Memilik cinta yang begitu besar tak menjamin akan bertakdir. Itulah yang terjadi pada Rayyan Rajendra. Mencintai Alanna Aizza dengan begitu dalam, tapi kenyataan pahit yang harus dia telan. Di mana bukan nama Alanna yang dia sebut di dalam ijab kabul, melainkan adiknya, Anthea Amabel menggantikan kakaknya yang pergi di malam sebelum akad nikah.
Rayyan ingin menolak dan membatalkan pernikahan itu, tapi sang baba menginginkan pernikahan itu tetap dilangsungkan karena dia ingin melihat sang cucu menikah sebelum dia menutup mata.
Akankah Rayyan menerima takdir Tuhan ini? Atau dia akan terus menyalahkan takdir karena sudah tidak adil?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Harapan Kecil
Keluar kamar sudah dengan rapi baju kerja di pagi hari yang cerah. Rayyan menatap ke pintu kamar yang ditempati oleh Anthea. Dia berhenti sesaat. Lalu, melanjutkan langkahnya kembali ke ruang makan. Di meja sudah tersedia sarapan juga secarik kertas di sampingnya.
Sarapannya udah aku siapin. Maaf, di apart kamu hanya ada bahan ini yang bisa aku olah. Aku juga cuma buatin kamu susu soalnya aku takut kamu gak bisa minum kopi. Maaf juga aku berangkat duluan.
Rayyan tersenyum tipis membaca surat dengan tulisan tangan yang begitu indah. Dia pun menarik kursi dan duduk di sana. Menikmati roti bakar buatan Anthea. Juga segelas susu plain yang memang tersedia di lemari pendingin.
Kunyahan Rayyan terhenti ketika matanya melihat cincin yang tersemat di jari manis. Cincin yang Anthea pasangkan di jarinya.
"Harusnya kamu yang masangin cincin ini, Al? Kenapa kamu tega ninggalin aku di hari yang sangat aku nanti?"
Roti bakar buatan Anthea pun dia letakkan kembali. Susu yang sudah ada di gelas tak Rayyan sentuh sama sekali. Ponselnya dia raih, dan dia mencari nama seseorang di kontaknya.
"Om Axel, Ray boleh minta tolong sesuatu?"
..
Dia pun bergegas menuju kantor setelah berbicara panjang kepada sahabat ayahnya. Para karyawan menyambutnya dengan ucapan selamat. Rayyan hanya tersenyum. Lalu, dia melihat ke arah jari manisnya lagi. Cincin itu masih terpasang. Hati kecilnya tak mengijinkan untuk melepaskan. Memang itu pernikahan yang dia inginkan, tapi tidak menikah dengan Anthea. Melainkan dengan Alanna.
Bokongnya sudah mendarat di kursi kebesaran. Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya. Tumpukan berkas mengharuskan dia kembali ke kursi panas. Sekretarisnya masih cuti dan besok baru kembali bekerja.
"Malam nanti Om Axel menemui kamu. Kebetulan Om Axel lagi ada di Jakarta."
Ada harapan kecil yang Rayyan miliki. Dia masih penasaran di mana Alanna berada dan pergi dengan siapa perempuan yang dia sayang itu ke luar negeri. Rayyan sudah menyuruh orang untuk mencari tahu sedari akad. Sayangnya, belum ada kabar sampai sekarang. Hanya Om Axel yang menjadi harapan Rayyan satu-satunya. Dia tak mungkin meminta bantuan Reksa karena Reksa berada di pihak keluarganya.
Ada sebuah kejanggalan yang Rayyan rasakan di pernikahannya. Di mana ada beberapa orang yang tak hadir, dan mereka adalah orang-orang yang berpengaruh di keluarga singa. Instingnya mengatakan hal lain. Itulah alasan kenapa Rayyan masih tak menghubungi sang kakak. Tak jua meminta maaf.
Rayyan mulai fokus ke tumpukan berkas yang harus dia selesaikan. Tugasnya harus dia selesaikan sendiri karena Alvaro masih cuti. Di hari pernikahannya kemarin pun Alvaro tak datang. Hembusan napas kasar keluar dari bibirnya Sebuah kalimat berputar di kepalanya sekarang.
"Kerja yang benar. Ada anak orang yang harus kamu beri nafkah."
Rayyan terdiam untuk sesaat. Setahun terakhir ini dia merasa menggampangkan pekerjaannya. Semua tugasnya dialihkan ke Alvaro. Sedangkan dia fokus kepada Alanna. Apapun yang Alanna minta selalu dia beri. Semua kartu Rayyan pun Alanna tahu pinnya karena Rayyan sepercaya itu kepada Alanna. Tapi, dengan tega Alanna pergi.
Rayyan kembali memusatkan perhatian ke berkas yang ada di hadapannya. Pantas saja Alvaro sering marah-marah jika semua pekerjaannya dialihkan. Sekarang Rayyan merasakan bekerja tanpa bantuan sekretaris.
