia ke sini? Apa mau menuntut kamu?" tanya wanita yang sama, dan sukses memancing rasa penasaran Aldo dan Didi.
"Nah, iya tuh, dia pasti mau nuntut kamu. Iya yah, Mik?" serang Aldo. "Cih, dasar orang kaya. Padahal anaknya yang salah."
"Wajar, namanya juga anak orang kaya, pasti kesalahan apapun, tetap benar di mata orang tuanya," Didi menimpali. "Tadi dia ngancam kamu ya, Mik?"
Miko mengangguk dengan pikiran yang masih berkecamuk tentang William dan segala fakta yang dia dengar.
"Ngancam gimana, Mik?" Belinda menuntut penjelasan kamu. "Apa kamu akan dimasukan ke penjara?"
"Astaga! Masa di penjara?" ujar Aldo. "Nggak sampai di penjara kan, Mik?"
Miko menggeleng sembari tersenyum tipis.
"Lah terus, William ngancam apaan, kalau bukan di penjara?" tanya Didi. "Apa jangan-jangan kamu akan dikeluarkan dari kampus?"
"Nah, bisa jadi itu," seru Aldo. "Keluarga Dixion kan penyumbang dana utama kampus kita. Apalagi Miko masuk lewat jalur beasiswa. Pasti dia ngancam kamu, mencabut beasiswanya juga kan?"
Miko mendengus. "Udah lah, berhenti ngomongin orang itu," protesnya. "Orang baru siuman, malah diajak mikir keras. Nggak ada akhlak banget kalian."
"Haahaha..." tiga orang yang baru menjalin keakraban beberapa bulan kompak terbahak bersama. Entah, reaksi apa yang akan mereka tunjukan jika ketiga teman Miko tahu, siapa Miko sebenarnya.
####
Waktu demi waktu terus melaju. Di tengah jam sibuknya, William masih menyempatkan waktu untuk terus mengunjungi Miko dan Seruni. Meskipun sambutan mereka tidak terlalu hangat, William tidak peduli. Tekadnya sudah sangat bulat jadi tidak ada alasan untuk menyerah.
Hingga tiga hari kemudian, berita tentang penamparan Seruni kepada sang presdir masih menjadi topik yang enak untuk dijadikan bahan pembicaraan.
Apa lagi, kedatangan William yang sering berkunjung ke rumah sakit, tempat Miko dirawat, semakin menimbulkan beragam pertanyaan dan spekulasi, karena belum ada penjelasan dari kedua belah pihak.
"Apa kalian sudah siap?" tanya William kala dirinya baru masuk ke dalam ruang rawat Miko.
Miko dan Seruni cukup terkejut mendapat pertanyaaan mendadak seperti itu.
"Maksudnya?" balas Seruni.
William tersenyum. "Aku tahu, hari ini Miko sudah diijinkan pulang."
"Terus?"
"Ya nggak ada terusannya. Cuma mau ngasih tahu, kalian pulangnya ke rumahku."
"Apa!" Seruni terkejut. "Ngapain kami pulang ke rumahmu?"
"Rumah kontrakan kalian sudah aku beli dan sudah aku ratakan dengan tanah," jawab William santai.
"Hah! Bagaimana bisa..."
"Ya bisa lah," William langsung memotong ucapan Seruni. "Barang-barang kalian sudah aku pindahkan ke rumahku."
"Kenapa kamu bertindak seenaknya gitu sih?" Kekesalan Seruni meluap. "Apa karena kami miskin, kamu bisa seenaknya seperti itu, hah!"
"Bukan begitu," bantah William. "Kamu nggak sadar apa gimana? Saat ini kamu tuh wanita yang paling dicari oleh banyak orang."
Seruni tertegun mendengarnya.
"Cek aja kalau kamu nggak percaya. Kamu tuh dihujat. Kamu mau, di luar sana ada yang jahat sama kalian?"
Seruni masih membisu. Sementara Miko, dia pun sama, hanya bisa diam karena dia juga bingung harus bereaksi seperti apa.
"Sudah sepantasnya aku melindungi kalian. Karena jika nanti identitas kalian banyak yang tahu, bisa jadi kalian berada dalam bahaya."
"Aku bisa melindungi ibuku," balas Miko angkuh.
William menyeringai, lalu dia menunjukan ponsel pada sang anak. "Nih lihat, bagaimana cara kamu melindungi ibumu?"
Miko menerima ponsel William. Begitu membaca apa yang tertera di sana, mata Miko langsung membulat.
dikhianati org yg disayang memang amat sangat sulit sembuh, cinta 100% akan berubah menjadi benci 1000%