Makan siang pun dia lewatkan. Tanggung, begitulah pikirnya. Ponsel pun sengaja dia silent agar tak mengganggu konsentrasinya. Sejenak dia mengosongkan isi kepalanya dan hanya berfokus pada pekerjaan.
Jam tiga sore barulah semuanya selesai. Rayyan menghela napas begitu lega. Dia pun merenggangkan ototnya. Dia ingin segera bertemu dengan om Axel karena dia yakin om Axel bisa membantunya.
.
Rayyan tersenyum ketika melihat pria berbadan tegap sudah menghampirinya. Sikap santun Rayyan tunjukkan.
"Maaf, macet banget."
"Its okay, Om."
"Selamat atas pernikahan kamu, ya."
Rayyan tersenyum tipis. Raut wajahnya tak menunjukkan seperti pengantin baru.
"Pasti Om sudah tahu," tebaknya seraya memandang wajah sahabat sang ayah.
Om Axel malah tertawa. Dia menyandarkan tubuhnya. Matanya begitu lekat menatap Rayyan.
"Apa kamu ingin tahu keberadaan Alanna?"
"Salah satunya itu, Om."
Jawaban yang begitu jujur, tapi mampu membuat om Axel tersenyum begitu tipis.
"Ray hanya ingin memastikan, apa dugaan Ray benar."
Dahi Om Axel mengkerut mendengar kalimat yang tiba-tiba Rayyan jeda.
"Abang Er, dia yang dari tidak suka dengan hubungan Ray dan Alanna. Lalu, di saat bersamaan dengan pernikahan Ray, Abang Er pergi ke Zurich. Bukankah itu teramat mencurigakan?"
Om Axel pun tersenyum. Sebelum menjawab, dia membuang napas terlebih dahulu.
"Apa kamu tak mengenal bagaimana sosok abangmu? Padahal, kamu sudah mengenalnya sedari kamu bisa melihat dunia sampai saat ini. Apa hanya karena sebuah cinta bisa membuat kamu menutup mata?"
Rayyan tak bisa berkata. Diskakmat langsung oleh om Axel.
"Om, bukan begitu. Tapi, ini timingnya tepat. Bukan hanya Abang yang tidak ada. Mas Agha, Opap, Uncle Khai pun gak hadir di acara pernikahan Ray. Om tahu mereka sedikit banyak memiliki power di keluarga singa."
Om Axel mengeluarkan ponsel. Dia menunjukkan beberapa foto empat orang yang Rayyan curiga. Mereka memang tengah bekerja.
"Tak seharusnya kamu mencurigai keluarga kamu sendiri. Jikapun, mereka ada andil dalam kepergiaan Alanna, mereka pasti memiliki alasan yang jelas."
"Erzan dan Agha bukan manusia bodoh. Mereka berdua adalah manusia jeli dan peka. Mulut mereka tak akan terbuka jika belum memegang bukti di tangan. Jadi, ketika mulut mereka sudah mulai mengeluarkan bisa di sanalah kita yang harus mulai peka. Ada apa dan kenapa?"
Lagi dan lagi Rayyan hanya bisa diam. Semua yang dikatakan om Axel benar. Walaupun di merasa jika om Axel sedikit condong ke abangnya.
"Ray, cobalah belajar menjadi manusia peka. Tanpa kamu sadari kamulah yang memelihara ular. Bahkan membiarkan ular itu berkembang biak."
"Memelihara ular?" ulangnya bingung.
Om Axel mengangguk. Dia tak lantas memberi tahu. Biarkan Rayyan berpikir cerdas. Om Axel menepuk pundak Rayyan dengan lembut.
"Cobalah berpikir cerdas, Ray. Om yakin kamu akan menemukan jawabannya."
Rayyan ditinggal sendiri oleh om Axel. Sungguh om Axel membuatnya semakin bingung. Dia harus meminta bantuan Alvaro.
"Udah balik ke indo kan? Temui gua di restoran biasa. Gua butuh bantuan lu."
Rayyan memutar ponselnya. Menunggu pesan balasan dari sahabat sekaligus sekretarisnya.
"Sorry, Bro. Malam ini gua lagi menghabiskan waktu menatap gebetan gua di kafe."
"Perasaan dari dulu cuma bisa mengagumi tanpa bisa memiliki."
"Diem lu! BANG SAT!!"
Rayyan pun tertawa ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh Alvaro. Tiba-tiba dia teringat akan Anthea karena Varo menyebut kafe.
"Apa dia sudah pulang?"
...*** BERSAMBUNG ***...
Ayo atuh dikomen ...
double up thorr
hahahahaa
karma gak pernah salah alamat.
amang Rayyan keren.. ngasih photolgpelukan kesijalangAlana 😀😀😀
lanjut kk